16 Juni 2023
16:51 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
ROMA - Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memprediksi, tagihan impor pangan dunia diperkirakan akan mencapai rekor baru di 2023, meski perkiraannya akan tumbuh jauh lebih lambat dibandingkan 2022.
Kenaikan tagihan ini lantaran lonjakan harga di dunia, didorong oleh kuotasi yang lebih tinggi untuk buah-buahan, sayuran, gula dan produk susu.
Pada akhirnya, kenaikan harga ini disinyalir akan mengurangi permintaan, terutama di negara-negara yang paling rentan secara ekonomi.
“FAO memperkirakan, bahwa tagihan pangan global akan naik menjadi US$1,98 triliun pada 2023, (atau) naik 1,5% dari tahun 2022. Naik sebesar 11% pada 2022 dan 18% pada 2021,” jelas FAO dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Jumat (16/6).
Sementara impor pangan oleh negara-negara maju terus meningkat, tagihan impor untuk kelompok Negara Terbelakang (Least Developed Countries/LDCs) diperkirakan menurun sebesar 1,5% di 2023 dan untuk negara-negara berkembang pengimpor makanan bersih (net food-importing developing countries/NFIDCs) menurun sebesar 4,9%.
Laporan dua tahunan dari Divisi Pasar dan Perdagangan FAO pun memperingatkan, bahwa penurunan volume impor makanan merupakan perkembangan yang memprihatinkan terhadap kedua kelompok di atas. Hal ini juga menunjukkan penurunan dalam kapasitas pembelian.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh fakta harga internasional yang lebih rendah untuk sejumlah bahan makanan utama yang belum, atau tidak sepenuhnya, diterjemahkan ke harga yang lebih rendah di tingkat ritel domestik.
“(Semua ini) menunjukkan bahwa tekanan biaya hidup dapat bertahan (tinggi) di tahun 2023,” ungkapnya.
Baca Juga: Penguatan CPP, Siasat Pemerintah Hadapi Tantangan El Nino
Sementara depresiasi dolar AS selama krisis pangan global periode 2007-2008 telah membantu importir pangan mengimbangi kenaikan harga pangan, efek sebaliknya malah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Misalnya, harga jagung dunia yang turun sebesar 10,2% antara April 2022 dan September 2022, namun kondisi ini rata-rata hanya berdampak sebesar 4,8% jika dihitung dalam mata uang lokal riil di kelompok negara NFIDC.
“Itu menggarisbawahi pentingnya intervensi yang dirancang dengan baik untuk memerangi inflasi,” kata Ekonom Senior FAO El Mamoun Amrouk.
Jika tidak ada intervensi yang dilakukan, sambungnya, kenaikan harga pangan dapat menyebabkan keresahan sosial dan meningkatkan tantangan keuangan. “(Sehingga berpotensi) menekan upaya untuk memerangi kemiskinan, kerawanan pangan, dan menghapus kemajuan yang telah dicapai sejauh ini,” tegasnya.
Tren Komoditas Pantauan FAO
Food Outlook terbaru dari FAO menunjukkan, kemungkinan peningkatan produksi di sebagian besar kategori makanan pokok utama dunia, termasuk beras, biji-bijian kasar, tanaman minyak, susu, gula, daging dan ikan, serta produk perikanan. Namun, produksi gandum global bisa turun dari rekor tertinggi di musim lalu.
Terlepas dari prospek yang secara umum positif ini, sistem produksi pangan pertanian global tetap rentan terhadap guncangan. Baik yang berasal dari peristiwa cuaca ekstrem, ketegangan geopolitik, perubahan kebijakan, hingga perkembangan dinamika di pasar komoditas lain.
“(Hal ini) berpotensi untuk memengaruhi keseimbangan permintaan-pasokan yang rapuh dan berdampak pada harga dan ketahanan pangan dunia,” ungkap FAO.
Produksi global biji-bijian kasar diperkirakan akan meningkat sebesar 3,0% menjadi 1.513 juta ton, sebuah rekor baru. Disokong oleh peningkatan signifikan yang diharapkan dalam produksi jagung di AS dan rekor panen di Brasil, yang mengarah pada peningkatan keseluruhan persediaan dan harga yang lebih rendah.
Baca Juga: Airlangga Respons Peringatan FAO Soal Krisis Pangan Global
Kemudian, produksi beras dunia juga diperkirakan naik sekitar 1,3% pada 2023-2024 menjadi 523,5 juta ton. Sementara perdagangan internasional beras diperkirakan turun 4,3% dalam hal volume menjadi 53,6 juta ton.
“Peningkatan output yang diantisipasi sebagian besar mencerminkan insentif positif yang diberikan oleh harga produsen yang umumnya lebih tinggi, pengurangan biaya pupuk dan langkah-langkah bantuan pemerintah yang berkelanjutan,” terangnya.
Sebaliknya, produksi gandum dunia pada 2023 diperkirakan akan turun sebesar 3,0% dari rekor tertinggi sepanjang masa sebesar 777 juta ton pada 2022.
Utamanya, disebabkan oleh penurunan produksi yang diperkirakan terjadi di wilayah Federasi Rusia dan Australia, yang keduanya mencatat rekor produksi di tahun lalu.
“Penurunan sebagian besar mencerminkan kemungkinan dampak peristiwa cuaca ekstrem, yang terlihat mengarah ke area tanam yang lebih rendah,” paparnya.
Adapun, produksi tanaman penghasil minyak, susu, dan gula global semuanya diperkirakan akan meningkat. Begitu juga pada komoditas daging, meskipun volume daging babi dan sapi dapat turun sedikit di 2023.
Produksi hasil laut global juga diperkirakan akan tumbuh pada 2023, meskipun hal itu disebabkan oleh peningkatan produksi akuakultur yang diantisipasi karena perikanan tangkap terlihat mengalami penurunan.