26 Mei 2023
17:36 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Tren negara-negara mengurangi penggunaan dolar AS atau dedolarisasi, hingga mengurangi hegemoni greenback di dunia masih cukup dini.
Butuh waktu yang panjang dan konsensus konkret, agar ekspektasi mata uang lain menggantikan dolar AS dapat benar-benar terwujud.
“Kalau lihat data yang ada saat ini, supply dolar di pasar masih cukup, pertumbuhan simpanan dolar masih cukup baik... Enggak ada gerakan atau pergerakan data yang menunjukkan bahwa kita atau orang-orang (dunia) ramai-ramai meninggalkan dolar,” terang Ketua LPS Purbaya Yudhi Sadewa di Jakarta, Jumat (26/5).
Dirinya memaklumi isu ini selalu muncul pada saat kondisi instabilitas perekonomian, terutama saat kondisinya yang serba tak pasti naik-turun. Setidaknya, upaya dedolarisasi selalu gagal jika semua pihak mau menilik sejarah secara saksama.
Baca Juga: Kemendag Lakukan Diversifikasi Antisipati AS Gagal Bayar Utang
Berdasarkan amatan Purbaya, isu Yen Jepang akan menggantikan dolar sebagai mata uang utama di dunia muncul saat ekonominya menguat medio 1970-an.
Dinamika yang sama pun sempat bergeser ke mata uang Euro milik Uni Eropa manakala mengalami kebangkitan pada 1999 atau awal 2000an.
Hanya saja, semua upaya itu hanya sebatas wacana saja dan dolar AS terus mempertahankan posisinya hingga hari ini sebagai mata uang utama di dunia.
“Waktu (perekonomian) China tumbuh kuat, isunya tumbuh lagi Yuan akan menggantikan dolar AS, ternyata enggak juga,” katanya.
Menurutnya, keperkasaan dolar AS sebagai mata uang yang paling kuat di dunia tak terbantahkan dan sudah teruji selama hampir lebih dari 100 tahun terakhir.
Memang, dalam jangka pendek gejolak yang berkembang akan menggiring seolah-olah dunia akan mulai mengalihkan mata uang utamanya dari dolar AS.
Namun, insentif di pasar uang membuat tendensi pelaku pasar untuk menaruh simpanannya pada tempat yang paling stabil. Lagi-lagi sampai sekarang, belum ada mata uang lain yang menawarkan kestabilan lebih dibanding apa yang ditawarkan oleh dolar AS.
Baca Juga: Marak Dedolarisasi, Bagaimana Dampak Ke Ekonomi Indonesia?
Karenanya, dia menggarisbawahi, agar semua pihak tidak terlalu reaktif dengan pergerakan ekonomi yang dikait-kaitkan dengan timbulnya mata uang baru. Seperti konsolidasi ekonomi yang dilakukan via BRICS maupun ASEAN+3 yang diisukan mengeluarkan mata uang baru.
“Itu masih lama, creating suatu mata uang yang kredibel itu perlu waktu lama, apalagi kalau banyak negara hanya ada persaingan politik,” ungkapnya.
Sekali lagi, situasi yang berkembang tak lebih dari dinamika jangka pendek di pasar semata. Paling konkret kegiatan perdagangan dunia sekitar 80%-nya masih didominasi oleh dolar AS.
Dia kembali menganalogikan, jika Indonesia melakukan kegiatan perdagangan dengan China atau Jepang seharusnya transaksinya tidak memerlukan dolar AS.
Namun nyatanya di lapangan, sebagian besar masih menggunakan mata uang dolar AS untuk menjalin kegiatan dagang saat ini.
“Jadi tidak semudah itu menggerakkan (mengganti) dominasi suatu mata uang global ekonomi ini… (Apalagi) kalau dilihat dari pergerakan data simpanannya belum ada pergerakan yang terlalu signifikan, karena isu timbulnya mata uang selain dolar yang menggantikan reserve curency,” tegasnya.