06 September 2023
20:38 WIB
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Ketua Umum Komunitas Industri Beras Rakyat (KIBAR) Syaiful Bahari mengungkapkan alasan melonjaknya harga gabah saat ini disebabkan produksi padi oleh petani anjlok. Rendahnya rendemen gabah juga makin menipiskan suplai beras. Menurutnya, rendemen gabah idealnya sebanyak 55-60%.
“Produksi padi kita anjlok. Rata-rata panen padi saat ini paling bagus 5 ton per hektare (ha). Belum lagi rendemen gabah saat ini hanya 50-52%,” ujar Syaiful saat dihubungi Validnews, Rabu (6/9).
Rendemen gabah adalah persentase berat beras yang dihasilkan dari penggilingan gabah.
Baca Juga: Inflasi Beras 13,76%, BPS: Tertinggi Sejak 2015
Anjloknya produksi padi juga disampaikan Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini. Menurutnya, berdasarkan metode Kerangka Sampel Area (KSA), luas panen padi dan produksi beras di Agustus 2023 mengalami penurunan dibanding Juli 2023.
“Kalau berdasarkan catatan kerangka sampel area yang dilakukan BPS, jika dibandingkan Juli 2023, maka Agustus 2023 ini memang mengalami penurunan sebesar 1,55% dan produksi padi juga diprediksi menurun sebesar 4,01%,” kata Pudji pada Konferensi Pers Rilis data BPS Agustus 2023.
Persentase tersebut kata Pudji belum dirilis resmi untuk KSA 2023, sehingga belum pasti angka produksinya. Namun hal ini bisa menjadi informasi awal soal produksi beras.
Sebagai informasi, dari hasil survei KSA 2022, luas panen padi tahun 2022 tercatat sebesar 10,45 juta ha atau naik 0,39% dari 2021. Kemudian produksi beras tahun 2022 sebanyak 54,75 juta ton gabah kering giling (GKG) atau dikonversi menjadi beras sebanyak 31,54 juta ton, artinya naik 0,59% dibanding 2021.
Selain produksi petani anjlok, tingginya harga gabah menurut Syaiful juga dipicu adanya monopoli pembelian gabah dari pabrik beras skala besar. Persaingan untuk mendapatkan gabah telah menyebabkan harga yang semakin tinggi.
Terangkum dari data BPS, rata-rata harga gabah di tingkat petani (GKP) pada Juli 2023 sebesar Rp5.629 per kg, lalu naik menjadi Rp5.833 per kg pada Agustus 2023, atau 3,62% (mtm) dan 19,88% (yoy). Lalu untuk Gabah Kering Giling (GKG) di Juli 2023 sebesar Rp6.389 per kg, naik di Agustus 2023 menjadi Rp6.760 per kg, atau naik 5,82% (mtm) dan 23,03% (yoy).
Dampaknya, biaya produksi beras tinggi diikuti harga beras di konsumen juga naik. Meski demikian, dia juga mengklaim kalau petani tetap saja tidak mendapatkan untung tinggi.
“Petani pun tidak mendapatkan keuntungan meskipun harga gabah tinggi, karena produksi berkurang,” kata Syaiful.
Baca Juga: NFA Pastikan Ketersediaan Pangan Aman Hingga Akhir 2023
Sebagai informasi, salah satu penyebab menurunnya produksi padi juga berasal dari munculnya fenomena El Nino, sehingga kemarau panjang terjadi dengan puncaknya di Agustus hingga September 2023. Bahkan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi juga menyampaikan, kekeringan akan melanda banyak wilayah sentra produksi beras di Indonesia.
“Hal ini menjadi perhatian bersama, karena mengingat ada potensi kekeringan terparah terjadi pada daerah-daerah sentra produksi beras seperti Pulau Jawa, sebagian Sumatra di bagian Selatan, Sulawesi Selatan, dan NTB,” ucap Arief dalam RDP dengan Komisi IV DPR beberapa waktu lalu.