c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

02 November 2023

18:22 WIB

Ekonom: Dua Faktor Pengaruhi Pelemahan Rupiah Ke Inflasi

Meski begitu, sejauh ini dampak pelemahan rupiah masih akan terbatas pada inflasi nasional.

Penulis: Khairul Kahfi

Ekonom: Dua Faktor Pengaruhi Pelemahan Rupiah Ke Inflasi
Ekonom: Dua Faktor Pengaruhi Pelemahan Rupiah Ke Inflasi
Petugas menunjukkan uang dolar AS dan uang rupiah di salah satu kantor cabang PT. Bank Mandiri Persero Tbk, Jakarta, Selasa (31/1/2023). ANTARA FOTO/RENO ESNIR

JAKARTA - Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet memperkirakan, kecepatan penetrasi pelemahan nilai tukar rupiah ke sektor riil akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. 

Namun, dirinya meyakini, sejauh ini dampak pelemahan rupiah masih akan terbatas pada inflasi nasional.

Pertama, penetrasi pelemahan rupiah akan mengacu pada seberapa tinggi permintaan barang yang membutuhkan bahan baku impor, terutama di sisa akhir tahun ini. 

Kedua, dari sisi produsen dalam konteks kemampuan menekan beban biaya (cost), agar tidak memengaruhi komponen atau keseluruhan harga pokok produksi suatu barang.

Untuk faktor kedua, Rendy menggarisbawahi, spektrum dampaknya akan bervariasi karena antara satu industri atau pengusaha dengan industri atau lapangan usaha yang lain berbeda-beda.

“Seberapa besar kemampuan mereka untuk menanggung beban kenaikan bahan baku atau pertimbangan untuk memangkas margin, misalnya, saya kira juga akan ikut memengaruhi dampak pelemahan nilai tukar rupiah ke sektor riil secara langsung,” jelasnya kepada Validnews, Jakarta, Kamis (2/11). 

Kemarin (1/11), BPS menerangkan, cepat atau lambat kondisi pelemahan rupiah bisa berefek pada inflasi Indonesia. Secara khusus, kenaikan inflasi ini terutama akan berdampak pada komoditas yang mengandung komponen impor. 

Baca Juga: Hati-hati, Cepat Atau Lambat Pelemahan Rupiah Berefek Ke Inflasi

Sejauh ini, tekanan depresiasi rupiah sudah sedikit-banyak sudah mulai berdampak terhadap sektor industri. Indikasinya, inflasi harga produsen atau Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) di sektor industri telah mengalami kenaikan 0,21% (mtm). 

Kendati, Rendy menekankan, inflasi sektor industri akibat pelemahan rupiah masih berada dalam tahap awal. Adapun, jika dikaitkan ke APBN terutama target inflasi di sepanjang 2023, pengaruhnya diyakini masih relatif terbatas.

“Apalagi, inflasi (nasional) tahun kalender sampai dengan Oktober itu mencapai 1,80% (ytd). Artinya, masih relatif di bawah target inflasi pada APBN yang di-set sebesar 3,6% (yoy),” jelasnya.

Jika ditanya mengenai fundamental rupiah, dirinya berpendapat, masih ada ada beberapa hal mendasar yang masih akan relatif memberatkan upaya mendorong naik alias apresiasi nilai tukar rupiah ke level 15.000-an/dolar AS. Paling tidak, hal ini masih berlaku sampai dengan akhir tahun nanti. 

Lantas, dia menyoroti komposisi kepemilikan di pasar keuangan yang masih relatif tergantung pada dana portofolio investor asing. Sehingga dalam kondisi seperti ini volatilitas keluar-masuk modal di pasar keuangan relatif tinggi.

“Sehingga upaya untuk mendorong penguatan nilai tukar rupiah, apalagi misalnya mencapai titik 15.000 (per dolar AS), saya kira akan relatif sulit dilakukan terutama kalau kita bicara konteks jangka pendek,” sebutnya. 

Selain itu, ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor sebagai bahan baku penolong industri juga merupakan PR fundamental perekonomian lain. Terlebih, dalam upaya mendorong apresiasi nilai tukar rupiah saat ini.

Terakhir, momen Natal dan Tahun Baru 2024 di penghujung tahun ini berpotensi mendorong inflasi. Namun, bobotnya terhadap inflasi baru akan dipengaruhi oleh permintaan barang atau produk tertentu di akhir tahun nanti.

“Karena pemerintah sebenarnya sudah bisa membaca bahwa kenaikan inflasi pada momen Natal adalah pola musiman, maka upaya untuk menjaga alur distribusi terutama di akhir tahun, malah sudah bisa dilakukan pemerintah sejak saat ini,” ucapnya.

DPR Akan Panggil BI
Sebelumnya, Komisi XI DPR RI dikabarkan akan segera mengundang Bank Indonesia untuk mendengarkan penjelasan arah kebijakan hingga tingkat resiliensi dan mitigasi makro ekonomi nasional, pasca menaikkan suku bunga acuan ke level 6% per Oktober ini. 

Adapun, BI menjelaskan, kebijakan kenaikan suku bunga bertujuan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah sebagai dampak ketidakpastian global dan sebagai langkah mitigasi terhadap inflasi barang impor (imported inflation). 

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad menyampaikan, bahwa menaikkan suku bunga acuan bukanlah satu-satunya cara untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, melainkan yang terpenting adalah penguatan fundamental ekonomi dalam negeri. 

Dirinya menjabarkan, saat ini fundamental ekonomi Indonesia punya tiga kekuatan utama yang ditunjang dari sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.

“Fundamental ekonomi kita harusnya dari awal kita sudah desain, sehingga sektor-sektor unggulan itu bisa menjadi penopang untuk stabilitas ekonomi kita sehingga kalau nilai tukar Rupiah melemah,” tuturnya yang juga menjadi anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Selasa (31/10).

Baca Juga: BPS: Beras dan Bensin Kerek Inflasi Oktober 0,17%

Melemahnya nilai tukar rupiah, lanjutnya, akan berpengaruh terhadap bahan baku impor bagi sejumlah industri yang akhirnya akan berdampak terhadap harga dan kompetisi di pasar. Lebih jauh, dampak pengurangan pegawai pada industri juga berpotensi terjadi lantaran kenaikan harga bahan baku dan ketatnya kompetisi pasar.

“Atau bisa jadi mereka melakukan pengurangan karyawan, pekerja, buruh dan seterusnya. Akhirnya nanti bisa menimbulkan pengangguran baru,” ungkapnya.

Karena itu, dia menegaskan, perlu ada perhitungan dampak kenaikan suku bunga acuan BI pada sektor riil. Kendati dirinya memahami betul, tekanan BI dalam upaya mengimbangi gejolak ekonomi global dan menjaga stabilitas dalam negeri.

“Kenaikan suku bunga 25 basis poin (bps) itu memang harus kita lihat, hitung secara mendalam impaknya terhadap sektor riil. Karena akan meningkatkan biaya ekonomi tinggi, khususnya bagi pelaku usaha yang mendapatkan fasilitas pembiayaan dari perbankan atau lembaga keuangan,” jelasnya.

Politisi F-Gerindra ini mencontohkan beberapa sektor yang rentan terdampak dari kenaikan suku bunga acuan saat ini. Antara lain, sektor properti yang memiliki banyak komponen, sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka) atau makanan dan minuman, sektor pariwisata, dan sektor padat karya yang lain.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar