08 November 2025
18:00 WIB
Ironi Konsumsi Ikan Di Negara Maritim
Angka konsumsi di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan tangkapan ikan terbanyak di dunia. Di sisi lain, sampah mikroplastik menghantui laut kita. Apa sebabnya?
Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba
Pedagang sedang membersihkan dan memotong ikan hasil tangkapan nelayan di Pasar Ikan Muara Angke, Jakarta (04/11/25). Validnews/Hasta Adhistra.
JAKARTA - Sebagai negara maritim, Indonesia masuk dalam negara dengan tangkapan terbesar di dunia. Banyak ragam pula makanan dengan menu ikan di tanah air ini. Maka, wajar jika ikan menjadi lauk wajib buat sebagian orang Indonesia di berbagai daerah dan suku bangsa. Tapi tidak bagi Nizar (35).
Pria yang tinggal di Jakarta Pusat ini malah tumbuh tanpa banyak kenangan soal olahan ikan di rumah. Kebetulan sedari kecil, keluarga memang tidak membiasakan konsumsi ikan. Hanya sesekali saja dia mencicipinya.
Kebiasaan itu terbawa sampai ia dewasa. Dalam ingatannya, terakhir mengonsumsi ikan di tahun 2023 lalu. Saat dia bersama istrinya memesan ikan manyung saus kuning di sebuah restoran yang ternyata rasanya enak. Namun demikian, kelezatannya tidak lantas membuat dia menjadi penggemar ikan.
"Sepertinya karena dagingnya kurang flavourful, cenderung ngebosenin, tidak kaya daging ayam atau sapi," cerita karyawan swasta itu pada Validnews, Jumat (7/11).
Meski begitu, bukan berarti menu ikan benar-benar lenyap dari dapur rumahnya. Ada satu menu yang masih bertahan hingga kini, yaitu sambal pindang. Nizar beralasan, rasa sambal pindang cukup kuat menutupi rasa amis dari ikan. Baginya, selera makan ikan adalah soal rasa dan kebiasaan, bukan sekadar urusan gizi.
"Sah-sah saja, bisa disubstitusi dengan makanan lain kalau memang peduli gizi. Sekarang pun makan ikan sesekali lebih karena rasanya, bukan karena kandungan gizi," lanjut Nizar.
Meski tergolong sebagai bukan pecinta ikan, Nizar memiliki pandangan terbuka untuk generasi selanjutnya. Dia tidak ingin anak-anaknya kelak tumbuh dengan pola makan yang terlalu selektif seperti dirinya. Malah, dia ingin membiasakan anaknya kelak makan yang lebih bervariasi sejak kecil.
"Setelah itu terserah dia tidak suka yang mana. (Pokoknya) ingin mengenalkan berbagai makanan biar tidak terlalu picky atau gampang alergi," timpal Nizar.
Stigma Buruk Konsumsi Ikan
Harapan serupa juga diungkapkan oleh Novita (30), warga Tangerang Selatan. Novita mengatakan kalau punya anak nanti, ingin mengenalkannya ikan karena menjadi sumber protein yang baik. Bahkan, calon ibu itu mengaku telah memikirkan cara untuk memperkenalkan ikan dengan cara yang menyenangkan.
"Saya akan berusaha mengolah masakan agar lebih menarik, supaya anak-anak bisa terbiasa dan menyukainya tanpa rasa terpaksa. Namun kemungkinan saya sendiri tidak akan berani menyicip," kata Novita pada Validnews.
Keengganan Novita untuk makan ikan timbul saat dia masih di bangku sekolah dasar (SD). Kala itu, Novita sedang berlibur ke kampung halamannya yang hampir setiap rumah memiliki balong. Sepintas terlihat bersih, tetapi ternyata tidak semua kolam itu seperti yang Novita bayangkan.
"Sampai suatu hari abang saya sempat berucap kalau ikan-ikan itu memakan kotoran. Sejak saat itu, saya mulai merasa jijik dan perasaan itu terbawa sampai sekarang," cerita Novita.
Bahkan, ketika melihat ikan laut sekalipun, Novita tetap tidak suka. Dia bercerita lagi, belum lama ini saat makan di sebuah acara prasmanan, Novita sempat menyantap olahan ikan dori asam manis. Awalnya, ia menikmati, namun begitu teringat ingatan masa kecilnya, selera makannya langsung menghilang.
"Semua jenis ikan (tidak aku suka), kecuali kalau sudah jadi mpek-mpek. Saya hanya bisa makan mpek-mpek yang dibuat tanpa sepenglihatan saya atau buatan orang lain," imbuh dia.
Kisah Nizar dan Novita menjadi gambaran kecil dari ragam alasan di balik rendahnya minat makan ikan di kalangan masyarakat urban. Padahal, produksi perikanan tangkap Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Dikutip dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, dari yang sekitar 7.489.395 ton ikan di 2022, menjadi 7.845.603 ton ikan di 2023. Namun mengalami sedikit penurunan di tahun 2024, yakni 7.811.503 ton ikan.
Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Sumatera Utara menjadi daerah-daerah dengan jumlah produksi perikanan tangkap terbesar di Indonesia.
Sementara konsumsi ikan masyarakat Indonesia sekitar 25,31 kg per tahun pada 2024. Angka ini memang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yaitu 25,07 kg per kapita. Papua Barat Daya, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, da Kepulauan Bangka Belitung menjadi lima daerah dengan konsumsi ikan terbesar.
Tapi, angka ini masih cukup rendah dibandingkan dengan negara tetangga berdasarkan data Our World in Data di 2019. Namun kenapa konsumsi ikan masih rendah?
Dampak Rendahnya Konsumsi Ikan
Spesialis gizi RS Pondok Indah Puri Indah, dr. Raissa Edwina Djuanda mengatakan, ada banyak hal yang menyebabkan rendahnya konsumsi ikan di Indonesia. Mulai dari kebiasaan makan ikan yang tidak terbentuk sejak dini, rasa dan bau ikan yang dianggap amis, sulit diolah, sulitnya mengakses ikan segar yang lebih sulit sehingga harganya menjadi mahal, sampai kurangnya edukasi mengenai manfaat ikan bagi kesehatan.
"Jadi bisa jadi karena kebiasaan makan yang sudah terbentuk sejak kecil. Masyarakat cenderung memilih makanan cepat saji atau kemasan yang dianggap lebih mudah dan praktis untuk dikonsumsi, padahal belum tentu lebih sehat," kata dr. Raissa saat dihubungi, Jumat (7/11).
Padahal, ikan merupakan salah satu sumber protein hewani terbaik karena mempunyai asam amino esensial lengkap, lemak sehat seperti omega-3, dan mikronutrien penting lainnya, seperti vitamin D, B12, yodium, dan selenium yang dibutuhkan oleh tubuh. Dengan sejuta kandungannya itu, konsumsi ikan dapat membantu menjaga fungsi otak, jantung, dan imunitas tubuh, serta berperan dalam mencegah penyakit degeneratif, seperti diabetes dan penyakit jantung.
Meski dapat disubstitusi dengan daging ayam, daging sapi, dan telur, namun, kandungan vitamin dan mineral berbeda dengan sumber protein lain. Apalagi kandungan asam lemak omega-3 yang ada pada ikan laut.
Kandungan tersebut sangat penting untuk fungsi otak, retina mata, dan sistem kardiovaskular. Belum lagi pada ikan laut terdapat yodium dan vitamin D alami yang lebih banyak dibandingkan daging ayam atau sapi.
"Ikan itu sumber protein yang sempurna, jadi di dalamnya ada kandungan dari vitamin dan mineral yang sebenarnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita. Makanya kalau tidak makan ikan, sebaiknya kita makan bervariasi," spesialis gizi MRCC Siloam Hospital, dr. Inge Permadhi.
Kurang konsumsi ikan dapat menyebabkan asupan omega-3, yodium, dan vitamin D menjadi rendah. Akibatnya, dalam jangka panjang risiko penyakit jantung dan stroke pun menjadi lebih tinggi, terjadinya gangguan fungsi kognitif dan risiko depresi.
Sementara pada anak, risiko masalah tumbuh kembang pada fungsi otak dan penglihatan, sampai kekurangan yodium yang bisa menyebabkan gangguan tiroid.
Ekosistem Perairan yang Buruk
Sayangnya, negara dengan garis pantai lebih dari 108 ribu km dan 17 ribu pulau ini, selain kaya akan keanekaragaman bahari, juga kaya akan timbunan sampah laut. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) memperkirakan, timbulan sampah nasional pada 2025 mencapai 50,06 juta ton.
Dari jumlah itu, sekitar 40% tidak terkelola dan sebagian besar berakhir di laut. Ironisnya lagi, setiap tahunnya diperkirakan 16,02 juta ton sampah masuk ke perairan Indonesia, sehingga membuat kondisi laut Indonesia semakin tercemar. Bahkan, ada penelitian yang mengungkapkan, bahwa ikan-ikan di teluk Jakarta mengandung parasetamol. Terdengar aneh, tapi ini nyata.
Laporan World Bank (Atlas of Sustainable Development Goals 2023) juga menempatkan Indonesia di posisi kedua penyumbang sampah plastik laut terbesar di dunia, setelah Cina. Selain merusak pemandangan, plastik yang terbuang akan terurai menjadi mikroplastik dan masuk ke rantai makanan. Pada akhirnya, partikel kecil ini bisa masuk ke tubuh manusia.
Mikroplastik kini ditemukan dalam garam laut, air minum, bahkan darah manusia. Salah satunya karena konsumsi ikan laut yang berasal dari perairan tercemar. Dari sana, persepsi ikan tercemar atau mengandung mikroplastik pun muncul. Tidak sedikit pula orang-orang yang menolak untuk mengonsumsi ikan karena adanya stigma tersebut.
"Khawatir itu sah-sah saja karena pencemaran laut memang meningkat. Namun, perlu ditegaskan bahwa kandungan mikroplastik pada ikan umumnya masih sangat kecil, dan sebagian tertinggal di saluran cerna atau usus yang biasanya tidak dikonsumsi. Jadi, risiko langsung terhadap kesehatan manusia masih relatif rendah dibanding manfaat gizinya," jelas dr. Raissa.
Mikroplastik yang mencemari ikan tidak akan mengurangi kandungan gizi di dalamnya, termasuk protein atau lemak omega-3. Namun perlu dipahami, ikan yang hidup di perairan tercemar berat bisa jadi terpapar logam berat seperti merkuri atau timbal, yang secara tidak langsung memengaruhi kualitas gizi dan keamanan konsumsinya.
Konsumsi ikan dari perairan yang tercemar nikel secara terus menerus berisiko karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker pada manusia.
"Mikroplastik yang tertelan dalam jumlah besar berpotensi menyebabkan peradangan kronis di usus. Jika akumulasi jangka panjang terjadi, dapat berkontribusi terhadap stres oksidatif dan gangguan hormonal. Namun hingga kini penelitian terkait itu pada manusia masih terbatas," imbuh dr. Raissa.
Maka itu, dokter yang juga berpraktek di RS Metropolitan Medical Centre ini menganjurkan agar masyarakat dapat mengonsumsi ikan dengan cara yang lebih bijak. Semisal, dengan memilih ikan berukuran kecil sampai sedang, karena akumulasi logam beratnya lebih rendah dibanding ikan besar. Pastikan ikan segar dan bersih, serta dimasak dengan baik. Alangkah lebih baik membeli dari budidaya air tawar atau laut bersih.
"Variasikan juga dengan produk laut lain, seperti udang, cumi, atau ikan tawar, untuk mendapatkan berbagai zat gizi dan mengurangi risiko paparan berlebih dari satu sumber," ucap dr. Raissa.
Pada akhirnya, konsumsi ikan yang rendah bukan hanya masalah soal selera, melainkan juga cerminan dari kondisi perairan Indonesia. Perlunya kesadaran dan peran banyak pihak untuk meningkatkan kembali gairah masyarakat konsumsi ikan. Laut Indonesia bukan hanya luas, tetapi juga seharusnya menyehatkan.