10 Juni 2022
11:11 WIB
Penulis: Gema Bayu Samudra
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Indonesia punya banyak sejarah dalam perkembangan peradabannya. Fakta-fakta akan sejarah tersebut terlihat dari berbagai peninggalan yang masih ada hingga saat ini, Bentang Keraton Buton salah satunya.
Benteng Buton disebut juga sebagai Benteng Wolio, karena lokasinya yang terletak di Desa Limbo Woloi, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Tepatnya lagi berada di atas Bukit Wolio di ketinggian 100 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Benteng ini dinobatkan oleh Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) bersama dengan Guinness Book of Record sebagai bangunan pertahanan terluas di dunia karena memiliki luas benteng 23,375 hektare (ha) dan panjang keliling tembok benteng 2.740 meter.
Selain dinobatkan sebagai benteng terluas, benteng Buton juga dijuluki sebagai benteng pertahanan terbaik pada zamannya karena medan di sekeliling benteng cukup terjal dan tinggi. Posisi yang sulit dicapai ini bertujuan untuk menghalau serangan dari penjajah Portugis atau dari bajak laut.
Baca juga: Desa Wisata Peninggalan Zaman Megalitikum
Kesultanan Buton yang mendirikan benteng ini menggunakan batu gunung dan karang untuk memperkuat daya tahan bentengnya. Sementara itu, untuk tinggi dan ketebalan tembok bervariasi, mengikuti kontur tanah dan lereng bukit.
Pada posisi di lereng bukit yang terjal, maka benteng bisa memiliki tinggi mencapai 8 meter dan ketebalannya mencapai 2 meter. Struktur bangunan benteng lainnya, memiliki 4 pos pengintai, 12 pintu gerbang dan 16 benteng kecil. Ditambah parit dan sistem persenjataan berupa meriam.
Di dalam benteng terdapat masjid agung, sebuah istana sultan, makam sultan dan rumah adat. Ada juga sebuah perkampungan yang masih menetap sampai saat ini, sekitar 700 kepala keluarga.
Benteng Wolio dibangun pada masa Sultan Buton III La Sangaji yang memerintah Buton pada tahun 1591-1596. Konon, bangunan ini dibangun dengan menggunakan tumpukan batu yang disusun mengelilingi kompleks istana. Selain menjadi pertahanan, benteng ini juga sebagai pembatas antara kompleks istana dengan perkampungan masyarakat.
Setelah masuk ke masa pemerintahan Sultan Buton IV yang bernama Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi, tumpukan batu itu dijadikan bangunan permanen. Pembangunan selesai seluruhnya pada masa Sultan Buton VI yang bernama La Buke yang memerintah pada tahun 1632-1645.
Baca juga: Semarang Siapkan Desa Wisata Jelang Libur Lebaran
Mengenal Benteng Buton tidak hanya dari bangunan bentengnya yang bersejarah, namun juga lewat tradisi yang mereka miliki. Kande-kandea namanya. Sebuah tradisi makan bersama yang di dalamnya terdapat unsur ritual, hiburan, interaksi sosial, budaya dan politik.
Dulu, ini merupakan sebuah tradisi untuk menyambut para prajurit Kesultanan Buton yang pulang dari medan perang. Sebuah bentuk penghargaan atas perjuangan mereka di medan perang.
Ketika para prajurit pulang dengan kemenangan, maka acara tersebut akan dilakukan lebih meriah. Tradisi ini dilakukan oleh para gadis yang menyiapkan makanan lalu menyuapkannya kepada prajurit.
Baca juga: Mengintip Indahnya Bahari Garut Di Pantai Santolo
Di sisi lain budaya ini juga merupakan kesempatan bagi para muda mudi untuk saling pandang. Pada saat ini, kande-kandea masih rutin dilaksanakan oleh tiga etnis di Kabupaten Buton, yaitu etnis Cia-cia, Muna (Pancana) dan Wolio.
Sesuai perkembangan zaman, akhirnya tradisi ini berubah menjadi sebuah ikon dan festival yang dilaksanakan setiap tahun. Biasanya dilakukan sepuluh hari setelah Lebaran Idulfitri.
Para tamu yang datang ke festival, disuapi makanan oleh para gadis Buton yang telah berpakaian adat khas Buton. Tradisi ini banyak dikunjungi oleh masyarakat Buton, wisatawan dalam negeri maupun wisatawan luar negeri.