c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

04 Agustus 2023

20:45 WIB

LPEM: Deindustrialisasi Hantui Kelanjutan Pertumbuhan Ekonomi RI

LPEM FEB UI menyebut selama 2011-2022, produktivitas di sektor manufaktur terindikasi menurun. Meski semakin banyak porsi tenaga kerja justru menghasilkan porsi produksi yang lebih rendah.

Penulis: Khairul Kahfi

LPEM: Deindustrialisasi Hantui Kelanjutan Pertumbuhan Ekonomi RI
LPEM: Deindustrialisasi Hantui Kelanjutan Pertumbuhan Ekonomi RI
Ilustrasi. Pekerja mengawasi proses produksi di Pabrik PT Heinz ABC Indonesia, Karawang, Jawa Barat, Senin (28/ 11/2022). Antara Foto/Rivan Awal Lingga

JAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB-UI mengkhawatirkan tren pertumbuhan sektor manufaktur yang terus tumbuh di bawah rerata pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai sektor terbesar dengan kontribusi mencapai seperlima di perekonomian, tentu kondisi ini mencemaskan.

Di kuartal I/2023, pertumbuhan sektor manufaktur tercatat hanya sebesar 4,43% (year-on-year/yoy). Padahal, sektor ini sempat tumbuh 4,89% (yoy) di tahun lalu, saat PDB nasional tumbuh 5,31% (yoy). 

“Tren lebih rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur dibanding PDB nasional secara konsisten terjadi sejak 2012, mengindikasikan adanya potensi terjadinya deindustrialisasi prematur di Indonesia,” sebut Ekonom LPEM FEB-UI Teuku Riefky dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (8/6).

Catatannya juga menunjukkan, kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian cenderung stagnan, bahkan menurun dalam satu dekade terakhir. Pada 2011, sektor manufaktur tercatat berkontribusi sebesar 23% terhadap perekonomian Indonesia, dan merosot ke 21% pada 2022. 

Kendati, proporsi tenaga kerja di sektor manufaktur terhadap seluruh tenaga kerja relatif meningkat selama periode tersebut, dari 13% ke 14%. Teuku menyebut, kedua statistik ini mengindikasikan adanya penurunan produktivitas di sektor manufaktur.

“Seiring dengan semakin banyaknya porsi tenaga kerja di sektor ini, justru menghasilkan porsi produksi yang lebih rendah,” ungkapnya. 

Baca Juga: KSSK Tetap Optimis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Positif

Lebih lanjut, pertumbuhan tahunan sektor manufaktur juga mengalami perlambatan dari 4,7% (2010) menjadi 3,45% (2021). Adapun, sektor manufaktur tumbuh hingga 4,89% di 2022 akibat adanya peningkatan permintaan pasca pandemi dan efek basis rendah di 2021.

“(Namun demikian), pertumbuhan sektor ini selalu lebih rendah dari tingkat pertumbuhan ekonomi nasional,” paparnya lagi.

Menelaah industri manufaktur, subsektor yang berkaitan dengan logam menjadi pendorong pertumbuhan sektor manufaktur dalam kuartal I/2023. Utamanya dipengaruhi oleh peningkatan permintaan dari mitra dagang utama, yang mendorong naiknya aktivitas produksi subsektor tersebut. 

Dengan kontribusi ke sektor manufaktur sebesar 5,3% dan 9,2%, subsektor pengolahan logam dasar dan pengolahan produk logam, komputer, dan peralatan elektronik mencatatkan pertumbuhan double-digit

Di kuartal I/2023, subsektor logam dasar mengalami peningkatan pertumbuhan ke 15,51% (yoy) dari 15,12% (yoy) di kuartal sebelumnya sedangkan pertumbuhan sektor produk logam, komputer, dan peralatan elektronik melonjak ke 12,78% (yoy) dari 7,62% (yoy) pada periode yang sama. 

Di sisi lain, Teuku melanjutkan, tren penurunan harga energi global menyebabkan anjloknya permintaan pada subsektor pengolahan migas dan batubara, yang mengalami penurunan pertumbuhan drastis dari 8,65% (yoy) di kuartal IV/2022 menjadi hanya 1,94% (yoy) di kuartal I/2023. 

Sementara itu, normalisasi aktivitas fisik pasca pandemi covid-19 juga masih mempengaruhi subsektor peralatan transportasi. “Subsektor ini mengalami lonjakan pertumbuhan ke 17,27% (yoy) di kuartal awal tahun ini dari 10,95% (yoy) di kuartal sebelumnya,” jelasnya.

Terpisah, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menepis tren deindustrialisasi di Indonesia berkaca pada kondisi seluruh sektor industri manufaktur Indonesia yang kembali menguat pada Juli 2023. Indeks PMI Manufaktur Indonesia naik signifikan dari 52,5% menjadi sebesar 53,3% pada Juli 2023

Pemerintah mensinyalir pertumbuhan permintaan baru yang lebih cepat dan efisiensi menyebabkan peningkatan tajam pada aktivitas produksi di awal kuartal III/2023.

“Pertumbuhan industri masih baik, berada di level ekspansif. Kontribusi terhadap PDB juga masih yang tertinggi dibandingkan sektor lainnya, termasuk kontribusi dari ekspor dan pajak,” papar Agus, Selasa (1/8).

Masih Punya Modal Optimistis
Terlepas dari sejumlah indikator ekonomi yang negatif di atas, Teuku menyampaikan, beberapa capaian ekonomi memang patut diapresiasi. Terlebih sambil mengatasi berbagai kekalutan beberapa tahun belakangan dengan cukup baik, mulai dari covid-19, perang Rusia-Ukraina, perlambatan ekonomi global, disrupsi rantai pasok, hingga gejolak harga energi.

“Capaian tersebut di antaranya, berhasilnya Indonesia menekan defisit anggaran sesuai target setahun lebih cepat dari yang dimandatkan Undang-Undang, dan mengembalikan inflasi ke dalam kisaran target BI,” ujar Teuku.

Begitu juga melanjutkan tren pertumbuhan ekonomi berkisar 5%-an dalam enam kuartal terakhir di tengah tingginya ketidakpastian global, Rupiah yang stabil dan berperforma baik, serta mampu melakukan berbagai reformasi kebijakan sebelum memasuki siklus politik.

Didukung oleh berbagai faktor tersebut, Indonesia memiliki modal yang cukup untuk menghadapi risiko perekonomian di jangka pendek dan menengah. Yang muncul dari perlambatan ekonomi global, penurunan harga komoditas, berlanjutnya reformasi struktural, dan potensi untuk mencapai status negara ‘berpendapatan tinggi’.

Di kuartal pertama tahun ini, PDB Indonesia tumbuh 5,03% (yoy), meningkat dari 5,01% (yoy) di kuartal IV/2022. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di awal 2023 didukung oleh pemulihan sektor-sektor yang terdampak cukup parah selama pandemi. 

Dilihat dari sisi belanja, seluruh komponen mencatat pertumbuhan positif. Termasuk belanja pemerintah yang mengalami kontraksi selama empat kuartal berturut-turut di tahun 2022. 

Industri perbankan Indonesia tetap kuat di tengah perlambatan ekonomi dan gejolak perbankan global, utamanya yang terjadi di negara maju. “Perbankan domestik menunjukkan kondisi yang baik ditopang oleh likuiditas yang cukup dan kualitas aset yang meningkat,” paparnya. 

Baca Juga: Pengamat: Meski Moderat, Level Kesenjangan di RI Cukup Mengkhawatirkan

Dia juga optimistis, persiapan tahun pemilu 2024 akan mendorong belanja konsumen dan sektor yang paling diuntungkan. Khususnya sektor manufaktur seperti industri makanan-minuman dan tekstil, serta sektor jasa seperti media dan komunikasi, akomodasi, konsultasi dan profesi, serta transportasi. 

Dari sisi eksternal, surplus perdagangan menurun sejak tahun lalu sebesar US$7,8 miliar di kuartal II/2023. Jumlahnya hanya sekitar setengah dari surplus di periode sama tahun lalu, akibat normalisasi harga komoditas global. 

Selain surplus perdagangan, performa Rupiah juga dipengaruhi oleh kondisi pasar keuangan. Kemudian, pasar keuangan Indonesia melanjutkan tren perbaikan di kuartal II/2023 didukung oleh kuatnya permintaan terhadap surat utang Indonesia, seiring selisih imbal hasil antara surat utang pemerintah Indonesia dan AS. 

“(Surat utang Indonesia) masih relatif atraktif, menyusul mulai berkurangnya agresivitas pengetatan suku bunga acuan oleh the Fed,” urainya. 

Lebih lanjut, tingkat cadangan devisa Indonesia saat ini masih cukup untuk mendukung ketahanan eksternal seiring jumlahnya yang mencapai setara 6,1 bulan impor dan beban pembayaran utang luar negeri.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar