c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

27 November 2024

21:00 WIB

Ekonom-OJK Buka Suara Soal Dampak PPN 12% Ke Sektor Perbankan

Permintaan terhadap kredit konsumsi seperti KPR, KKB, dan kredit personal disinyalir dapat melemah.

Penulis: Fitriana Monica Sari

<p dir="ltr" id="isPasted"><span data-originalcomputedfontsize="16" data-originalfontsize="12pt">Ekonom-OJK Buka Suara Soal Dampak PPN 12% Ke&nbsp;Sektor Perbankan</span></p>
<p dir="ltr" id="isPasted"><span data-originalcomputedfontsize="16" data-originalfontsize="12pt">Ekonom-OJK Buka Suara Soal Dampak PPN 12% Ke&nbsp;Sektor Perbankan</span></p>

Karyawan meletakkan uang pecahan Rp50.000 di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Antara Foto/Aprillio Akbar

JAKARTA - Pemerintah memberikan sinyal kuat bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% akan diberlakukan paling lambat pada 2025 mendatang.

Kenaikan tarif PPN ini menuai kontra dari berbagai kalangan, khususnya dari para pelaku usaha hingga masyarakat, lantaran ditakutkan dapat berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat hingga memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% yang akan berlaku mulai Januari 2025 berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap berbagai sektor ekonomi, termasuk industri perbankan, terutama di tengah tren penurunan daya beli masyarakat yang sedang berlangsung. 

Menurutnya, peningkatan PPN berpotensi mendorong kenaikan harga barang dan jasa, yang berpotensi mengurangi daya beli konsumen. Akibatnya, permintaan terhadap kredit konsumsi seperti KPR, KKB, dan kredit personal dapat melemah. 

"Industri perbankan mungkin menghadapi tantangan dalam mendorong pertumbuhan kredit di segmen ritel," ujar Josua kepada Validnews, Rabu (27/11).

Selain berdampak pada penurunan permintaan kredit, jika daya beli menurun, lanjutnya, maka masyarakat cenderung memprioritaskan kebutuhan dasar daripada menabung atau berinvestasi di instrumen keuangan, yang dapat menekan tingkat simpanan di bank. 

"Perbankan juga dapat menghadapi risiko peningkatan kredit macet (NPL) akibat tekanan ekonomi pada rumah tangga dan UMKM," imbuh dia.

Selanjutnya, dengan kenaikan harga barang/jasa akibat PPN, konsumen/investor mungkin beralih dari instrumen perbankan tradisional ke aset yang dianggap lebih memberikan lindung nilai terhadap inflasi, seperti emas atau obligasi pemerintah (SBN). 

Kenaikan PPN, kata Josua, juga akan memengaruhi biaya operasional perbankan, terutama terkait layanan yang tidak termasuk dalam daftar pengecualian PPN. Hal ini dapat menurunkan margin keuntungan.

Untuk itu, Josua menuturkan, terdapat  beberapa strategi bank dalam memitigasi risiko tersebut, antara lain pertama, bank perlu menyesuaikan strategi produk untuk menawarkan solusi pembiayaan yang lebih kompetitif dan fleksibel, seperti program subsidi bunga atau promosi kredit tertentu, untuk mempertahankan daya tarik produk perbankan. 

"Perbankan juga perlu meningkatkan efisiensi melalui digitalisasi untuk menekan biaya operasional dan menjaga margin keuntungan," jelasnya.

Selain itu, perbankan juga dapat menawarkan produk-produk baru yang mendukung efisiensi biaya bagi nasabah, seperti program bundling atau kredit berbunga tetap. 

Lebih lanjut, perbankan juga perlu mempertimbangkan untuk mengalihkan fokus ke kredit produktif, seperti pembiayaan UMKM atau sektor strategis lainnya yang lebih tahan terhadap dampak kenaikan pajak.

"Kenaikan PPN akan memberikan tantangan bagi industri perbankan dalam menjaga pertumbuhan kredit dan profitabilitas. Bank perlu secara proaktif menyesuaikan strategi untuk mendukung daya beli konsumen dan menjaga stabilitas ekonomi melalui produk dan layanan yang inovatif," tutur Josua mengingatkan.

Secara terpisah, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengaku enggan berkomentar mengenai dampak kenaikan tarif PPN menjadi 12% terhadap sektor jasa keuangan.

“Enggak, terlalu awal untuk saya bicara sekarang ini (PPN 12%.red), mesti lihat dulu. Tapi sementara, saya enggak komen dulu,” kata Mahendra saat ditemui usai acara Risk & Governance Summit 2024 di Jakarta, Selasa (26/11).

Kebijakan kenaikan PPN ini sendiri telah tertuang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar