06 November 2025
16:49 WIB
Menperin Siap Genjot Sektor Industri Yang Pertumbuhannya Lemah Di Kuartal III/2025
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyebutkan terdapat sektor industri dengan pertumbuhan di bawah pertumbuhan ekonomi, bahkan minus.
Penulis: Ahmad Farhan Faris
Ilustrasi. Sejumlah pekerja perempuan melakukan pengerjaan perangkaian kabel body mobil di PT Surabaya Autocomp Indonesia, yang merupakan perusahaan asing di Ngoro Industrial Park-1 (NIP-1), Mojokerto, Jumat (21/10). FOTO ANTARA/Eric Ireng
JAKARTA - Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui di tengah kinerja industri manufaktur yang cukup menggembirakan, terdapat kelompok industri dengan pertumbuhan negatif. Karena itu, ia bakal menggenjot kelompok industri tersebut.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Agus mengatakan industri manufaktur atau pengolahan non-migas (IPNM) tumbuh 5,58% year on year (yoy) pada Kuartal III/2025. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional 5,04%
“Kami ingin menggarisbawahi kinerja dari industri pengolahan non-migas menurut pandangan kami not bad, cukup menggembirakan,” kata Agus di Jakarta pada Kamis (6/11).
Namun, Agus mengakui masih ada beberapa subsektor yang pertumbuhan kinerjanya tergolong lemah, dengan pertumbuhan di bawah pertumbuhan ekonomi nasional 5,04%. Bahkan, dari 23 subsektor manufaktur yang menjadi binaan dari Kementerian Perindustrian, masih ada yang pertumbuhannya negatif.
“Saya tidak akan menutupi data ini, karena data ini bisa dapatkan dari BPS. Saya sengaja menyampaikan ini menjadi perhatian dari kita semua. Karena kerjasama dari pelaku usaha khususnya, itu juga bisa membantu sektor-sektor yang masih kontraksi, sektor-sektor yang pertumbuhannya belum sekuat dari sektor lain, itu bisa pada quarter keempat nanti bisa rebound,” kata Agus.
Baca Juga: Tumbuh 5,58% Di Kuartal III/2025, Menperin: Daya Saing Manufaktur Makin Kuat
Berdasarkan data pertumbuhan IPNM pada Kuartal III/2025, beberapa subsektor industri mencatatkan kinerja kuat di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya adalah sub sektor Industri Logam Dasar mencapai 18,62%.
Lalu, industri Pengolahan Lainnya (jasa reparasi dan pemasangan mesin/peralatan) tumbuh 13,90%; Industri Mesin dan Perlengkapan tumbuh 11,74%; Industri Kimia, Farmasi, dan Obat Tradisional tumbuh 11,65%; Industri Barang Galian bukan Logam tumbuh 7,34%; Industri Makanan dan Minuman tumbuh 6,49%; Industri Barang Logam, Komputer, Barang Elektronik, Optik, dan Peralatan Listrik tumbuh 5,98%.
Sedangkan industri dengan kinerja lemah meliputi sub sektor industri kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman tumbuh 2,19% dan Industri Tekstil dan Pakaian Jadi tumbuh 0,93%.
Lalu, industri yang pertumbuhannya minus adalah Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki tumbuh minus 0,25%; Industri Pengolahan Tembakau tumbuh minus 0,93%; Industri Alat Angkutan tumbuh minus 1,37%; Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik tumbuh minus 3,20%; Industri Furnitur tumbuh minus 4,34%; Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus serta Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya terkontraksi paling dalam sebesar minus 9,60%.
“Ini yang bisa kita push agar pertumbuhannya lebih tinggi lagi. Karena menurut pandangan kami space atau ruang untuk pertumbuhannya masih sangat luas, sangat terbuka,” ucapnya.
Agus menilai dengan tingkat utilisasi saat ini sebesar 59,28%, maka masih terbuka ruang yang sangat besar bagi sektor manufaktur untuk berkembang mengoptimalkan kapasitas produksinya. Terlebih, ketika disandingkan dengan data atau optimisme pelaku industri dari survei Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Oktober 2025 yang kembali naik menjadi 53,5 poin.
Baca Juga: Industri Kosmetik RI US$9,2 M! Menperin Dorong Sertifikasi Halal 2026
Tantangan Pelaku Industri
Agus memahami tantangan yang dialami para pelaku usaha dan manufaktur dalam satu tahun terakhir ini tidak ringan. Menurut dia, tantangan yang dihadapi bisa berasa dari internal dan eksternal serta sama-sama rumit sehingga cara penanganannya juga bisa berbeda-beda.
Misalnya, Agus mengatakan kebingungan yang paling dirasakan para pelaku usaha salah satunya adalah menghadapi dan memitigasi tarif yang ditetapkan presiden Amerika Serikat Donald Trump serta konflik-konflik geopolitik.
“Ini semua pasti akan ada dampaknya bagi manufaktur Indonesia, karena sedikit banyak yang terpenting bagi kita adalah menjaga agar biaya produksi bisa seefisien mungkin, dan faktor-faktor yang tadi saya sampaikan bisa membuat biaya produksi yang ada di pabrik-pabrik meningkat. Ini challenge-nya,” kata Agus.
Selain itu, jika dibanding dengan beberapa negara lain, instrumen perlindungan dalam negeri Indonesia masih relatif sedikit. Non tariff measure (NTMs) Indonesia per Oktober 2025 berjumlah 207, jauh lebih rendah jika dibanding dengan China 1.569, Amerika Serikat 4.597, India 740, dan Thailand 661.
“NTM itu adalah salah satu tools yang biasa kita pergunakan sebagai negara untuk memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri dan kita masih sangat rendah. Ini yang harus digarisbawahi,” pungkasnya.