c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

10 Juli 2025

19:30 WIB

Pemberantasan Truk ODOL Dan Bayangan Ancaman Inflasi

Moncernya bisnis pengiriman barang memicu praktik ODOL yang konsisten seliweran di jalan sejak 2009. Masalah klasik ini terus ada karena celah aturan tarif dan kekhawatiran ancaman inflasi.

Penulis: Yoseph Krishna, Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p dir="ltr" id="isPasted">Pemberantasan Truk ODOL Dan Bayangan Ancaman Inflasi</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Pemberantasan Truk ODOL Dan Bayangan Ancaman Inflasi</p>

Sejumlah truk berhenti di jalan saat aksi demo menutup jalan Pantura di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (22/2/2022). Antara Foto/Harviyan Perdana Putra

JAKARTA - Biaya distribusi menjadi salah satu komponen penting yang harus pelaku usaha pikirkan kala mengirimkan barang dagangan ke konsumen. Terlebih, semenjak pandemi covid-19 mampir ke Indonesia pada 2020 lalu, penjualan barang lewat akses digital semakin masif menjadikan pengiriman antardaerah kian lazim.

Permintaan pengiriman barang yang terus meningkat tentu bakal membuat dompet pengusaha logistik menebal. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar dari pesatnya aktivitas ini. Kerusakan jalan hingga kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, bisa menjadi ekses intensitas transportasi yang meningkat drastis.

Kian melonjaknya volume pengiriman barang antardaerah ini membuat pengusaha angkutan logistik, terutama di jalur darat, putar otak memodifikasi armada dengan dimensi yang melebihi setelan pabrik. Bahkan, sampai memaksa bagasi mengangkut barang sebanyak-banyaknya hingga berakibat pada muatan yang berlebih.

Baca Juga: Pemerintah Perlu Segera Benahi Masalah Truk Muatan Berlebih

Kendaraan yang berlebihan dimensi dan muatan itu kerap dinamakan ODOL, akronim Over Dimension and Over Loading. Sejatinya, peredaran truk ODOL di jalanan sudah menjadi masalah klasik pemerintah sejak kisaran 2009 silam, hingga era Presiden Ke-7 Joko Widodo yang gemar membangun jalan tol.

Pakar Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengungkapkan, sebelum era Joko Widodo, biaya logistik nasional berada di rentang 24%-an dari harga barang. Beban biaya ini bisa membengkak sampai 40% di wilayah distribusi dengan aksesibilitas jalan darat yang buruk.

Datanya juga menyimpulkan, masifnya proyek jalan tol Jokowi sejak 2014 ampuh dalam menekan biaya logistik. Kurang-lebih, beban biaya logistik nasional saat ini bisa ditekan turun menjadi sekitar 10% dari harga barang.

"Salah satunya didorong oleh efisiensi distribusi melalui tol seperti Trans Jawa yang mempercepat waktu tempuh sampai sekitar 50% dan mengurangi biaya operasional," ungkapnya kepada Validnews, Jakarta, Rabu (9/7).

Problem Konservatif
Tapi di lain sisi, terdapat beban baru dalam bentuk biaya tol yang besar dan memakan 20% dari total biaya transportasi. Belum lagi, ada pungutan liar, fluktuasi kurs yang menambah biaya perawatan kendaraan, serta fluktuasi harga BBM.

Sebagai akal untuk menekan biaya logistik, para pengusaha truk berusaha memenuhi muatan sampai ada yang melebihi kapasitas. Dengan begitu, ada banyak barang yang terangkut dalam sekali perjalanan.

"Ini jelas perkara kompleks yang tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Kebijakan Zero ODOL dibuat demi keselamatan pengendara lain di jalan raya, apalagi tol. So far, logistik via jalan raya dalam perekonomian nasional masih sangat signifikan," kata Yannes.

Pekerja bongkar muat membantu supir truk untuk memarkir kendaraanya di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, Selasa (27/12/2022). ValidNews/Fikhri Fathoni

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengamini persoalan ODOL sudah menjadi masalah konservatif yang sampai kini belum bisa terpecahkan. Persoalan ODOL sudah sangat kompleks dan berat sehingga harus menggunakan pendekatan secara komprehensif, dimulai dari revisi undang-undang terkait hal tersebut.

"Undang-Undang dan aturannya sudah lama atau boleh dikatakan jadul. Ini harus ditinjau karena teknologi kendaraan sudah berkembang," sebut Gemilang dalam perbincangan dengan Validnews, via telepon, Selasa (8/7).

Dia juga terbuka mengatakan, operasional ODOL tak lepas dari keinginan pemilik barang untuk menekan biaya pengiriman. Sehingga, terjadi muatan yang berlebih dalam sebuah truk.

"Ada keinginan pemilik barang untuk menurunkan biaya pengiriman, sehingga terjadi muatan lebih (di truk). Toh, mereka tidak ada aturan untuk terkena sanksi apa-apa apabila terdapat kelebihan muatan barangnya," katanya

Di lain sisi, daya angkut jalanan di Indonesia masih sangat rendah. Muatan Sumbu Terberat (MST) jalan raya di Indonesia pun masih berada di rentang 8-10 ton, atau berada di bawah rata-rata Asia Tenggara 10-12 ton, China 10-14 ton. Malahan angka-angka ini masih belum ada apa-apanya dibanding Dubai dan sejumlah negara di Timur Tengah yang punya MST tanpa batas.

Penataan ODOL Dari Akar
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno di kesempatan terpisah, menilai fokus utama pembenahan truk ODOL harus menyasar pada pelaku utama. Mulai dari, pemilik barang yang memuat barang berlebihan, pemilik armada yang memberi izin operasional, sampai karoseri yang memodifikasi truk di luar setelan pabrik.

Menurutnya, harus ada revisi Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan dalam rangka membenahi permasalahan truk ODOL. Apalagi, terdapat pasal yang menuliskan tarif angkutan barang ditentukan atas dasar kesepakatan.

"Jadi sepakat silakan (angkut), tidak sepakat ada yang lain mau, nah silakan. Jadi (biaya pengangkutan) 1 ton menggunakan Rp400 ribu oke bisa kok banyak yang mau, coba saya turunkan oleh pemilik barang Rp350 ribu, sebagian mau, sebagian tidak mau. Nah, ini terpaksa, sampai turun terus," jabar Djoko mencontohkan dalam sebuah sesi diskusi di Jakarta, Jumat (4/7).

Karena itu, pemerintah saat ini sudah harus mengambil langkah yang lebih menyeluruh dan berani untuk menelusuri struktur pelanggaran ODOL dari akarnya. Tanpa keberanian menyentuh aktor utama di balik rantai pelanggaran ODOL, upaya penertiban disebutnya hanya akan menjadi drama tahunan.

Baca Juga: Demo ODOL Berpotensi Ganggu Distribusi Pangan, Pemerintah Diminta Waspada

Akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata itu juga mendesak agar pemerintah memberi perhatian khusus pada kewajiban bagi perusahaan angkutan barang dalam membuat surat muatan dan surat perjanjian pengangkutan dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Sesuai Pasal 168 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penggunaan surat muatan resmi juga wajib mencantumkan detail berat, dimensi, jenis, serta asal dan tujuan barang pada setiap pengiriman.

"Surat muatan ditandatangani oleh pemilik barang, operator kendaraan, dan pengemudi agar jika terjadi kecelakaan atau pelanggaran, pemilik barang dan operator turut bertanggung jawab," tegas dia.

Supir membuka ikatan tali saat proses bongkar muat sayur dan buah di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, Selasa (27/12/2022). ValidNews/Fikhri Fathoni

Terhadap masalah yang sama, Pemerhati Transportasi Muhammad Akbar menyebut langkah yang paling mendasar dalam penertiban ODOL ialah penataan ulang eksosistem logistik secara menyeluruh. Menurutnya, tarif angkutan barang harus disesuaikan dengan biaya operasional yang realistis, bukan justru ditekan dengan embel-embel efisiensi yang pada akhirnya mengorbankan keselamatan.

"Di saat yang sama, sistem upah dan jam kerja sopir juga perlu ditata ulang agar lebih manusiawi dan adil. Selama dunia usaha masih mementingkan 'ongkos semurah mungkin dengan cara apa pun', praktik ODOL akan terus dianggap sebagai trik, bukan pelanggaran hukum, tapi solusi cepat yang diam-diam dibenarkan," sebut Akbar beberapa waktu lalu.

Bayang-Bayang Inflasi
Djoko menyampaikan, ada terlalu banyak pemangku kepentingan dalam penataan sistem logistik di Indonesia, termasuk soal menertibkan truk-truk nakal yang memodifikasi kendaraan serta memuat barang yang berlebihan dari kapasitas.

Dari sederet pemangku kepentingan, ada tiga institusi yang kerap menghambat penertiban truk ODOL, yakni Kemendag, Kemenperin, serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Potensi inflasi sebagai dampak naiknya biaya distribusi barang membuat pemerintah, dalam hal ini Kemenhub terus menunda kebijakan Zero ODOL dari tahun ke tahun.

"Setelah diambil oleh pusat pada 2019 sudah mulai penanganan. Tapi setiap pusat memberikan, selalu ditolak oleh Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan Apindo dan selalu ditakuti inflasi gitu, tidak tahu inflasinya dari mana," sambung Djoko.

Baca Juga: Demi Keselamatan, Bapanas Akui Larangan ODOL Tingkatkan Biaya Angkut

Tak heran, Kemenhub pada 2019 mengabulkan permohonan pelaku usaha terkait penundaan Zero ODOL menjadi 2021. Lalu kembali tertunda ke 2023, yang akhirnya molor lagi ke 2025 ini.

"Nah 2025, mintanya 2027, ya gapapa saya bilang. Tapi selama sampai 2027, benar-benar kita itu harus perhatikan bagaimana sopir mendapat kesejahteraan, jaminan hukum, dan perlindungan hukum kalau kecelakaan," imbuhnya.

Pada kesempatan berbeda, Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Trismawan Sanjaya pun menilai, kebijakan Zero ODOL semestinya tak berdampak signifikan terhadap inflasi.

Dampak inflasi dapat ditekan, asalkan penerapan Zero ODOL dilakukan dengan antisipasi kebijakan strategis yang inklusif dan komprehensif. Tetapi, diakuinya pelaku angkutan barang khawatir ada dampak luas secara nasional terhadap modal berupa truk angkut yang harus ditertibkan dan dinormalisasi.

"Sehingga, mengurangi ketersediaan truk barang yang layak beroperasi untuk melayani kebutuhan volume distribusi barang yang ada," jelas Trismawan, Jumat (4/7).

Karena itu, ALFI menyarankan agar pemerintah melakukan kebijakan Zero ODOL berdasarkan sektoral atau komoditas tertentu yang berdampak besar terhadap perawatan jalan, keselamatan, serta kelayakan usia kendaraan.

Selanjutnya, pengusaha angkutan barang juga harus mendapat pembiayaan yang mendukung normalisasi kendaraan supaya tidak berlebihan dimensi dan muatan.

"Jika hal yang demikian dapat diterapkan secara terencana dimulai dari sektor komoditas maupun wilayah yang prioritas maka dapat mengendalikan pergeseran biaya logistik yang tidak terlalu berdampak secara nasional," sambungnya.

Akbar juga berpandangan, penanganan ODOL kerap melemah bukan dari sisi komitmen hukum, melainkan kekhawatiran pemerintah terhadap dampak ekonomi.

Penegakan aturan yang ketat, sambung Akbar, bakal memberi dampak langsung pada penurunan kapasitas angkut truk. Kemudian, berlanjut ke naiknya ongkos kirim dan biaya logistik secara keseluruhan. Pada kondisi ini, kenaikan harga barang di pasar sudah jadi keniscayaan.

"Ketakutan terhadap efek domino inilah yang membuat pemerintah cenderung berhati-hati, bahkan menahan diri untuk bertindak tegas. Bukan karena takut pada pelaku pelanggaran, tetapi karena khawatir penertiban serentak justru akan memicu inflasi dan mengguncang harga barang pokok," tulisnya.

Jadwal Penertiban ODOL 2025-2026
Sebaliknya, pemerintah kali ini menegaskan, langkah yang dilakukan tak main-main., Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Aan Suhanan kepada Validnews mengungkapkan, penanganan kendaraan ODOL 2025 bakal menyasar wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Lalu pada 2026 mendatang, penataan bakal diperluas secara bertahap ke Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Barulah pada akhir 2026, penanganan ODOL diberlakukan secara nasional.

Rencana itu jadi bukti keseriusan pemerintah menangani angkutan ODOL setelah molor bertahun-tahun dari 2017 silam.

Aan mengungkapkan, pihaknya telah menerima aspirasi dari pengemudi angkutan barang soal penertiban ODOL, mulai dari penghentian operasional truk ODOL, regulasi angkutan logistik, hingga revisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.

Berikutnya, para pengemudi juga meminta perlindungan hukum, pemberantasan premanisme dan pungutan liar, serta kesetaraan perlakuan hukum. Jika merujuk pada aturan UU LLAJ, Aan menggarisbawahi kelebihan dimensi kendaraan pada dasarnya masuk kategori kejahatan, sehingga sanksi bakal diberikan kepada pemilik, bukan pengemudi.

"Pengenaan sanksi (over dimension) akan dibebankan kepada pemilik kendaraan, bukan pengemudi. Untuk pelanggaran kelebihan muatan saja yang akan ditanggung oleh para pengemudi. Sampai saat ini pun sosialisasi tetap dilaksanakan kepada perusahaan pemilik barang dan pemilik kendaraan," kata Aan, Kamis (10/7).

Sejumlah kendaraan melintas di Jalan Tol JORR TB Simatupang, Jakarta, Kamis (29/12/2022). ValidNews/Fikhri Fathoni

Lebih lanjut, dia mengungkapkan, saat ini hanya ada 89 dari 135 Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) yang aktif beroperasi. Dari jumlah tersebut, bahkan hanya 9 UPPKB yang memiliki Weigh in Motion (WIM).

UPPKB itu, sambung Aan, berperan penting dalam merealisasikan program Zero ODOL. Pasalnya, unit kerja itulah yang mengoperasikan fasilitas penimbangan kendaraan di sejumlah wilayah, termasuk untuk mengawasi dimensi kendaraan dan muatan pada angkutan barang.

"Kemudian terdapat teknologi Weigh in Motion (WIM) yang merupakan pengawasan muatan barang dengan menggunakan alat penimbangan metode dinamis, untuk meningkatkan akurasi pendataan angkutan barang," ucapnya.

Paralel, Kemenhub bersama kementerian/lembaga terkait lainnya juga berencana memperkuat sistem teknologi dalam upaya menata angkutan ODOL, terutama dengan pihak kepolisian untuk memanfaatkan WIM dan ETLE pada beberapa tiitik lokasi yang terintegrasi.

"Kemenhub dan Polri berkolaborasi dalam pengawasan dan penegakan hukum melalui penerapan WIM dan ETLE pada beberapa titik lokasi yang terintegrasi, sehingga pelanggar aturan ODOL dapat ditindak secara langsung," kata Aan.

Janji Penertiban ODOL 2025 Tak Molor
Menhub Dudy Purwagandhi juga berkali menegaskan, penanganan angkutan ODOL harus segera dilaksanakan dan tak dapat ditunda lagi. Permasalahan ODOL mengakibatkan dampak yang mengerikan pada banyak aspek, seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan, kerusakan infrastruktur jalan, hingga polusi udara.

"Mulai saat ini kami hanya akan menjalankan regulasi yang sudah ada secara lebih tegas. Karena itu, kami mengajak seluruh stakeholder terkait untuk melaksanakan komitmen zero ODOL yang telah disepakati guna menciptakan ekosistem angkutan barang yang berkeselamatan," ucap Dudy mengutip Siaran Pers Kemenhub, Jumat (27/6).

Kemenhub dan pemangku kepentingan terkait, terutama Jasa Marga dan Korlantas Polri pun telah menyusun langkah yang akan dilakukan mulai 2025 ini, seperti sosialisasi mengenai komitmen Zero ODOL, pengumpulan data truk ODOL, serta penindakan oleh pihak kepolisian.

Jika ada pihak yang merasa keberatan dengan upaya menangani angkutan ODOL, Menhub tak keberatan untuk berdiskusi. Dia memahami setiap kebijakan tak akan mungkin menyenangkan seluruh pihak.

"Saya terbuka untuk diskusi, tapi bukan untuk menunda. Penundaan hanya akan menimbulkan kerugian-kerugian baru dan justru tidak menyelesaikan akar masalah," tandas Menhub Dudy.

Baca Juga: Efisiensi Logistik, Kemenhub Susun Perpres Atasi ODOL

Direktur Sarana dan Keselamatan Transportasi Jalan Kemenhub Yusuf Nugroho menjelaskan, pemerintah saat ini sudah merampungkan penyusunan rencana aksi implementasi penanganan angkutan ODOL. 

Rencana aksi itu diracik mempertimbangkan masukan seluruh pemangku kepentingan terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dijelaskan Yusuf, ada sembilan aspek penguatan di dalam upaya penertiban ODOL.

Sejumlah sopir truk berkumpul saat aksi mogok beroperasi menolak aturan Over Dimension Over Load (ODOL) di jalan raya Magelang-Wonosobo, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (20/6/2025). Antara Foto/Anis Efizudin

Pertama, ialah integrasi pendataan angkutan barang menggunakan sistem elektronik. Kedua, pengawasan, pencatatan, penindakan, dan penghapusan pungutan liar yang kerap menjadi hantu bagi para pengemudi truk dalam perjalanan.

Ketiga, peningkatan daya saing distribusi logistik lewat multimoda angkutan barang. Keempat adalah pemberian insentif dan disinsentif bagi badan usaha angkutan barang maupun pengelola kawasan industri yang patuh dan melanggar aturan Zero ODOL.

Sedang langkah kelima, perlu penguatan kajian untuk mengukur dampak penerapan kebijakan Zero ODOL terhadap perekonomian, biaya logistik, dan inflasi. Penguatan ketenagakerjaan untuk melindungi pengemudi truk jadi langkah keenam yang diperlukan.

"Pengemudi juga dibutuhkan adanya semacam perlindungan profesi atas pelaksanaan kegiatannya dan dengan standar kerja yang layak bagi pengemudi. Antara lain melalui standardisasi upah pengemudi angkutan barang sebagaimana UMP maupun UMK maupun kesejahteraan lainnya," papar Yusuf.

Ketujuh, deregulasi dan harmonisasi peraturan dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan Zero ODOL. Kesembilan, pembentukan Komite Keria Percepatan Pengembangan Konektivitas Nasional (KP2KN).

Dalam upaya menertibkan angkutan ODOL, Aptrindo mengingatkan, ada sederet pekerjaan rumah bagi Kementerian Perhubungan, salah satunya pentingnya pengawasan secara digital lewat e-land manifest. Kemudian, penting juga untuk menyusun skala prioritas soal pengawasan ketertiban angkutan pada komoditas tertentu.

"Berikan juga fasilitas fiskal terhadap peremajaan truk yang terdampak atas kebijakan ODOL ini," pungkas Gemilang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar