08 November 2023
15:48 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, perubahan iklim merupakan ancaman nyata bagi pembangunan di Indonesia. Terutama dalam upaya Indonesia mencapai tujuan sebagai negara berpendapatan tinggi yang sejahtera dan adil.
“Perubahan iklim sudah pasti menjadi salah satu ancaman yang perlu (Indonesia) ditangani,” ucapnya dalam Indonesia International Conference for Sustainable Finance and Economy 2023 (IICSFE 2023), Jakarta, Rabu (8/11).
Secara global, Indonesia juga menyadari bahwa perubahan iklim mempunyai implikasi yang sangat serius. Mengacu perkiraan Bank Dunia, dampak dari kondisi ini dapat menelan biaya US$560 miliar dan menciptakan kemiskinan baru hingga 100 juta orang bertahun-tahun setelahnya.
“Jadi ini adalah sebuah kasus yang mendesak untuk kita semua atasi,” kata Sri Mulyani.
Karena itu, Kementerian Keuangan mendukung penuh upaya pendanaan dari sisi transisi energi di Indonesia untuk mengatasi situasi yang tidak berkelanjutan. Dalam perjalanannya, Indonesia juga mendesak semua pihak di berbagai kesempatan domestik maupun global untuk bisa memobilisasi pembiayaan transisi energi menuju ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Konkretnya, selama masa kepresidenan G20, Indonesia mendorong isu keuangan berkelanjutan, yang diketuai bersama oleh Amerika Serikat dan China. Hal ini didesak, agar bisa mencapai kesepakatan tertentu tentang mendorong agenda keuangan berkelanjutan.
“Dalam keketuaan ASEAN, kami juga mendorong perubahan iklim ini khususnya pada (sisi) pembiayaan untuk menjadi salah satu prioritas terpenting dari topik yang baru saja kita diskusikan di antara para menteri keuangan dan para pemimpin tingkat tinggi (kawasan),” tegasnya.
Baca Juga: Respons Perubahan Iklim, Pemerintah Dorong Penggunaan EBT Secara Masif
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menggarisbawahi, isu ini tidak akan teratasi, jika semua upaya ada hanya berhenti di tingkat pembicaraan saja pada semua kesempatan domestik maupun internasional.
Dia menekankan, keberhasilan semua pihak dalam menyelesaikan semua masalah Indonesia, khususnya dalam transisi energi, akan memberikan optimisme penyelesaian isu yang sama kepada semua wilayah di dunia.
Sebagai konteks, Sri Mulyani memaparkan ada sekitar 62% pembangkit listrik di Indonesia saat ini berbasis batu bara, yang dalam cakupan kecil di antaranya ditenagai bahan bakar fosil.
“(Jadi), saya sangat optimistis kita bisa menyelesaikan permasalahan transisi energi di dunia. Ini bukan sekadar jargon yang terkesan patriotik ya,” ujarnya.
Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, yang dikukuhkan dalam banyak peraturan kebijakan. Salah satunya OJK, yang akan jadi salah satu lembaga yang menyiapkan platform bagi partisipasi sektor swasta dalam upaya transisi energi.
Ke depan, Indonesia juga sudah mengeluarkan strategi jangka panjang dalam rendah karbon dan ketahanan iklim pada tahun 2050. Agar dapat mencapai target net zero emission pada 2060.
Pemerintah mengidentifikasi, hutan dan tata guna lahan merupakan dua sektor yang berkontribusi begitu penting dan sangat signifikan dalam mengurangi karbondioksida.
“Biayanya relatif murah jika dibandingkan dengan sektor lain,” ungkapnya.
Baca Juga: Gaung Besar Pembiayaan Berkelanjutan
Sektor lainnya adalah energi yang kontribusi terhadap emisi CO2 sangat signifikan, meski Sri Mulyabniakui mengurangi karbondioksida via transisi energi mesti dicapai dengan biaya yang mahal.
“Jadi tantangannya adalah bagaimana dapat melanjutkan pembangunan tanpa memperburuk ancaman perubahan iklim, dengan membuat perencanaan dan membuat skenario bagaimana kita dapat mentransisikan energi menjadi energi yang ramah lingkungan,” jabarnya.
Hingga kini, upaya mentransisikan energi ini bukan hanya berada di tingkat Kemenkeu maupun Kementerian ESDM lewat rencana penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia.
Pada gilirannya, menutup beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara harus dikombinasikan dengan pembangun energi terbarukan. Karenanya, transmisi dan distribusi energi nasional juga perlu dirancang ulang, yang ke semua ini membutuhkan belanja modal.
“Belanja modal artinya uang (pembiayaan), dan ini tidak datang begitu saja dari suatu tempat. Itulah yang selalu kami diskusikan,” ujar Bendahara Negara.