03 November 2023
08:12 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, dampak pelemahan nilai tukar rupiah sejauh ini masih dalam kategori moderat terhadap peningkatan biaya impor Indonesia. Ia menilai, batas pelemahan rupiah bisa masuk kategori waspada jika sudah menyentuh di kisaran 16.000/dolar AS.
Meski kondisi saat ini mengerek naik inflasi barang-barang konsumsi seperti komoditas bahan pangan maupun bahan baku-bahan penolong yang diimpor Indonesia, namun pelemahan rupiah saat ini belum menyebabkan lonjakan biaya impor dan menimbulkan inflasi tinggi.
“Nah untuk saat sekarang, saya rasa (pelemahan rupiah) masih agak atau belum terlalu signifikan dampaknya,” jelasnya kepada Validnews, Jakarta, Jumat (3/11).
Baca Juga: Ekonom: Dua Faktor Pengaruhi Pelemahan Rupiah Ke Inflasi
Apalagi, sambungnya, optimisme tersebut juga didukung oleh torehan inflasi dalam negeri yang relatif rendah sebesar 0,17% (mtm) per Oktober 2023. Faisal pun memperkirakan, inflasi nasional hingga pengujung 2023 akan berakhir pada kisaran 2,1-2,2% (yoy).
Jika terealisasi begitu, ungkapnya, inflasi nasional masih lebih rendah daripada target inflasi APBN yang dipatok sebesar 3,6% (yoy). “Prediksi saya, (inflasi) sekitar 2,2% sampai dengan akhir tahun ini,” katanya.
Optimisme pun berlaku pada impor untuk manufaktur bahan baku dan penolong, yang Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan penurunan inflasi.
BPS mencatat, inflasi HPB terus menurun sepanjang tahun berjalan, dari 0,57% (mtm) pada Januari menjadi 0,22% pada Oktober 2023.
Kenaikan inflasi HPB terpantau hanya naik signifikan sekali pada September 2023 menjadi kisaran 0,43% (mtm). Sisanya, sepanjang Februari-Agustus 2023, inflasi HPB bergerak dari 0,32% (mtm) menjadi 0,04% (mtm).
Dengan penurunan ini, inflasi di tingkat produsen mengalami pelemahan. Bahkan, Faisal menganggap, pertumbuhan inflasi produsen saat ini masih lebih rendah jika dihadapkan pada inflasi Indeks Harga konsumen (IHK).
“Jadi kalau pun ada peningkatan biaya impor karena pelemahan rupiah, dampaknya ke produksi belum terlalu signifikan menurut saya. Apalagi, inflasi (nasional 2023) ini masih akan di bawah target APBN yang 3,6% (yoy),” sebutnya kembali.
Secara teori, jelasnya, pelemahan rupiah memang akan meningkatkan harga dan biaya terhadap berbagai komoditas atau produk yang Indonesia masih bergantung pada impor. Misalnya, komoditas kedelai, gandum, bawang putih, termasuk minyak mentah.
Selaku negara pengimpor (net importir) minyak mentah dunia, pelemahan akan rupiah akan memberikan beban baru karena harga beli komoditas yang lebih tinggi dari biasanya, di samping harga komoditas terkait yang sudah tinggi karena tersengat sentimen global.
“(Beban biaya beli) khususnya terjadi pada minyak (BBM) non-subsidi (di tingkat pembeli), karena kalau yang subsidi relatif sama harganya, kecuali pemerintah memutuskan mengurangi atau mencabut subsidinya. Artinya, pelemahan rupiah berkolerasi dengan peningkatan biaya impor,” katanya.
Per 2 November 2023, BI mencatat, kurs transaksi rupiah terhadap dolar AS telah mencapai 16.025,73 untuk kurs jual, sedangkan menyentuh 15.866,27 untuk kurs beli. Capaian tersebut terpantau melemah dibandingkan posisi 2 Oktober 2023, yang kurs belinya berkisar 15.409,57/dolar AS dan kurs jualnya sekitar 15.564,43/dolar AS.
Baca Juga: Pemda Tanya Pelemahan Rupiah, Sri Mulyani: Gara-Gara AS
Fundamental Rupiah Masih Aman
Pada kesempatan sama, Faisal juga memandang bahwa rupiah yang mulai mendekati level 16.000/dolar AS masih memiliki fundamental yang cukup solid, ditilik dari back up makroekonomi Indonesia yang cukup kuat. Karena itu dirinya tidak ragu menyebut rupiah relatif masih bagus dibandingkan dengan nilai tukar negara-negara lain.
“Tingkat pelemahan dari nilai tukar rupiah masih relatif lebih bagus dibandingkan dengan banyak negara peers, yang pelemahan mata uangnya itu jauh lebih signifikan daripada kita,” bebernya.
Indonesia juga masih memiliki amunisi yang cukup dalam upaya menstabilkan rupiah saat ini. Salah satunya, cadangan devisa atau cadev per September 2023 sebesar US$134,9 miliar.
Apalagi, BI mengklaim, cadev sebesar itu masih bisa untuk membiayai kebutuhan impor Indonesia selama enam bulan dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
“Sehingga (cadev) ini yang bisa dipakai untuk memerangi pelemahan rupiah lebih lanjut, khususnya untuk mencegah rupiah tidak mencapai batas psikologis (waspada) di 16.000/dolar AS,” pungkasnya.