30 Mei 2022
08:00 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Penerbitan green bond alias obligasi hijau makin marak seiring kesadaran akan dampak perubahan iklim. Climate Bonds Market Intelligence mencatat, tahun lalu penerbitan green bond global mencetak rekor di angka US$517,4 miliar. Ini adalah angka tertinggi sejak green bond mulai diterbitkan sekitar 10 tahun lalu.
Data Statista menunjukkan Amerika Serikat memimpin, dengan nilai penerbitan US$81,9 miliar pada 2021. Disusul China dengan penerbitan mencapai US$68,1 miliar dan Jerman US$63,2 miliar.
Melihat perkembangan penerbitan obligasi hijau dan kebutuhan untuk mencapai target green debt, Sean Kidney, CEO of Climate Bonds Initiative, mengharapkan penerbitan green bond mencapai US$5 triliun per tahun pada 2025. Angka ini dianggap Kidney sebagai global milestone.
Lantas, apakah green bond itu? Sebenarnya green bond tak jauh berbeda dengan obligasi pada umumnya. Ada pihak peminjam, bisa pemerintah, lembaga atau korporasi, yang menerbitkan surat berharga untuk mendapatkan pembiayaan suatu proyek. Lantas, ada investor yang membeli obligasi untuk mendapatkan imbal hasil saat jatuh tempo.
Baca juga: Siap-siap, BNI Akan Terbitkan Green Bond Rp5 Triliun
Hanya saja, tujuan penerbitan green bond lebih khusus dibandingkan obligasi biasa. Investopedia menjabarkan green bond adalah sebuah instrumen untuk mencari pembiayaan hanya bagi proyek-proyek ramah lingkungan.
“Obligasi hijau adalah instrumen pendapatan tetap yang dirancang khusus untuk mendukung proyek-proyek terkait iklim atau lingkungan tertentu,” demikian definisi green bonds oleh Investopedia.
Tak heran, di Indonesia green bond juga kerap disebut obligasi berwawasan lingkungan.
Selain imbal hasil, ada manfaat pajak yang bisa didapatkan investor yang berinvestasi dalam obligasi hijau. Staff Working Paper of the IOSCO Research Department yang diterbitkan Pril 2014 menyebut green bond merupakan obligasi yang bebas pajak alias tax-exempt bond.
Sesuai definisi itu, obligasi hijau juga digunakan untuk membiayai kegiatan dan proyek pembangunan berkelanjutan. Misalnya, pemanfaatan energi yang efisien; pencegahan polusi; pertanian, perikanan dan kehutanan yang berkelanjutan; perlindungan perlindungan ekosistem perairan dan darat; transportasi bersih; serta air bersih, dan pengelolaan air berkelanjutan. Green bond juga membiayai pengembangan teknologi ramah lingkungan dan mitigasi perubahan iklim.
Baca juga: Menilik SBSN Sebagai Pendukung Green Economy
Sebagai informasi, World Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987 menerbitkan laporan Our Common Future atau dikenal sebagai Laporan Brundlandt. Dalam laporan ini, konsep sustainability development sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Penerbitan obligasi hikau diawali oleh organisasi internasional seperti European Investment Bank, World Bank dan African Development Bank pada 2007 dan 2008. Penerbitan ini tak langsung diikuti pihak lain. Minat perusahaan menerbitkan jenis obligasi ini terbilang minim. Pada 2012, jumlah penerbitan hanya mencapai US$2,6 miliar.
Perusahaan baru masuk ke pasar green bond, baik sebagai emiten maupun investor, pada 2013. Di tahun ini, nilainya penerbitan mencapai US$6,4 miliar, sebanyak US$3,8 miliar di antaranya disumbang sektor korporasi.
Pada 2017, penerbitan green bond membludak hingga mencapai US$161 miliar. Nilai penerbitan naik tipis di tahun berikutnya sebesar US$167 miliar. Perhatian pada isu perubahan iklim kian memperkuat penerbitan di tahun 2019 dan 2022, masing-masing mencapai US$266,5 miliar dan hampir US$270 miliar.
Baca juga: BRI: Penguatan Prinsip ESG Selaras Dengan Strategi Korporasi
Bank Dunia tetap jadi salah satu penerbit green bond terbesar. Di laporan bertajuk The World Bank Impact Report 2020: Sustainable Development Bonds and Green Bonds, lembaga donor ini telah menerbitkan obligasi hijau senilai US$14,4 miliar sejak 2008.
Dana yang dikumpulkan dari penerbitan digunakan untuk mendukung 111 proyek di seluruh dunia. Terutama, energi terbarukan dan efisiensi energi, yang mencakup 33% dari keseluruhan proyek. Menyusul transportasi ramah lingkungan dengan porsi 27% serta pertaian dan pemanfatan lahan dengan porsi 15%.
Pembangunan proyek LRT Jabodebek tahap I. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Indonesia telah memulai pengembangan green bond dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya, lewat kajian yang dikerjakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016 untuk memetakan pengembangan green bond, mulai dari aspek pengaturan, pengawasan hingga kebijakan yang diperlukan. Kajian ini disebut langkah awal OJK untuk mewujudkan perdagangan green bond di pasar modal Indonesia.
Salah satu rekomendasi dari kajian tersebut adalah penyusunan peraturan terkait green bond. Pasalnya, diperlukan proses seleksi dan verifikasi proyek yang layak didanai dengan green bond, sehingga harus ada standar kelayakan program hijau.
Menyusul kajian tersebut, setahun kemudian OJK menerbitkan POJK nomor 60/POJK.04/2017 tentang penerbitan dan persyaratan efek bersifat utang berwawasan lingkungan (Green Bond).
OJK juga telah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia pada 20 Januari 2022, untuk kian mengembangkan keuangan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan prioritas yang telah ditetapkan di Indonesia melalui Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025).
Baca juga: Ketua Perbanas: Pandemi Tingkatkan Penerbitan ESG Bonds
Secara paralel, BI melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 akan berkontribusi pada pembiayaan keberlanjutan Indonesia melalui pengembangan instrumen pasar uang berkelanjutan dan mendukung upaya peningkatan kapasitas nasional dengan berkoordinasi dengan otoritas lain.
Dalam kerangka green bond ini, pemerintah telah menerbitkan sukuk hijau ritel yang pertama pada November 2019. Nilai penerbitan sukuk seri ST006 ini mencapai US$750 juta.
Sebelumnya, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT SMI) menerbitkan green bond senilai Rp3 triliun pada Juli 2018. Setidaknya, enam proyek akan dibiayai oleh dana hasil penerbitan surat utang tersebut. Yakni, proyek kereta ringan atau LRT di Palembang dan Jakarta. Proyek lainnya pembuatan rolling stock atau gerbong LRT oleh PT INKA.
Dana itu juga dialokasikan untuk proyek lainnya yakni Pembangkit Listrik Mini Hydro di Sulawesi Utara dan Sumatera Barat. Terakhir adalah proyek pengolahan air bersih di Cirebon, Jawa Barat.
Terkini, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI memperkuat komitmen di segmen green banking dengan menawarkan obligasi korporasi berwawasan lingkungan sebanyak-banyaknya Rp5 triliun.
Baca juga: BEI: Bursa Sepanjang Tahun 2021 Tumbuh Secara Positif
Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai sektor publik dan swasta masih sulit mengadopsi dan mengakses instrumen keuangan berkelanjutan, sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri.
Dalam mengatasi hambatan tersebut dibentuk lah alur kerja kedua Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan G20 (SFWG), yakni meningkatkan instrumen keuangan berkelanjutan dengan fokus pada peningkatan aksesibilitas dan keterjangkauan.
Negara-negara G20 harus berkoordinasi dan bekerja sama dalam mengatasi masalah bersama, seperti standar, alat penyelarasan pasar termasuk untuk pelaporan dan persyaratan pengungkapan, metrik data ESG, dan layanan verifikasi.
"Tidak hanya berbagai instrumen, ini relevan untuk pemerintah, otoritas sektor keuangan, dan sektor swasta untuk bersama-sama menciptakan ekosistem keuangan berkelanjutan yang akan mendukung peningkatan aspirasi," tegas Perry, Jumat (18/2/2022).