24 April 2023
17:32 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
MAGELANG - Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menilai, fenomena dedolarisasi akan menguntungkan bagi mata uang rupiah Indonesia. Terkait hal ini, Gubernur BI Perry Warjiyo bersama Menkeu Sri Mulyani Indrawati dinilai cukup kompak memandang fenomena dedolarisasi.
BI sebagai otoritas moneter sudah mulai mendiversifikasi penggunaan mata uang secara konkret. Misalnya, dalam mekanisme penggunaan transaksi mata uang lokal alias local currency transaction (LCT) dalam beberapa transaksi internasional Tanah Air.
Seirama, Menkeu menyampaikan bahwa, untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, maka semakin ditingkatkan pola local currency settlement (LCS) dengan negara-negara mitra dagang.
“Pola kebijakan dan kesepakatan ekonomi ini menjadi potret dedolarisasi,” terang Ajib dalam keterangannya, Jakarta, Senin (24/4).
Baca Juga: Lima Bank Sentral ASEAN Eksplorasi Fast Payment
Asal tahu, dedolarisasi merupakan proses penggantian dolar AS sebagai mata uang yang digunakan untuk perdagangan dan/atau komoditas lainnya.
Hal ini menjadi bagian dari kebijakan pemerintah yang akan mendongkrak nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar AS.
Paling tidak, Ajib menjabarkan, akan ada enam hal yang akan mempengaruhi penguatan nilai tukar rupiah dari impelementasi dedolarisasi ini. Yaitu dari sisi inflasi, suku bunga, neraca pembayaran, ekspektasi, dan kebijakan pemerintah.
Selanjutnya, yang perlu menjadi perhatian adalah proyeksi ekonomi 2023 yang sudah dirancang dalam Kerangka Ekonomi Makro (KEM). Pemerintah menargetkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berkisar Rp14.300 sampai dengan Rp14.800 sepanjang tahun ini.
Sekarang ini, posisi kurs dolar AS di kisaran Rp14.800 dengan nilai yang fluktuatif, bahkan sebelumnya nilai kurs sempat stabil di atas Rp15.000.
Ajib menggarisbawahi, seperti juga yang disampaikan Menkeu, bahwa kondisi kurs ini juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi fluktuasi utang negara. Informasi tambahan, APBN Kita mengonfirmasi, sampai akhir Maret 2023, posisi utang pemerintah berada di level Rp7.879,07 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,17%.
“Artinya, stabilitas nilai tukar rupiah dalam rentang Kerangka Ekonomi Makro, menjadi satu hal penting untuk turut menjaga kesehatan fiskal Indonesia,” ucapnya.
Karena itu, Ajib juga tidak heran, bahwa gerakan dan kebijakan dedolarisasi ini juga diambil berbagai negara-negara yang mempunyai orientasi ekonomi yang sama.
Salah satunya, kelompok negara BRICS yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan berupaya mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi antar negara.
Ajib menilai, China dengan PDB-nya yang mencapai US$17,5 miliar bisa menjadi motor lokomotif ekonomi dunia. Ditambah dengan Rusia yang bisa membuat konstraksi ekonomi global, tentunya akan memberikan dampak yang signifikan dalam konteks politik dan ekonomi.
India juga mempunyai potensi ekonomi yang luar biasa, karena mempunyai demand yang besar. Dalam jumlah penduduk, India menempati posisi kedua dunia dengan lebih dari 1,4 miliar populasi.
Baca Juga: Jaga Stabilitas, ASEAN Komitmen Gunakan Mata Uang Lokal
Peluang Dedolarisasi ASEAN
Dalam konteks regional, menurut Ajib, Indonesia bisa menjadi lokomotif gerakan dedolarisasi melalui Keketuaan ASEAN. Posisi strategis yang diemban Indonesia menjadi kesempatan untuk membuat kesepakatan regional yang bisa memberikan keuntungan ekonomi untuk seluruh negara anggota ASEAN.
“Dalam KTT Asean pada tanggal 9-11 Mei 2023 di Nusa Tenggara Timur (NTT) nanti, kebijakan-kebijakan strategis tentang dedolarisasi perlu dibahas secara terstruktur,” ungkapnya.
Lagi-lagi Ajib memandang optimistis, kebijakan-kesepakatan dedolarisasi yang bisa dibangun dengan negara-negara hubungan dagang, paling tidak akan memberikan tiga dampak positif terhadap ekonomi Indonesia.
Pertama adalah efisiensi. Ketika terjadi transaksi dagang antar dua negara, maka transaksi bisa langsung menggunakan mata uang negara bersangkutan.
Kedua, relatif terhindar dari ancaman global berupa krisis finansial, karena banyaknya diversifikasi mata uang yang dilakukan dalam transaksi internasional.
“Ketiga adalah keuntungan dalam neraca pembayaran dan kesehatan fiskal Indonesia, (terlihat) ketika dolar AS menjadi lebih terdepresiasi dan stabil,” pungkasnya.