03 September 2021
17:14 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Masyarakat Betawi memiliki beragam ekspresi kebudayaan yang unik dan menarik untuk dipertontonkan. Filosofi adat, jati diri dan pandangan hidup orang Betawi terungkap melalui berbagai jenis tradisi dan kesenian populer, seperti lenong, ondel-ondel hingga tradisi nyorog dan ragam permainan bela diri Betawi.
Salah satu yang menarik adalah ritus buka palang pintu, yang masih terus lestari hingga saat ini. Ritus ini menjadi bagian penting dalam rangkaian prosesi pernikahan adat Betawi.
Palang Pintu merupakan salah satu bagian penting dari tradisi upacara pernikahan adat Betawi. Beradu pantun pada tradisi palang pintu diartikan untuk membuka pintu pernikahan dan ketaatan atas norma adat yang berlaku di masyarakat setempat. Dengan tradisi ini maka dianggap suami bisa membahagiakan istri dan anaknya kelak di tengah banyaknya cobaan kehidupan.
Prosesi buka palang pintu adalah hal yang harus dijalani oleh pengantin laki-laki sebelum memasuki lingkungan tempat tinggal pengantin perempuan. Dalam pelaksanaannya, prosesi ini berlangsung di gang-gang, atau jalanan tak jauh dari rumah pengantin perempuan.
Baca juga: Membawa Kesenian Tradisional Ke Ranah Digital
Pihak pengantin laki-laki akan dihadang oleh pihak pengantin perempuan. Di sini pihak pengantin perempuan menjadi “palang pintu” yang jika ingin dilewati, harus dengan keterampilan dan kedalaman ilmu dari pihak pengantin laki-laki.
Pihak perempuan akan menantang pihak laki-laki untuk menguji keterampilan bela diri, silat kata atau berpantun, dan kemampuan membaca Al-Qur’an.
Masing-masing pihak pengantin biasanya sudah menyiapkan, setidaknya satu orang jago atau orang yang pandai bela diri, dan orang yang mahir berpantun. Jago dari pihak laki-laki akan ditantang untuk unjuk kebolehan. Begitu juga, niat kuat dari pengantin laki-laki akan ditantang lewat permainan kata-kata dalam sesi berbalas pantun.
Sebagai sebuah prosesi adat, tentunya jago pihak pengantin laki-laki akan dibiarkan menang dalam adu silat. Biasanya, setelah dua atau tiga jurus, pihak perempuan akan mengatakan ‘cukup’. Dalam adu pantun juga begitu, pihak laki-laki akan dimenangkan, sehingga jalannya terbuka menuju rumah pengantin wanita.
Namun sebelum itu, masih ada satu pengujian lagi, yaitu kebolehan membaca Al-Qur’an. Pengantin laki-laki akan membaca Al-Qur’an serta melantunkan salawat. Jika sesi ini sudah dilewati, barulah palang pintu terbuka.
Baca juga: Merawat Ikon Jakarta
Seluruh rangkaian dalam buka palang pintu tersebut tentu bukan sekadar sebuah prosesi tanpa makna. Ada filosofi yang mendasari hadirnya prosesi tersebut dalam setiap pernikahan adat Betawi, yang mana itu terkait dengan pandangan dan landasan hidup orang Betawi.
Mengutip laman Kebudayaan Betawi, adu jago silat melambangkan kemampuan laki-laki untuk melindungi istrinya kelak dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Juga dalam melindungi keluarga, serta lingkungannya dari segala rintangan dan mara bahaya.
Sementara, membaca Al-Quran serta salawat merupakan pernyataan kesiapan si pengantin laki-laki dalam membimbing keluarganya kelak di jalan agama. Keluarga pengantin perempuan ingin memastikan bahwa si pengantin laki-laki mampu menjadi imam yang baik dalam keluarganya.
Terakhir adu pantun, adalah ritus yang bertujuan untuk menguji kebulatan tekad si pengantin laki-laki untuk menikahi si perempuan. Pantun-pantun pihak pengantin perempuan biasanya berisi perkataan yang mempertanyakan dan meragukan niat pihak lain. Namun, pengantin laki-laki akan membalas dengan jawaban yang kuat dan meyakinkan.
Baca juga: Mempertahankan Betawi lewat Gelaran Seni
Berikut contoh adu pantun dalam prosesi buka palang pintu, sebagaimana dikutip dari laman Kebudayaan Betawi;
Buah atep buah kenari, burung kutilang di puhun kamboje, kala abang belum mantep ke mari, mendingan pulang aje (pantun pihak pengantin perempuan)
Beli areng ke Sukabumi, pohon jambu aye kebonan, udeh terlanjur datang ke mari, biar kate jadi abu aye lakonin (balasan pengantin laki-laki)
Pada dasarnya, meski berlaku sebagai tradisi, dan palang pintu selalu dipersiapkan agar bisa terbuka, prosesi tersebut secara simbolis dipandang sebagai pernyataan kesiapan pengantin laki-laki. Ketika sudah melewati palang pintu, berarti pengantin laki-laki sudah siap memanggul tanggung-jawabnya secara menyeluruh.
Prosesi buka palang pintu di Betawi biasanya juga dilengkapi dengan berbagai barang bawaan dari pihak pengantin laki-laki, seperti kue-kue, perlengkapan pakaian, dan kembang kelapa. Ada juga ondel-ondel hingga kembang kelapa yang mengiringi rombongan pengantin tersebut.
Semua itu adalah medium yang digunakan oleh masyarakat Betawi untuk memaknai kehidupan. Misalnya roti buaya melambangkan kesetiaan, ondel-ondel sebagai penolak bala, lalu kembang kelapa yang melambangkan keharusan setiap orang hidup serba berguna, layaknya pohon kelapa yang akar hingga buahnya dapat bermanfaat bagi manusia.