c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

05 Agustus 2023

17:39 WIB

Ekonom: Pemerintah Jangan Terlena, Pengentasan Kemiskinan Masih Berat

Pemerintah diingatkan untuk tak berpuas diri dengan pencapaian kemiskinan nasional per Maret 2023 sebesar 9,57%, berbasis pada pencapaian pra-pandemi yang 9,22% per September 2019.

Penulis: Khairul Kahfi

Ekonom: Pemerintah Jangan Terlena, Pengentasan Kemiskinan Masih Berat
Ekonom: Pemerintah Jangan Terlena, Pengentasan Kemiskinan Masih Berat
Ilustrasi. Warga berjalan sambil menunduk saat memasuki pemukiman kolong tol Cawang-Tomang-Pluit di Jelambar Baru, Jakarta Barat, Rabu (21/6/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA - Direktur IDEAS Yusuf Wibisono menegaskan, pemerintah masih punya pekerjaan rumah yang berat berkaitan pengentasan kemiskinan di dalam negeri. Secara umum, dirinya mengapresiasi tingkat kemiskinan nasional sebesar 9,57% pada September 2022 menjadi 9,36% pada Maret 2023.

Hanya saja, dia mengingatkan, berpuas diri dengan pencapaian kemiskinan nasional berbasis pada pencapaian pra-pandemi yang 9,22% pada September 2019 merupakan suatu hal yang naif.

“Seharusnya angka kemiskinan Maret 2023 ini menjadi evaluasi yang serius bagi pemerintah untuk pencapaian target ke depan, bukan untuk melihat kinerja masa lalu,” terangnya kepada Validnews, Jakarta, Jumat (4/8).

Lebih lanjut, pemerintah diminta untuk melepaskan bayang-bayang pengentasan kemiskinan pra-pandemi. Dengan melihat target selanjutnya, seperti angka kemiskinan ekstrem 0% pada 2024 dan angka kemiskinan 2024 dalam RPJMN sebesar 6,5%.

Penilaiannya, target pemerintah yang ambisius untuk kemiskinan sesungguhnya baik untuk mengakselerasi penanggulangan kemiskinan nasional. Kendati, sering kali terlihat menjadi tidak kredibel karena lebih didominasi oleh motivasi politik, tanpa perubahan arah kebijakan pembangunan nasional yang signifikan.

Karena itu, dirinya berharap, pemerintah perlu serius menanggulangi kemiskinan dan tidak menjadikannya sekedar gimmick politik saja. Terlebih, pemerintah jelas membutuhkan akselerasi dan terobosan besar untuk mengejar target kemiskinan dan kemiskinan ekstrem di tahun depan.

Baca Juga: Pengamat: Meski Moderat, Level Kesenjangan di RI Cukup Mengkhawatirkan

Lebih jauh, upaya penanggulangan kemiskinan tak semakin mudah, karena Indonesia menghadapi resesi global dan ancaman krisis harga pangan yang berpotensi melonjakkan angka kemiskinan di 2023.

“Mengingat selama pandemi angka kemiskinan kita melonjak, apalagi pada September 2020 sempat melonjak menjadi dua digit ke 10,19%,” paparnya. 

Sementara itu, Peneliti IDEAS Shofie Azzahrah menyampaikan, meski persentase kemiskinan nasional Maret 2023 turun, namun tetap ada beberapa provinsi yang persentase kemiskinannya justru meningkat seperti yang terjadi di Sulawesi dan Maluku. 

Shofie mensinyalir, hal tersebut bisa terjadi lantaran pembangunan yang dilakukan belum merata sehingga terjadi perbedaan di beberapa daerah. “Faktor kualitas kepemimpinan dari kepala daerah juga sangat berpengaruh untuk meningkatkan atau menurunkan angka kemiskinan ini,” kata Shofie kepada Validnews, Jumat (4/8). 

Sebelumnya, Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu menyampaikan, Indonesia berhasil menjaga kelanjutan perekonomian nasional. Tercermin dari tingkat kemiskinan domestik yang sudah menuju level prapandemi.

Penurunan tingkat kemiskinan ini pemerintah sambut positif setelah sempat menyentuh double digit akibat krisis pandemi. Capaian ini telah lebih rendah dibanding angka prapandemi per Maret 2019 yang sebesar 9,41%, meskipun masih sedikit di atas titik terendah prapandemi per September 2019 yang sebesar 9,22%.

“Penurunan angka kemiskinan pada Maret 2023 ini sejalan dengan terus menguatnya aktivitas ekonomi, menurunnya angka pengangguran, serta inflasi yang semakin terkendali,” sebut Febrio, Jakarta, Selasa (18/7).

Strategi Jangka Pendek-Panjang
 Dalam jangka pendek, Yusuf menyarankan pemerintah agar secepatnya memperbaiki basis data kemiskinan. Terlebih untuk menggapai target kemiskinan ekstrem 0% pada 2024 ini. 

“Untuk basis data kemiskinan ekstrem, menurut saya akan lebih sulit dan membutuhkan upaya lebih keras,” terang Yusuf. 

Ia kembali menekankan, reformasi basis data menjadi keharusan jika serius menargetkan kemiskinan ekstrem mencapai nihil di 2024. Pasalnya, tidak boleh ada satupun keluarga miskin ekstrem di Indonesia yang tidak terkover untuk mengejar target ini, persis seperti slogan ‘no one left behind’.

“Artinya, tidak boleh ada exclusion error, setidaknya tingkat toleransi kita terhadap exclusion error harus sangat minimal,” paparnya.

Untuk meminimalisir eror di sisi data, pemangku kebijakan dapat melakukan proses pengumpulan data (collecting) secara reguler, bahkan real-time updating, baik melalui mekanisme sensus, survei, usulan komunitas, hingga self-reporting dengan proses validasi. 

“Pelibatan pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan simpul komunitas, termasuk Organisasi Pengelola Zakat dan Lembaga Filantropi lainnya, menjadi krusial di sini,” ungkapnya.

Sementara Shofie menyampaikan, tantangan Indonesia untuk bisa menurunkan angka kemiskinan dalam jangka panjang adalah menyediakan lapangan kerja formal serta peningkatan kualitas pendidikan. 

Saat ini, masyarakat Indonesia masih didominasi oleh sektor informal. Karenanya, untuk bisa meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, pemerintah diharapkan dapat berusaha keras mendorong berkembangnya sektor formal agar bisa menyerap lapangan kerja lebih banyak. 

Tantangan ini tentu terkait dengan kondisi global, karena ekonomi global yang tidak stabil sangat mempengaruhi keberlanjutan berbagai perusahaan formal di Indonesia. 

“Apabila perusahaan sektor formal banyak melakukan PHK karena tidak stabilnya ekonomi global, maka tingkat kemiskinan juga bisa meningkat,” ucap Shofie.

Kondisi Kemiskinan Maret 2023
 BPS mencatat, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang. Terbilang menurun 0,46 juta orang terhadap September 2022 dan menurun 0,26 juta orang terhadap Maret 2022.

Persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2023 sebesar 7,29%, menurun dibandingkan September 2022 yang sebesar 7,53%. Sementara itu, persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2023 sebesar 12,22%, menurun dibandingkan September 2022 yang sebesar 12,36%.

Dibanding September 2022, jumlah penduduk miskin Maret 2023 perkotaan menurun sebanyak 0,24 juta orang; dari 11,98 juta orang pada September 2022 menjadi 11,74 juta orang pada Maret 2023. 

Sementara itu, pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin perdesaan menurun sebanyak 0,22 juta orang; dari 14,38 juta orang pada September 2022 menjadi 14,16 juta orang pada Maret 2023.

Garis Kemiskinan pada Maret 2023 tercatat sebesar Rp550.458/kapita/bulan, dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp408.522 (74,21%) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp141.936 (25,79%).

Pada Maret 2023, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar Rp2.592.657/rumah tangga miskin/bulan.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar