01 Februari 2023
19:37 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja yang belum lama ini diluncurkan pemerintah menghasilkan berbagai pasal yang bermasalah. Salah satunya, ialah Pasal 128A berkaitan perubahan iuran produksi atau royalti produk hilirisasi batu bara menjadi 0%.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira telah menghitung bahwa tingkat kehilangan pendapatan negara atau potential loss dari pemberlakuan Perpu Ciptaker itu mencapai Rp33,8 triliun per tahun.
Angka tersebut didapatkan dari beberapa project yang sudah berjalan, di mana gasifikasi batu bara mengambil sekitar 23% dari total produksi batu bara. Bahkan, ke depannya gasifikasi batu bara bisa menyerap lebih dari 23% dari total produksi.
"Tapi, kita asumsikan seandainya 23% produksi batu bara masuk dalam gasifikasi dan pengusaha tidak bayar royalti, maka potential loss-nya mencapai Rp33,8 triliun," ujar Bhima dalam sesi diskusi daring di Jakarta, Rabu (1/2).
Baca Juga: Bahlil: Hilirisasi Bisa Tarik Investasi US$545,3 Miliar
Kerugian itu menurutnya baru hitung-hitungan spesifik dari sisi fiskal per tahunnya. Jika insentif itu terus berjalan selama 20 tahun ke depan, maka negara dipastikan bisa merugi hingga lebih dari Rp676,4 triliun.
"Angkanya bisa 2-3 kali lipat lebih besar dari Rp676,4 triliun karena ada risiko stranded asset. Ini sangat besar dan sebetulnya bisa menghasilkan 305.632 unit sekolah dan 4.039 unit rumah sakit," kata dia.
Bhima pun menyebut selain potensi kehilangan pendapatan, Perpu Cipta Kerja juga mengimplikasikan pertambangan batu bara akan tetap ada dan beroperasi dalam jangka waktu yang lama.
Kondisi itu berlawanan dengan skenario transisi energi yang termaktub dan disepakati, antara lain pada KTT G20, Just Energy Transition Partnership (JETP), komitmen Indonesia mencapai NZE selambatnya tahun 2060, dan sederet mekanisme lain.
"Ini sangat besar dan harus jadi pertimbangan. Untuk itu, kita dorong dari sisi pemerintah, baik itu BPKP ataupun KPK untuk menelusuri temuan riset kita bahwa ternyata Perpu Ciptaker tidak memberi efek positif bagi ekonomi, keuangan negara, dan lingkungan hidup," ucapnya.
Kehilangan pendapatan negara akibat kebijakan insentif royalti 0% pada Perpu Ciptaker itu kemudian juga akan berdampak pada pelebaran defisit anggaran TA 2023. Pemerintah sendiri telah menetapkan batas defisit TA 2023 di bawah 3% atau sekitar Rp598,2 triliun.
Implementasi insentif hilirisasi batu bara pada Perpu Ciptaker, lanjut Bhima, akan menimbulkan risiko target pada APBN 2023 menjadi meleset. Kehilangan royalti menurutnya akan menambah hingga 5,7% dari total defisit anggaran TA 2023.
"Semakin besar insentif yang diberikan kepada pengusaha batu bara, akan menambah beban keuangan negara. Apa implikasi dari defisit yang melebar itu? Salah satunya, negara akan menanggung beban utang yang besar ke depannya," jelas Bhima.
Baca Juga: Proyek Gasifikasi Batubara Ditargetkan Rampung 2027
Dana Bagi Hasil
Tak sekadar berdampak pada keuangan negara, penerapan insentif royalti 0% hilirisasi batu bara pada Perpu Ciptaker juga akan berpengaruh terhadap dana bagi hasil (DBH) yang diterima pemda penghasil sumber daya alam.
Bhima menegaskan kebijakan royalti 0% hilirisasi batu bara itu bertentangan dengan upaya menyalurkan kompensasi sumber daya alam (SDA) yang adil bagi daerah penghasil.
"Jadi, daerah penghasil sudah rusak lingkungannya karena eksploitasi, sedangkan royalti 0% akan mengurangi DBH yang mereka terima," ungkapnya.
Padahal di sisi lain, sebanyak 80% PNBP royalti ditransfer ke daerah penghasil, baik di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Tercatat lebih dari 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih menggantungkan pendapatan daerah mereka dari DBH Batu bara.
Selain itu, kehilangan potensi DBH di tengah booming harga batu bara juga berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan kemiskinan, penyaluran stimulus bagi usaha mikro, hingga belanja mitigasi kerusakan lingkungan di daerah penghasil SDA.
"Jadi saya kira pemda juga harus menaruh perhatian pada implikasi Perpu Ciptaker terhadap kas atau penerimaan dari DBH," tandas Bhima Yudhistira.