08 November 2023
21:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pemerintah akan segera meluncurkan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) yang digagas dalam Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal ini dilakukan demi menyukseskan transisi energi di Indonesia.
Indonesia JETP merupakan perjanjian untuk memobilisasi pendanaan pemerintah dan swasta sebesar US$20 miliar untuk mendukung transisi energi yang adil di Indonesia.
“Saya akan datang pada 21 November ke Sekretariat JETP dengan rencana untuk meluncurkan CIPP. Saya harap, ini tidak hanya terpaku pada rencana” katanya dalam Indonesia International Conference for Sustainable Finance and Economy 2023 (IICSFE 2023), Jakarta, Rabu (8/11).
Dirinya menekankan, rencana CIPP tersebut haru menjadi ‘dokumen hidup’ dalam artian bisa dilaksanakan sesuai dengan asumsi skenario yang dikembangkan banyak pihak. Apalagi, CIPP merupakan alat komprehensif untuk menyukseskan transisi energi di Indonesia.
Rencana itu ditetapkan melalui tahapan membatasi total emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 250 metrik juta ton CO2 pada tahun 2030. Lalu, peningkatan porsi pembangkitan energi terbarukan hingga menjadi 44% pada tahun 2030.
Baca Juga: Sri Mulyani: Perubahan Iklim Ancam Pembangunan Indonesia
Tak lain, sejumlah target besar tersebut dipatok untuk mencapai net zero emissions dari sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050. “Jika sektor energi dapat menyumbang emisi nol bersih pada tahun 2050, saya yakin komitmen tahun 2060 (net zero emissions) pasti dapat tercapai,” tegasnya.
Dengan komitmen sebesar itu, sambungnya, perkiraan biaya untuk melaksanakan upaya transisi energi diestimasi bisa mencapai US$95,9 miliar untuk 2023-2030. Dan terus meningkat hingga US$530 miliar untuk 2030-2050.
Bendahara Negara tak khawatir terkait potensi atas kebutuhan pembiayaan transisi energi sebesar itu, lantaran ada triliunan dolar AS yang tersedia di global untuk menyukseskan target ini. Secara spesifik untuk melaksanakan sekitar 1.000 proyek potensial transisi energi di seluruh Indonesia.
“(Ada) 400 proyek yang diidentifikasi oleh Sekretariat JETP, dengan kami sekarang datang dengan 41 proyek teratas. Jadi, kita (Indonesia) akan melihat ini akan menjadi sesuatu yang akan terus dibuat kemajuannya,” paparnya.
Baca Juga: Respons Perubahan Iklim, Pemerintah Dorong Penggunaan EBT Secara Masif
Sejauh ini, ada dua proyek percontohan yang Kemenkeu amati dan pantau berkaitan memensiunkan dini tenaga listrik batubara berdaya 1,5 juta watt. Pemerintah mengidentifikasi keduanya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Cirebon dan satu lagi milik PLN.
Dirinya akan terus melihat apakah proyek transisi energi akan benar-benar terjangkau dan adil pelaksanaannya. Pasalnya, kondisi ini akan berbeda signifikan di lapangan.
“Jadi kami akan terus melakukan transisi energi dengan terus mengidentifikasi masalah nyata dengan mengambil kasus di lapangan sehingga semua pemangku kepentingan… dapat mengucurkan triliunan uangnya ke dalam proyek nyata,” katanya.
Mekanisme Pasar Karbon
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, pemerintah juga melakukan upaya lain dalam melaksanakan transisi energi dengan mengedepankan mekanisme berbasis pasar. Hasilnya, Kemenkeu bersama OJK mengeluarkan ‘produk’ harga karbon, pajak karbon, hingga perdagangan karbon.
Pendekatan Indonesia terhadap penetapan harga karbon pun dalam hal ini masih akan terus disesuaikan. “Indonesia yang masih merupakan negara berkembang, tidak seperti negara maju. Jadi keterjangkauan sangat penting,” ujarnya.
Ia mencontohkan, Indonesia akan memiliki sistem perdagangan emisi dan sektor energi. Dari 99 pembangkit listrik, 86 di antaranya menyumbang kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara nasional. Indonesia juga mneyadari kemampuannya untuk terus membangun mekanisme pasar ini.
“Terdapat potensi penggantian kerugian hingga 1,3 giga ton karbondioksida yang secara implisit nilainya US$190 miliar, yang dapat menciptakan peluang finansial yang juga dapat berkontribusi pada pembiayaan transisi (energi) ini,” sebut Sri Mulyani.
Di luar carbon exchange, Indonesia terus membangun kerangka kerja untuk transisi energi, termasuk terus meningkatkan dan menerbitkan instrumen-instrumen investasi baru. Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang telah menerbitkan obligasi hijau dibanding negara emerging dan berkembang lainnya.
“Inilah salah satu reputasi yang sudah dibangun Indonesia di tingkat global, maupun di dalam negeri. Kami menerbitkan obligasi pemerintah yang berbasis pada obligasi ramah lingkungan yang sudah diakui dan memiliki rekam jejak,” urainya.
Pemerintah Indonesia juga terus menjalin kerja sama dengan institusi lain secara global atau ASEAN dalam taksonomi global. “Agar kita mampu mencapai komitmen net zero emisi ini pada tahun 2060, atau bahkan tahun 2050,” serunya.