05 Mei 2023
20:00 WIB
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Penyandang disabilitas masih tersisihkan karena masalah fisik atau mentalnya. Ini bukan premis mengada-ada. Buktinya, sampai sekarang belum banyak pemberi kerja yang mau mempercayakan suatu pekerjaan pada mereka.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 masih mencerminkan kecenderungan ini. Tahun lalu, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang masuk usia produktif sebenarnya mencapai 17 juta orang. Akan tetapi, baru 7,6 juta orang saja yang terserap di dunia kerja.
Mereka yang belum bekerja bukannya tidak siap bersaing seluruhnya. Cukup banyak kok penyandang disabilitas yang sudah mengasah keterampilannya melalui pelatihan kerja.
Di sisi lain, pemerintah juga telah mendorong pemberi kerja untuk mempekerjakan mereka melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kewajiban merekrut penyandang disabilitas ini bahkan tidak hanya ditujukan untuk instansi pemerintah, BUMN atau BUMD. Sebab, Pasal 53 ayat 2 juga mewajibkan perusahaan swasta untuk mempekerjakan sedikitnya satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai.
Sayangnya, ekpektasi belum bermanifestasi jadi realita. Pemberi kerja biasanya punya beberapa alasan untuk menolak niat kerja mereka. Termasuk alasan masalah komunikasi ketika yang datang melamar penyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara.
Fajar Lestari (33) sering mendengar alasan yang satu ini. Pernah pada 2019, dia mendapati seorang penyandang disabilitas tetap kesulitan mencari pekerjaan meski sudah berhasil menyelesaikan pendidikan setingkat SMA.
Padahal, setahunya, anak itu sudah mengikuti berbagai pelatihan dan keterampilan yang memungkinkannya untuk bekerja. Skill yang dimiliki juga diyakini cukup.
“Waktu itu dia cerita, salah satu alasan dirinya tidak diterima karena memang ada masalah dalam komunikasi. Apa yang disampaikan oleh dia tidak bisa dipahami oleh pihak perusahaan,” kata Fajar, alumni jurusan Pendidikan Sekolah Luar Biasa saat berbincang dengan Validnews, belum lama ini.
Baca juga: Asyik Mengaji Dengan Bahasa Isyarat
Untung saja ada satu kedai kopi mau memberikan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas, termasuk anak yang dikenalnya itu. Barista yang bekerja di sana merupakan tuna rungu dan tuna wicara.
“Kesulitan komunikasi membuat teman-teman disabilitas ini diabaikan dan mengalami diskriminasi. Padahal, semakin banyak orang belajar bahasa isyarat, semakin mudah mereka berkomunikasi dengan kita,” ujar Fajar kepada Validnews, Minggu (30/4).
Karena ingin melihat banyak orang memahami bahasa isyarat, Fajar akhirnya bergabung dengan komunitas Belajar Bahasa Isyarat. Kebetulan, pendidikan yang ditekuninya saat mahasiswa berfokus pada SLB B untuk penyandang tuna rungu dan tuna wicara.
Fajar kemudian jadi aktif mengajak orang-orang untuk belajar bahasa isyarat semenjak bergabung dengan komunitas. Dia juga ikutan memberikan pelatihan dasar di kedai kopi yang khusus mempekerjakan penyandang disabilitas. Pria yang punya kepedulian tinggi kepada sesama ini rajin mengenalkan bahasa isyarat ke pengunjung Car Free Day (CFD), sampai ikut mempromosikan kelas gratis bahasa isyarat.
Biasanya, dia memberikan pengenalan dasar berupa kata sapaan sederhana dengan bahasa isyarat kepada masyarakat yang dijumpainya kali pertama. Kalau akhirnya orang itu tertarik mendalami bahasa isyarat, Fajar akan mengarahkannya untuk mengikuti kelas yang dibuka komunitasnya.
“Setiap akhir pekan biasanya kami mengadakan kelas bahasa isyarat yang bisa diikuti secara gratis,” kata Fajar.
Meski belum banyak masyarakat yang mau mempelajari bahasa isyarat, anak muda masih muncul silih berganti mengikuti kelas. Mereka mau belajar karena ingin bisa berkomunikasi dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara yang mereka kenal.
Ada juga yang mau belajar karena mereka memiliki keluarga yang tuna rungu dan tuna wicara. Mereka ingin bisa berkomunikasi dengan mudah dengan saudara atau sahabat mereka.
Fajar berharap, orang yang tertarik mempelajari bahasa isyarat akan semakin banyak. Bahkan, kalau memungkinkan, bahasa isyarat dapat masuk dalam muatan lokal atau eksra kurikuler di sekolah.
Menurutnya, jika hak itu diajarkan di sekolah umum, diskriminasi pada penyandang disabilitas karena faktor komunikasi pasti kian pudar.
Baca juga: Tiga Mahasiswa UI Ciptakan Mesin Penerjemah Bahasa Isyarat
Juru Bahasa Isyarat
Fajar tidak sendirian. Widya Ningrum (24) punya mimpi yang sama; melihat penyandang disabilitas terbebas dari diskriminasi. Mimpi ini jadi semangat yang menguatkannya mengajarkan bahasa isyarat. Semua bermula dari faktor lingkungan saat berkuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.
Beberapa teman dekatnya satu fakultas merupakan penyandang disabilitas. Ya, kampusnya memang tergolong peduli terhadap mahasiswa penyandang disabilitas.
“Di kampus, kita juga mendapatkan mata kuliah bahasa isyarat. Bahkan kampus juga memberikan berbagai kemudahan untuk teman-teman disabilitas tuli, dan ini yang membuat saya juga tertarik untuk mengajarkan bahasa isyarat,” cerita Widya, begitu dia biasa disapa.
Widya aktif mengajar bahasa isyarat di pusat studi berkebutuhan khusus yang ada di kampusnya. Kadang dirinya juga ditunjuk menjadi juru bahasa isyarat di berbagai kegiatan kampus dan kegiatan lainnya.
“Saya juga bergaul dengan teman-teman penyandang disabilitas tuli, dengan begitu saya bisa lebih banyak tahu dan mendapat kosakata baru dari mereka,” katanya.
Selain aktif di kampus, dia bergabung dengan salah satu komunitas Belajar Bahasa isyarat di Yogyakarta. Dari komunitas inilah, tumbuh niatnya untuk bekerja menjadi juru bahasa isyarat. “Beruntungnya saya mendapatkan kesempatan bekerja di salah satu instansi pemerintah,” ujarnya.
Meski sejak 2020 silam bekerja sebagai juru bahasa isyarat di Jakarta, komitmennya untuk memberikan pengetahuan terkait bahasa isyarat tidak luntur.
Ya, Widya tetap mengajar bahasa isyarat di kelas-kelas online yang diadakan oleh komunitasnya secara gratis. Semua dilakukannya bersama komunitas agar teman-teman penyandang disabilitas bisa mendapat tempat di masyarakat.
Namun, supaya efeknya membesar, dia berharap perguruan tinggi di Indonesia mau membuka akses sebesar-besarnya kepada penyandang disabilitas, dan menyediakan ruang komunitas, sehingga semakin banyak muncul mahasiswa dan tenaga pendidik yang bisa mengajar bahasa isyarat.
Baca juga: Berbagi Hati Di Kopi Tuli
Sama seperti Fajar dan Widya, Faticha Amalia (27) juga punya mimpi senada. Dia berharap banyak orang mau mempelajari bahasa isyarat. Dengan begitu, setiap orang bisa bebas berkomunikasi dengan penyandang disabilitas, tak seperti pengalaman hidupnya bersama adik dulu.
Icha-sapaan akrabnya- dulu merasa butuh tahu bahasa isyarat hanya untuk dapat berkomunikasi dengan adiknya yang merupakan penyandang disabilitas tuna rungu. Dulu, Icha sempat khawatir mendapati adiknya mulai bersikap tertutup setelah kedua orang tua mereka meninggal pada 2021 lalu akibat covid-19.
Adiknya juga sempat tidak mau sekolah setelah di-bully teman-teman sekolahnya karena urusan komunikasi. Namun dulu, Icha tak mampu berbuat banyak. Sebab mereka hanya dapat berkomunikasi melalui aplikasi WhatsApp.
Tak mau masalah ini berlarut, Icha akhirnya ikut kelas bahasa isyarat yang diadakan secara gratis oleh salah satu komunitas yang ada di kota Malang. Alhasil, hanya dalam hitungan bulan Icha sudah bahasa isyarat, dan dia sudah bisa berkomunikasi lancar dengan adiknya.
Kemampuan barunya ini bahkan sudah ditularkan Icha ke anggota keluarga yang sering berkunjung ke rumah mereka. “Sekarang keluarga yang datang bisa menyapa dan ngobrol dengan adik, walaupun masih terbatas,” tuturnya.
Kesempatan Kerja
Kini, hal sangat dipikirkan Icha ke depan adalah kehidupan adiknya saat dewasa kelak. Dia sadar masih banyak pemberi kerja yang enggan mempekerjakan orang dengan disabilitas.
“Walaupun sudah diwajibkan undang-undang tapi masih sangat jarang perusahaan yang mempekerjakan orang dengan disabilitas, ini yang menjadi kekhawatiran saya,” ucapnya lirih.
Beruntung saja sekarang masih ada satu dua pemberi kerja yang mau berpikiran terbuka. Fitri Khumairah misalnya, yang rutin belajar bahasa isyarat karena ingin membuka lapangan pekerjaan untuk penyandang disabilitas. Dia sudah setahun mengikuti kelas yang disediakan oleh komunitas Belajar Bahasa Isyarat.
Pengusaha yang akrab disapa Fitri ini memang sudah mulai merekrut penyandang disabilitas di sekitar tempat tinggalnya untuk bekerja di usaha kue kering yang didirikan oleh suaminya. Jadi, dia dan suami beriniasiatif belajar bahasa isyarat.
“Kami melihat keinginan mereka untuk bekerja ada, tetapi memang sering dianggap remeh oleh orang lain,” terang Fitri.
Fitri mengaku sedih melihat beberapa penyandang disabilitas di sekitar rumahnya kesulitan mencari kerja. Selama ini, mereka hanya bertahan hidup dari bantuan yang diberikan pihak RT dan warga sekitar. Karena kebetulan memerlukan karyawan, dia dan suami akhirnya bersepakat mempekerjakan mereka.
Diakui Fitri, meski hasil kerja mereka tergolong baik, kesalahan kadang muncul akibat miskomunikasi.
“Dari situ saya berpikir harus bisa berkomunikasi dengan bahasa yang mereka pahami, jadi saya dan suami sepakat belajar bahasa isyarat,” kata Fitri.
Baca juga: Disabilitas, Antara Kesetaraan dan Talenta
Niat belajar itu semakin menguat setelah dia mendatangi kedai kopi di Bekasi yang mempekerjakan barista tunarungu. Dari situ, Fitri kian yakin kesalahan dalam pekerjaan dapat diatasi jika dia dapat memahami bahasa isyarat.
Keraguan merekrut penyandang disabilitas juga sirna begitu dia aktif mengikuti pelbagai kegiatan yang diselenggarakan komunitas. Di kegiatan-kegiatan itu, Fitri kian banyak bertemu dengan teman-teman disabilitas lainnya.
“Dari situ saya juga menawarkan ke teman-teman yang mau bekerja di tempat kami untuk membuat kue, siapa tahu nanti mereka bisa mandiri dan membuka usaha sendiri,” ucapnya.
Ke depan, Fitri berharap pemerintah bisa lebih tegas kepada para pengusaha agar mau mempekerjakan para penyandang disabilitas. Sebab, setelah berkomunikasi dengan banyak penyandang disabilitas, dia yakin mereka dapat bekerja sama dan bekerja baik di dunia kerja.
“Mereka itu sama saja dengan kita, yang berbeda hanya cara berkomunikasinya dan ini yang harus bisa kita atasi dengan belajar bahasa yang mereka mengerti,” tutup Fitri.