12 April 2023
13:39 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Tiola Allain mengatakan, pesatnya aktivitas digital telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum.
Namun hal ini juga berpotensi memberi dampak negatif yang cukup signifikan terhadap lingkungan, khususnya karena pesatnya pertumbuhan pusat data.
“Penyimpanan dan pemrosesan informasi digital dilakukan di pusat data atau data centre yang dalam operasinya membutuhkan sumber energi yang besar,” terang Tiola dalam pernyataan resmi, Rabu (12/4).
Tiola menambahkan, sebagai ilustrasi, pusat data berkapasitas 1 MW saja membutuhkan energi setara dengan listrik untuk seribu rumah. Fasilitas ini juga membutuhkan 26 juta liter air setahun untuk mendinginkan mesin-mesin yang mudah panas.
Baca Juga: Data Center Ramah Lingkungan Akan Hadir Di Indonesia
Di Indonesia, pesatnya aktivitas digital bisa mendongkrak pertumbuhan pusat data hingga 20% setiap tahun. Untuk mengantisipasi angka tersebut, pemerintah merencanakan pembangunan empat pusat data nasional dengan kapasitas masing-masing mencapai 40 MW pada 2026.
Saat ini, ada 94 pusat data di Indonesia dengan kapasitas listrik hingga 727,1 megawatt (MW).
Pertumbuhan pusat data di Indonesia juga dapat menjadi lebih cepat karena Singapura, sebagai pasar pusat data terbesar di Asia Tenggara, membatasi pembangunan pusat data baru karena pertimbangan dampak lingkungan.
"Mengingat pesatnya tren ini, penting bagi Indonesia untuk menerapkan praktik pusat data berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan," kata dia.
Pertama, Tiola menyarankan agar pemerintah dan industri harus merumuskan rencana operasional pusat data yang ramah lingkungan, berikut mekanisme pelaporannya. Perencanaan dibutuhkan agar operasi pusat data dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Seperti diketahui, saat ini, pemerintah hanya mewajibkan pelaporan pemakaian energi bagi pengguna yang menggunakan listrik di atas 70 gigawatt jam (GWH) setiap tahun.
"Pemerintah dapat membuat mekanisme khusus supaya para pengelola dapat melaporkan konsumsi energinya secara berkala, paling tidak setiap tahun. Laporan konsumsi energi juga harus bisa diakses publik," sebutnya.
Baca Juga: Pentingnya Verifikasi Identitas Digital di Layanan Publik
Dia juga menyebutkan agar pemerintah juga perlu mewajibkan pengelolaan pusat data yang efisien dan hemat energi. Di Singapura, misalnya, pusat data wajib memenuhi rasio Power Usage Effectiveness (PUE) hingga 1,3. Rasio PUE 1 menjadi yang patokan efisiensi energi yang ideal.
"Kewajiban tersebut akan memaksa operator untuk mendesain dan mengelola pusat data seefisien mungkin. Langkah ini dapat dimulai dengan pemakaian peralatan hemat energi sehingga konsumsi listrik maupun biaya operasional bisa ditekan," imbuhnya.
Dia juga meminta pemerintah mendukung pengelola pusat data untuk menggunakan energi dari sumber-sumber yang lebih ramah lingkungan.
Saat ini, baru beberapa pusat data di Indonesia yang memperoleh Sertifikat Energi Terbarukan (REC). Sertifikat yang diterbitkan PT PLN ini menjadi bukti suatu pelanggan menggunakan energi terbarukan untuk fasilitas mereka.
“Pemakaian sertifikat ini dapat diperluas ke berbagai pelanggan. Jika perlu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi pengelola data centre yang menggunakan energi terbarukan,” tegasnya.