c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

20 Maret 2023

16:02 WIB

Asosiasi Tekstil Minta Keringanan Bunga Hadapi Thrifting

Asosiasi Tekstil Indonesia (API) menyebut tingkat suku bunga yang rendah akan meningkatkan daya saing guna menghadapi jual beli pakaian bekas alias thrifting.

Editor: Fin Harini

Asosiasi Tekstil Minta Keringanan Bunga Hadapi <i>Thrifting</i>
Asosiasi Tekstil Minta Keringanan Bunga Hadapi <i>Thrifting</i>
Pedagang membawa stok pakaian bekas impor di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (24/2/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

DENPASAR - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bali meminta keringanan tingkat suku bunga bank agar daya saing meningkat, guna menghadapi jual beli pakaian bekas alias thrifting.

“Impor pakaian bekas ini mendisrupsi pasar lokal,” kata Ketua API Bali Dolly Suthajaya, di Denpasar, Senin (20/3), dilansir dari Antara.

Dia mengharapkan tingkat suku bunga bank untuk industri tekstil ditekan hingga 6%, dari bunga saat ini yang dinilai masih tinggi di kisaran 11-12%.

Tingkat bunga bank, kata dia lagi, menjadi salah satu bagian yang membentuk Harga Pokok Produksi (HPP), selain biaya komponen bahan baku, tenaga kerja hingga operasional lain seperti listrik dan transportasi.

Sementara itu, industri tekstil merupakan industri padat karya dengan memberdayakan banyak tenaga kerja, berorientasi ekspor dan mendorong kreativitas.

“Baju bekas penuh di pasaran dikhawatirkan menghentikan kreasi dan produksi, juga mematikan industri kreatif di Bali,” ujarnya pula.

Di Bali tercatat ada 60 pelaku usaha tekstil yang tergabung dalam asosiasi, dan sebagian di antaranya berskala kecil.

Baca Juga: Kemendag Musnahkan 730 Bal Barang Bekas Impor Senilai Rp10 Miliar

Pada sisi lain, kata dia lagi, pengusaha tekstil juga melaksanakan kewajiban membayar pajak termasuk membayar bea masuk untuk bahan baku pendukung tekstil dengan tarif yang tinggi, yakni sekitar 32% dari total nilai barang. Belum lagi biaya lain seperti sewa gudang hingga kewajiban untuk karantina.

Sementara itu, impor pakaian bekas sesuai dengan namanya tidak memiliki nilai lagi dan tidak memberikan pemasukan kepada negara, khususnya terkait pajak dan bea cukai ketika dibawa masuk ke Indonesia.

“Ekonomi siluman itu tidak jelas pajak impornya, itu harus diberantas atau dikenakan pajak tinggi supaya semua berkontribusi pajak,” katanya.

Padahal, di sejumlah negara tidak menerima impor pakaian bekas karena terkait kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, pelaku yang bergerak di sektor pakaian bekas, justru meraup untung meski menjual dengan harga murah atau jauh di bawah HPP.

Di sisi lain, persoalan daya saing juga membuat sebagian produk tekstil Tanah Air justru belum merajai sejumlah pusat perbelanjaan, karena harus bersaing dengan produk dari Vietnam, China, dan Bangladesh.

“Mudah-mudahan nanti berhasil diberantas impor pakaian bekas, sehingga industri tekstil dan produk tekstil di Bali bangkit lagi dan semangat lagi berkreasi,” katanya lagi.

Pemerintah melarang ekspor pakaian bekas yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang barang dilarang ekspor dan impor. Sebelumnya, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang larangan impor pakaian bekas.

Impor Pakaian Bekas Ancam Nasib 1 Juta Tenaga Kerja
Terpisah, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan praktik impor ilegal pakaian bekas bisa menghancurkan industri pakaian dan alas kaki nasional serta nasib 1 juta tenaga kerja.

"Jika sektor ini terganggu, akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan. Karena pada 2022, proporsi tenaga kerja yang bekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki pada industri besar dan sedang (IBS) menyumbang 3,45% dari total angkatan kerja. Pelaku UMKM yang menjalankan bisnis pakaian mencapai 591.390 dan menyerap 1,09 juta tenaga kerja," kata Teten, di Jakarta, Senin.

Tak hanya itu, maraknya aktivitas impor ilegal pakaian bekas di Indonesia juga bisa mengganggu pendapatan negara.

Menurut Statistik BPS pada tahun 2022, sektor Industri Pengolahan menyumbang 18,34% dari Produk Domestik Bruto menurut lapangan usaha harga berlaku, dengan Industri Pengolahan TPT berkontribusi sangat besar, yaitu Rp201,46 triliun atau 5,61% PDB.

Sementara itu, sektor Industri Pengolahan dan Industri Pengolahan Barang dari Kulit dan Alas Kaki berkontribusi Rp48,125 triliun atau 1,34% PDB Industri Pengolahan.

Baca Juga: E-commerce Bakal Take Down Akun Thrifting

Teten menegaskan, aktivitas impor pakaian bekas tersebut juga bisa membuat Indonesia kebanjiran limbah tekstil.

Pada tahun 2022, berdasarkan data dari SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) KLHK, tekstil menyumbang sekitar 2,54% dari total sampah nasional berdasarkan jenis sampahnya dengan estimasi mencapai 1,7 ribu ton per tahun.

Teten Masduki mengatakan, aktivitas impor ilegal pakaian bekas masih marak di Indonesia.

Terbukti, sejak 2019 sampai Desember 2022, kantor Bea Cukai melalui kantor penindak di Batam telah menindak 231 impor ilegal pakaian bekas. Belum lagi ratusan penindakan yang dilakukan oleh Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) di berbagai daerah.

Untuk mendorong bisnis TPT, pemerintah juga sudah menghadirkan banyak program, salah satunya Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia yang dilakukan sejak 2021 di setiap provinsi secara bergantian, utamanya menampilkan produk-produk wastra, fesyen, dan produk industri kreatif lainnya.

Pemerintah juga menghadirkan kebijakan afirmatif, alokasi 40% belanja barang/jasa Kementerian/Lembaga untuk pengadaan oleh UMK dan Kkoperasi termasuk pakaian dan alas kaki serta belanja BUMN melalui Pasar Digital UMKM (PaDi) BUMN dengan nilai transaksi tahun 2022 sebesar Rp22 triliun.

“Kita ingin menjadikan pelaku UMKM menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita ingin ada kebanggaan setiap warga membeli dan menggunakan produk UMKM,” pungkas Teten Masduki.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar