17 Januari 2024
14:09 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu) mencatat sedikitnya ada 7 daerah yang menerapkan tarif pajak hiburan sebesar 75% pada 2024 untuk diskotek, karaoke, bar, kelab malam, mandi uap dan spa.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana menyebutkan ada Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), Ogan Komering Ulu Timur (Sumatra Selatan).
Kemudian Kabupaten Belitung Timur (Kepulauan Bangka Belitung), Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah), dan Kota Tual (Maluku). Ketujuh daerah itu memilih melanjutkan pengenaan tarif pajak hiburan sebesar 75%.
"Ini sama tarifnya saat mereka mengimplementasikan UU 28/2009, itu memang mereka sudah memberikan tarif 75%," ujar Lydia dalam media briefing, Selasa (16/1).
Berdasarkan pengamatan Validnews, daerah tersebut memang sudah menerapkan tarif sebesar 75% sebelumnya. Itu tertuang dalam perda lama yang mengacu pada UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Baca Juga: Ini Alasan Pemerintah Tetapkan Tarif Pajak Hiburan Malam Minimal 40%
Contohnya, Kabupaten Tanjung Jabung Timur menerapkan tarif pajak hiburan khusus diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, sebesar 75%. Itu tertuang dalam Perda Kab. Tanjung Jabung Timur No. 2/2012.
Satu lagi, misalnya Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah yang memasang tarif pajak hiburan untuk jenis diskotik, klab malam dan sejenisnya sebesar 75%. Itu tertuang dalam Perda Kab. Grobogan No. 6/2016.
Kini, ketentuan pajak hiburan diatur dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Tahun 2024, besaran tarif pajak hiburan di 7 daerah tadi tetap dipatok 75%.
Lydia menyampaikan tiap kepala daerah harus memperbarui besaran tarif pajak daerah sesuai dengan ketentuan dalam UU HKPD. Karena mulai 5 Januari 2024, Undang-undang sebelumnya, UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), sudah tidak berlaku.
Dia menjelaskan sebelum menerbitkan peraturan daerah terbaru, kepala daerah harus menyerahkan draf rancangan peraturan daerah (Raperda) kepada Kemenkeu untuk dievaluasi. Perda tersebut akan memuat besaran pajak daerah yang terbaru untuk menggantikan perda sebelumnya.
"UU PDRD berhenti di 4 Januari 2024, sudah tidak berlaku. Perda yang ditetapkan per 5 Januari 2024, itu di 2023 raperda-nya dievaluasi oleh Kemenkeu, supaya enggak lari keluar dari UU dan Peraturan Pemerintah," kata Lydia.
Satu Daerah Belum Serahkan Raperda
Dia mengingatkan daerah yang belum menyerahkan draf raperda terbaru kepada pemerintah pusat tidak bisa memungut pajak, termasuk pajak hiburan. Hingga kini, lanjutnya, hampir semua daerah sudah menyampaikan raperda ke pemerintah.
Namun ada satu daerah yang belum melaporkan Raperda, yaitu Kabupaten Nduga, Papua. Karena belum menyerahkan Raperda, daerah tidak bisa memungut pajak, sebab Pasal 23A UUD 1945 menyatakan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang.
"Masih ada satu belum serahkan Raperda, yaitu Nduga, Papua. Dengan demikian, kabupaten itu tidak boleh melakukan pemungutan pajak, karena kembali ke UUD 1945, bahwa pemungutan pajak harus dari UU," tutur Lydia.
Baca Juga: Tok! Pemprov DKI Jakarta Resmi Terapkan Pajak Hiburan 40%
Padahal, sambungnya, batas penyerahan Raperda seharusnya pada Desember 2023. Raperda akan dievaluasi oleh Kemenkeu dan Kementerian Dalam Negeri, agar penetapan pajaknya sesuai ketentuan dalam UU HKPD.
Ditambah lagi, perlu sinkronisasi seperti memberikan konsultasi dan rekomendasi kepada provinsi, kabupaten/kota. Menurut Lydia, hal tersebut juga membutuhkan waktu.
"Karena ada kekosongan hukum, maka saat ini daerah tidak boleh melakukan pemungutan, dan kapan mau diundangkannya, tergantung mereka (daerah)," ucap Lydia.
Dia pun menambahkan ada beberapa daerah yang belum mengesahkan Raperda menjadi perda atau peraturan kepala daerah, meski pemerintah pusat sudah memberikan konsultasi. Di antaranya, ada Kota Sorong (Papua Barat) dan Kabupaten Barito Selatan (Kalimantan Tengah).
"Daerah memang implementasi UU baru, mereka masih agak hectic dengan kondisi-kondisi di daerah dan sampai saat ini, semua perda sudah dilakukan evaluasi walaupun ada yang lewat, contohnya Sorong dan Barito Selatan," kata Lydia.