20 Mei 2021
16:31 WIB
Penulis: Dwi Herlambang
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA – Meski digempur digitalisasi, masyarakat Banyuwangi hingga kini masih mengabadikan tarian tradisional khas daerahnya. Salah satunya jaranan buto. Jaranan buto adalah tarian menggunakan properti kuda-kudaan laiknya tari kuda lumping, jaran kepang, atau jatilan.
Akan tetapi kuda yang dipakai di jaranan buto sedikit berbeda. Bentuk dan rupanya terkesan lebih seram, menyerupai raksasa atau buto. Selain itu, para pemainnya juga menggunakan riasan serupa raksasa dengan mata merah, bertaring, dan berambut panjang.
Tarian ini memiliki beberapa cerita dan gerakan yang berbeda-beda. Sehingga tiap pementasannya selalu unik. Keunikan seni ini meliputi inti cerita, kostum penari, dan iringan gamelan yang berbeda dengan kesenian jaranan umumnya.
Musik pengiring jaranan buto terdisi dari kendang, bonang, gong, kempul terompet, kecer dan seperangkat gamelan. Di setiap penampilannya, para pemain harus memunculkan atraksi, salah satunya kesurupan yang menjadi puncak acara.
Baca juga: Menggeliatkan Kembali Pertunjukkan Tari-tarian Bali
Nantinya pemain yang kesurupan akan mengejar orang-orang yang menganggunya dengan siulan. Ada juga penari yang memakan kaca, api, menggigit ayam hidup sampai mati.
Didalam kesenian ini terdapat 16 sampai 20 orang pemain yang biasanya dihimpun dalam 8 grup. Semua akan menari dengan menggunakan replika kuda kepang yang terbuat dari kulit lembu atau sapi yang dipahat berbentuk karakter raksasa.
Agar atraksi berjalan sesuai yang diinginkan terdapat seorang pawang yang bertanggung jawab atas jalannya acara. Pawang ini berfungsi untuk menyadarkan kembali para penari dan penonton yang kesurupan.
Berbicara soal sejarahnya, tari jaranan buto beradasal dari Dusun Cemetuk—sebuah dusun kecil yang menjadi bagian dari wilayah administratif Desa Cluring, Kabupaten Banyuwangi dan letaknya berbatasan dengan wilayah kecamatan Gambiran.
Atas dasar lokasi tersebut menjadikan masyarakat Dusun Cemetuk mendapatkan pengaruh kebudayaan masyarakat Jawa Mataram yang ada di wilayah Gambiran.
Baca juga: Ketika Wayang Kulit Dipertunjukkan Lewat Bahasa Jepang
Masyarakat Gambiran sebagian besar masih memiliki garis keturunan trah Mataram. Dari pengaruh itu, kesenian jaranan buto dikatakan sebagai bentuk akulturasi budaya. Memadukan kebudayaan osing—suku asli Banyuwangi—dengan kebudayaan Jawa Mataram.
Jaranan Buto mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo. Terdapat beberapa anggapan yang mengatakan bahwa Minakjinggo adalah seorang yang berkepala raksasa yang dalam bahasa Jawa disebut Butho.
Penggunaan kuda dalam atraksi jaranan buto memiliki filosofi semangat perjuangan. Kuda juga dimaknai sikap ksatria dan kerja keras tanpa lelah dari seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi semua kondisi dalam kehidupan.