c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

31 Desember 2024

20:16 WIB

Riyanto, Martir Kemanusiaan Dari Mojokerto

Riyanto sempat dirundung kecemasan sebelum menjalankan tugas mulia, sampai akhirnya memantapkan hati demi laku kemanusiaan.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Riyanto, Martir Kemanusiaan Dari Mojokerto</p>
<p>Riyanto, Martir Kemanusiaan Dari Mojokerto</p>

ZIARAH-ANSOR - BANSER Kota Mojokerto bersama Pj Walikota Mojokerto Ali Kuncoro ziarah ke makam Riyanto, Sabtu (27/1/2024). (FOTO: KOMINFO Kota Mojokerto)

Laki-laki itu sedikit menggerutu dan mengajukan keberatannya kepada komandan kelompoknya.

"Kenapa kok orang Islam jaga-jaga gereja?," sergahnya.

Protesnya berlanjut. Dia menukas, haram baginya untuk masuk ke dalam tempat ibadah umat Kristiani.

Namun, jawaban sang komendan justru menohok hatinya. Laki-laki ini diceramahi komandannya. Apa yang mereka lakukan sejatinya adalah bagian dari jihad. Apalagi, rentetan kasus pemboman gereja yang sebelumnya pernah terjadi, membuat nama ormas Islam seperti mereka ikut cemar.

Maka, menjaga keamanan gereja saat malam Natal jadi bagian dari cara mereka untuk melawan kebiadaban segelintir umat Islam. Mereka berkepentingan untuk menunjukkan bahwa jalan Islam yang benar bukanlah jalan pembunuhan.

Sontak laki-laki itu terdiam. Diam-diam, dalam hatinya, dia menguatkan komitmen untuk menjalankan amanat komandannya.

Malam semakin larut dan ibadah Natal dimulai. Ketika itulah, dia melihat sebuah kotak kardus mencurigakan tergeletak di bawah kursi di barisan paling belakang jemaah. Penasaran, dia membukanya. Seketika itu juga mukanya merah, jantungnya berdebar keras: sebuah paket bom!

Sekitar 10 detik lebih dia tercenung, tak tahu harus berbuat apa. Seketika pula tawa anak yang disayanginya, juga istri yang selalu menghormatinya di rumah, membayang.

Lalu tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung mengangkut bom tersebut keluar. Sambil berteriak agar para penjaga yang lain menjauh, ia berlari menuju halaman, sejauh mungkin dari orang-orang, berkata, "Bom! Bom! Minggir!"

Tapi dia terjatuh dan bom meledak di halaman gereja, di antara deretan mobil yang terparkir. Api membumbung, semua orang terkesiap dan baru menyadari apa yang terjadi.

Laki-laki itu adalah Soleh dalam film Tanda Tanya (2011) karya Hanung Bramantyo. Soleh adalah seorang pemuda yang bergabung dalam barisan penjagaan malam Natal lewat ormas Islam yang diikutinya. Soleh yang semula meragukan tindakannya menjaga gereja, meninggal dunia demi menyelamatkan semua orang di tempat tersebut.

Soleh yang dibintangi oleh Reza Rahadian, tentunya adalah karakter fiksi. Namun, di dunia nyata, Soleh adalah Riyanto, seorang anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di bawah Gerakan Pemuda Ansor yang terafiliasi Nadhatul Ulama. 

Riyanto adalah sosok yang menginspirasi karakter Soleh, pemuda yang tewas dalam upayanya menjauhkan bom yang akan meledak dari Gereja Sidang Jemaat Pantekosta di Indonesia (GSJPDI) Eben Haezer di Mojokerto, pada malam Natal 24 Desember 2000 silam.

Riyanto meninggal dunia sebagai seorang martir, berkorban demi keyakinannya akan tugas. Terlepas perbedaan agama, dia rela berkorban karena meyakini bahwa sudah tugasnya untuk menjaga nyawa banyak orang yang berada di sekitar gereja saat itu. 

Peristiwa itu kini sudah 25 tahun berlalu. Akan tetapi, nama Riyanto masih dikenang oleh banyak orang sebagai pengingat tentang kemanusiaan. Kematian seorang pemuda muslim untuk melindungi jemaat yang menghadiri ibadah di malam Natal, menjadi sumber inspirasi tentang nilai-nilai toleransi di Indonesia hingga hari ini. 

Maka sudah tepatlah apabila namanya dijadikan nama salah satu jalan di Mojokerto. Setelah 25 tahun, sosok Riyanto masih menjadi teladan nyata tentang perjuangan untuk kemanusiaan. Bahkan, hingga kini, makam Riyanto terus dikunjungi baik oleh umat Islam maupun Kristiani.

Orang Kecil Berjiwa Besar
Riyanto adalah anak sulung dari pasangan Katinem dan Sukarmin, warga Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Jawa Timur. Bersama bapaknya yang seorang penarik becak, Riyanto sehari-hari menjadi tulang punggung untuk menghidupi keluarganya, termasuk enam adiknya.

Menurut catatan Imam Sujono dalam Jurnal Islam NU Nusantara Edisi Januari-Juni 2021, Riyanto lahir di Kediri pada 23 November 1975. Ketika peristiwa bom di malam Natal tahun 2000, pemuda itu baru menginjak usia 25 tahun.

Di mata keluarga, mengutip Imam Sujono, semasa hidup Riyanto merupakan sosok yang amat tulus hati. Sejak kecil, dia dikenal sebagai anak yang cekatan dan mau melakukan apa saja untuk membantu orang lain. Dia tak segan melakukan berbagai pekerjaan, membantu setiap orang yang membutuhkan tenaga, tanpa memusingkan bayarannya.

Riyanto tak lulus SMP. Dia putus sekolah saat di bangku kelas satu SMP. Karena itu pula, dia tak beroleh pekerjaan mentereng lazimnya mereka yang menuntut ilmu di sekolah tinggi. Dia bekerja serabutan, sebelum kemudian bekerja tetap sebagai kuli timbang di sebuah pabrik tahu di desanya.

Dari pekerjaan seperti itulah, Riyanto memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagai anak sulung, dia tak bisa mengeluh. Karena baginya, begitulah anak tertua seharusnya mengambil peran.

Perjalanan hidup kemudian membawa Riyanto masuk menjadi anggota Banser pada 1998, atas ajakan dari salah seorang tetua di organisasi tersebut. Sebelum itu, dia juga sudah memiliki ketertarikan besar dengan gerakan-gerakan kepemudaan dalam lingkup agama. 

Bahkan, sejak remaja, Riyanto sudah gemar mengikuti pengajian-pengajian, termasuk di antaranya yang dia ikuti adalah pengajian oleh Emha Ainun Najib di Mojokerto.

Dari ketertarikan itulah, Riyanto kemudian bergabung sebagai anggota Banser. Baginya, itu adalah jalan untuk berkontribusi dalam kehidupan keumatan. Meski tak lulus SMP, sosok ini menyimpan pandangan mendalam tentang fitrahnya sebagai manusia yang harus bermanfaat bagi keluarga, umat, dan agamanya.

Gugur untuk Tugas Pergantian
Tugas malam Natal tahun 2000 adalah pengalaman pertama kalinya. Ketika itu, dia baru sekitar 1,5 atau 2 tahun bergabung sebagai anggota Banser.

Pimpinan Banser Cabang Mojokerto menugaskan lima personel di setiap gereja, mengingat jumlah gereja yang terdapat di Kota Mojokerto begitu banyak jumlahnya. Riyanto mendapat bagian di Gereja Eben Haezer yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari rumahnya.

Pada mulanya, Riyanto tidak mendapatkan tugas untuk menjaga Gereja. Tugasnya  adalah berkeliling mendata situasi di masing-masing pos jaga. Namun, salah seorang anggota Banser yang harusnya berjaga malam dalam kondisi kurang sehat

Riyanto datang menemui pimpinan wilayah, meminta bertukar jaga dengan personil yang sakit. Pikirnya, personil yang tidak bugar tidak akan bisa lari apabila terjadi hal yang tidak diinginkan, entah lari dari apa yang saat itu terbayang oleh Riyanto.

Akhirnya, Riyanto pun mendapat tugas menjaga keamanan di gereja yang terletak di Jalan Kartini Kota Mojokerto. Ketika itu, selain Riyanto dan beberapa personil Banser, ada juga dari unsur kepolisian hingga TNI, menurut Imam Sujono melansir Purwanto dalam Interview with KasatKorcab Banser (2020).

Imam Sujono mencatat, sehari sebelum kejadian, Riyanto sempat dilanda gelisah akan tugasnya. Persis seperti digambarkan Hanung Bramantyo lewat karakter Soleh dalam film Tanda tanya. Hatinya berkecamuk karena tak yakin hukum soal menjaga tempat ibadah umat lain.

Namun, kegelisahan itu mereda setelah dia meminta masukan dari seorang pemuka agama yang dikenal, bahwa tugas itu adalah upaya untuk menjaga sesama makhluk Tuhan. Kayakinan itu memantapkan hati, hingga Riyanto berupaya memastikan keamanan gereja sebaik mungkin.

Tapi pada saat itulah, sebuah tas mencurigakan, terlihat oleh Riyanto. Dia membawa tas tersebut untuk diteliti bersama para personil Banser lainnya, dengan disaksikan juga oleh seorang polisi. Dan, mereka terkejut bukan kepalang karena tas tersebut menyimpan perangkat dengan kabel menguntai dan penanda waktu: bom!

Ada beberapa versi cerita yang beredar tentang tindakan Riyanto setelah menyadari tas yang ditemuinya adalah paket bom.

Salah satu yang paling banyak diceritakan, bahwa Riyanto dan para penjaga ketika itu berlari menjauh dari bom. Namun entah mengapa, Riyanto kemudian nekad berbalik dan mengangkut tas berisi bom tersebut, membawanya ke arah luar halaman gereja.

Bom itu belum meledak. Riyanto yang berhasil membawa bom itu hingga ke tepi jalan, menjatuhkan bom tersebut ke dalam selokan. Ketika itulah, perangkat tersebut mengeluarkan ledakan dahsyat, menerbangkan tubuh Riyanto hingga belasan meter dari titik semula.  

Dari sisi lain, Haji Bambang Purwanto yang merupakan kepala cabang Banser Mojokerto ketika itu, menggambarkan bahwa ledakan terdengar keras, dan seketika dia pun langsung berkoordinasi dengan tim di lapangan.

Pada saat Haji Bambang Purwanto sampai di tempat kejadian, tulis Imam Sujono, ia melihat bahwa anggota Banser-nya hanya tinggal empat orang, tanpa Riyanto. 

Pimpinan Banser ketika itu sempat kesulitan mencari keberadaan Riyanto, sebelum akhirnya mengetahui bahwa sosok tersebut telah tewas, terpental dan tercabik-cabik tubuhnya karena ledakan bom.

Jenazah Riyanto kemudian dibawa ke rumahnya, sebelum akhirnya dikubur keesokan harinya di Tempat Pemakaman Umum Kelurahan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. Banser dan keluarga besar NU berduka, pihak keluarga Riyanto melewati momen Idul Fitri yang jatuh pada 27 Desember 2000 dalam suasana kehilangan yang dalam.

Setelah kepergian Riyanto, berbagai kalangan menunjukkan penghargaan yang tinggi dengan menjadikan namanya sebagai nama jalan. Pun, haul-haul rutin kerap digelar untuk mengenang kepergiannya. Sementara itu, tradisi Banser menjaga malam Natal di Mojokerto terus berlanjut hingga saat ini.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar