c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

04 Desember 2019

20:57 WIB

Disabilitas, Antara Kesetaraan dan Talenta

Undang-undang belum mampu mengangkat kaum disabilitas menjadi setara. Sebagian besarnya masih bekerja di sektor informal

Disabilitas, Antara Kesetaraan dan Talenta
Disabilitas, Antara Kesetaraan dan Talenta
Penyandang tunadaksa binaan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Yayan Dwi Santoso menyelesaikan pembuatan kaos sablon di rumahnya Desa Donganti, Kediri, Jawa Timur, Senin (4/11/2019). Pemerintah daerah setempat memberikan bantuan peralatan sablon sekaligus pelatihan desain grafis kepada sejumlah kaum difabel agar mampu mandiri dan memiliki daya saing di dunia kerja. ANTARAFOTO/Prasetia Fauzani

JAKARTA – Sudah belasan lamaran pekerjaan dilayangkan oleh Ilham Maulana, sejak dia dinyatakan lulus dan meraih gelar Sarjana Teknik, Agustus 2018 lalu. Namun, hanya satu yang sempat diproses oleh perusahaan. Itupun kemudian gagal. Kondisi disabilitas yang ada dalam dirinya jadi nilai ‘minus’ yang menyebabkannya tak terpilih mendapatkan pekerjaan.

Beberapa saat sebelum merampungkan studi S1, tumor neuroma akustik menjangkit dirinya. Tumor tersebut merenggut kemampuan mendengarnya. Sejak itu, dia pesimistis akan ada perusahaan menerimanya bekerja.

Dan benar saja, selama 1,5 tahun impian untuk bekerja di sektor formal tak kunjung menjadi kenyataan. Tetapi, semangatnya tidak pernah surut. “Saya sekarang bantu-bantu bisnis rumah makan orang tua. Masih rutin lamar ke perusahaan, tapi belum ada yang menerima,” cerita Ilham, kepada Validnews, Selasa (3/12).

Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 53 ayat (2), menyebutkan: “Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja”.

Namun pada kenyataannya, tidak semua perusahaan mau menerima penyandang disabilitas. Meski orang tersebut terkadang memiliki talenta.

Lain lagi kisah dari Febby Wudya Putri, penyandang tuna rungu. Pergulatan hidup akan keterbatasan yang menjadi karunia Tuhan, telah dilampauinya. Dia telah berdamai dengan keadaan yang ada.

Saat ini, wanita berusia 25 tahun itu bekerja sebagai barista di Sunyi House of Coffee and Hope. Sudah lima bulan dia bekerja di sana. Mungkin baginya, tempat tersebut sebagai sebuah surga kecil. Karena jauh dari gunjingan-gunjingan orang masih memandang perbedaan. Di sana, para disabilitas dapat bekerja tanpa dibeda-bedakan. Mereka disetarakan.

“Aku suka kopi maka aku benar-benar bisa kerja di situ. Mau tambah pengalaman, bisa mendorong lebih maju,” terang Febby yang sadar akan sulitnya dia diterima bekerja di sektor formal.

Kini, Febby mengubur dalam-dalam niatnya sebagai karyawan di perusahaan swasta. Kenyamanan sudah didapatkan di kedai. Terlebih lagi, petinggi-petinggi dari kedai itu ikut menumbuhkan minat usaha bagi karyawan difabel.

“Yang membuat nyaman, bisa berkomunikasi sesama aku (tuna rungu). Mau (minat usaha) buka sekolah model (modelling), aku pengen gitu,” tandasnya.

Perluasan Lapangan Kerja
Founder Kafe Sunyi Mario Gultom mengaku banyak tantangan dalam mengakomodasi tenaga kerja difabel, khususnya perihal akses alat operasional. Alhasil, dia perlu merogoh kocek lebih untuk membuat alat-alat kopi yang tentunya ramah dengan karyawan disabilitas.

“Seperti contohnya, beberapa teknik kopi membutuhkan dua tangan untuk memproses kopinya, namun bagaimana jika barista hanya memiliki satu tangan?” tuturnya kepada Validnews, Senin (2/12).

Tidak sebatas memberikan pekerjaan, dia bersama dengan co-founder lainnya juga membekali kawan-kawan disabilitas dengan berbagai pelatihan. Tidak hanya seputar kopi, dan memasak, pengetahuan soal berbisnis pun diberikan, dengan harapan mereka nantinya tidak hanya terkungkung hanya sebagai pegawai.

“Semua ini kita lakukan agar mereka tidak hanya menjadi seorang barista. Tapi aktivis yang juga mengangkat kesetaraan difabel, memberi contoh kepada masyarakat banyak sekaligus memperjuangkan kesetaraan disabilitas di Indonesia,” jelas pengusaha muda berumur 25 tahun itu.

Mario dan teman-teman juga menampung karya-karya penyandang disabilitas untuk dipamerkan dan dijual di dalam kedai kopinya. Karya tersebut berupa lukisan dan merchandise, seperti tas, baju, gantungan kunci, hingga ukir-ukiran.

Soal kinerja penyandang disabilitas, ditegaskan bahwa tidak perlu diragukan. Mereka justru lebih memiliki etos kerja kuat.

Keinginan untuk membuka kesempatan kerja untuk disabilitas yang lebih luas juga menjadi impian dari Adhika Prakoso, salah satu founder Kopi Tuli. Karena dipahami, sampai dengan saat ini masih banyak pihak yang memandang sebelah mata tentang keberadaan penyandang disabilitas.

“Mereka (difabel) sangat tinggi, cuma permasalahannya masih sedikitnya ruang untuk mereka. Mereka memang ingin bekerja, minat yang baik. Punya kemauan dan niat yang baik,” jelas pria kelahiran 1990 itu kepada Validnews, Senin (2/11).

Target ke depan, dia ingin terus memberdayakan teman-tema disabilitas. Salah satunya dengan membuka 1.000 gerai Kopi Tuli, di seluruh Indonesia. Meski disadari bahwa impian tersebut tidak bisa dicapai dalam waktu cepat. Menurut perhitungan di atas kertas, diperlukan waktu sekitar 5–7 tahun.

Menilik lembar fakta yang dikeluarkan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) pada 2016, penyandang disabilitas kebanyakan bekerja di sektor informal. Untuk disabilitas kategori sedang, jumlahnya mencapai 65,54%. Sementara pekerja informal untuk penyandang disabilitas berat, jumlahnya semakin besar. Di mana persentasenya menembus angka 75,80%.

Ketakutan Swasta
Ketua Umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Aria Indrawati menanggapi statistik itu. Dia menegaskan bahwa sebenarnya penyandang disabilitas, termasuk tuna netra tak pernah takut untuk terjun dalam dunia kerja sektor formal.

“Tapi yang takut itu employer-nya (pemilik perusahaan). Karena mereka tidak tahu bahwa tuna netra itu bisa bekerja, jadi mereka cenderung menghindar,” ucap Aria kepada Validnews, Senin (2/12).

Pihak swasta, lanjut Aria, kerap kali berdalih saat dituntut untuk memenuhi kuota pekerja difabel. Salah satu alasan yang sering digunakan hingga kini adalah persoalan sistem yang masih belum siap menerima penyandang disabilitas. Alhasil, lowongan pekerjaan kerap nihil untuk kalangan disabilitas.

Namun, Ketua Forum Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia (FKPCTI) Mahmud Fasa punya pandangan lain. Saat ini komitmen pihak swasta untuk menggaet karyawan dengan keterbatasan fisik sudah lebih baik dari sebelumnya. Walaupun, diakui memang masih perlu pembenahan dalam akses sarana kerja bagi kaum difabel.

“Sebenarnya sudah mulai meningkat, dari perusahaan bisa menyesuaikan untuk memperkerjakan disabilitas,” ucap Fasa saat dihubungi Validnews, Senin (2/12).

Fasa menilai, kemajuan itu muncul lantaran pihak swasta kini paham tentang kesungguhan difabel dalam bekerja. Sebut saja tuna rungu yang bekerja di ritel makanan seperti Mc Donald’s.

Dari pengamatannya, rekan-rekan keterbatasan pendengaran dan berbicara cenderung fokus ketika bekerja, mengingat mereka tak membuang waktu untuk bergurau dengan sesama karyawan. Contoh lainnya adalah tuna daksa yang punya keterbatasan untuk begerak. Di pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan waktu lama untuk duduk di kursi, Fasa memandang bila rekan tuna daksa punya ketahanan lebih dibanding orang normal.

Walau begitu, ia tidak memungkiri kalau diskriminasi masih rentan terjadi. Di salah satu ritel perbelanjaan, FKPCTI, menyayangkan penggunaan pin atau rompi khusus bagi pekerja difabel. Bagi Fasa, atribut tersebut bisa menciptakan stigma negatif.

“Ini yang sedang kami negosiasikan untuk melepas. Pekerja-pekerja yang tuli itu mereka mengenakan rompi atau pin. Ini kami agak keberatan. Karena ini membuat diskriminasi,” tegasnya.

Bicara soal diskriminasi, LPEM FEB UI mencatat banyak pekerja difabel yang tidak mendapatkan perlindungan asuransi dan berbagai fasilitas dari tempat bekerjanya, seperti asuransi kesehatan dan kecelakaan serta pensiun. Selain itu, penyandang disabilitas pada umumnya bekerja dengan jam kerja yang lebih sedikit dari non-penyandang disabilitas. Imbasnya, upah rata-rata yang diterima juga lebih rendah.

Lebih lanjut, tingkat pendidikan penyandang disabilitas sebenarnya semakin meningkatkan upah dan peluang bekerja. Mirisnya, peningkatan upah yang didapat karena semakin tingginya pendidikan tidak sebanding dengan apa yang terjadi pada non-penyandang disabilitas.

Padahal jika menilik dari tingkat pendidikannya, hampir separuh atau sekitar 45,74% penyandang disabilitas tidak lulus pendidikan dasar. Jumlah itu sangat jauh dibanding non-penyandang disabilitas, sebesar 87,31% di antaranya berpendidikan SD ke atas.

Bidang Baru
Selain terbukti lebih unggul dalam pekerjaan tertentu, kemampuan dari para difabel bisa merambah bidang baru. Seiring dengan peningkatan literasi informasi dan teknologi (IT), pekerjaan tunanetra bukan hanya sekadar menjadi call center karena sudah mahir dalam pekerjaan bidang IT.

Kini, tak sedikit pula penyandang disabilitas yang memberanikan diri untuk memulai wirausaha. Soal wirausaha sendiri, Fasa menilai bila ceruk pasar akan lebih luas bila digarap oleh penyandang disabilitas.

Dalam pandangannya, masyarakat Indonesia punya sifat sosial yang tinggi. Mereka pun, kata Fasa, cenderung penasaran tergerak untuk membeli produk keluaran disabilitas untuk ikut mendukung usaha difabel agar lebih maju lagi.

Dia berharap agar pemerintah mau bekerja sama dengan organisasi penyandang disabilitas (OPD) untuk melatih kaum difabel untuk berwirausaha. Salah satu target yang bisa dibidik terlebih dahulu, lanjut Fasa, adalah panti-panti rehabilitasi penyandang disabilitas.

“Kegiatannya itu-itu saja setiap tahun, tidak melihat zaman, tidak melihat pasar,” keluhnya.

Tekan Pengangguran
Sementara itu, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial (Kemensos) Margowiyono mengungkapkan fakta soal jumlah penyandang disabilitas diperkirakan bertambah sesuai pertumbuhan penduduk adalah hal yang tidak bisa dihindari.

Tak ayal, penyandang disabilitas berpotensi untuk ikut andil dalam mencetak angka pengangguran. Mengacu pada data Kemensos, saat ini ada sekitar 173.239 penyandang disabilitas miskin. Dari jumlah itu, 26,8% atau sebanyak 46,4 ribu masuk dalam usia produktif 19-30 tahun.

Melihat jumlah tersebut, menurutnya harus ada berbagai langkah agar bisa menekannya. Satu yang bisa dilakukan adalah mulai mendorong agar pelaku usaha berbenah menyiapkan lingkungan ramah disabilitas.

“Seorang disabilitas kaki, siapkan tidak kursi rodanya di kantor? Siapkan tidak akses yang lain misal ke toilet? Ada pendamping? Jangan cuma sekadar sudah rekrut disabilitas ini tetapi ternyata di kantor tidak ada aksesibilitas,” ucapnya kepada Validnews, Senin (2/12).

Ia menambahkan, pada saat korporasi atau pelaku usaha mencoba untuk merekrut seorang difabel, harus dipikirkan pula soal tingkat ketahanan atau survival dari si penyandang disabilitas itu sendiri, baik itu dari beban kerja sampai jam kerja.

“Kalau sudah peraturan pemerintah tentang unit layanan disabilitas yang dikeluarkan oleh Kemenaker itu akan mengatur itu ya, waktu kerja, kompensasi kalau sudah bekerja. Inikan lagi diperjuangkan peraturan pemerintahnya,” jelas Margo.

Poin lain yang tidak kalah pentingnya untuk dibenahi adalah soal pembukaan lowongan pekerjaan. Margo menekankan jangan sampai ada diskriminasi, penyandang disabilitas seperti orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), autisme, hingga down syndrome juga harus mulai diperhatikan dan diberi ruang yang sama.

Dia menandaskan, ego ‘sektoral’ kerap jadi kendala. “Organisasi penyandang disabilitas, OPD jangan cuma mewakili satu ragam, misal tuna netra jangan hanya memikirkan tuna netranya, tetapi juga memikirkan keterwakilannya di ragam disabilitas yang lain. Ego ini harus dihilangkan, potensi mereka tetap ada,” pungkasnya.  (Shanies Tri Pinasthi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar