13 Juni 2022
15:00 WIB
Penulis: Novelia
Meski sudah tak lagi bocah, Sobat Valid pasti sudah tak asing dengan judul-judul film animasi seperti “Toy story”, “The Incredibles”, “Finding Nemo”, ataupun “Monster Inc.”.
Yap, film-film tersebut merupakan film besutan Studio Pixar, perusahaan animasi yang berkantor pusat di Emeryville, California, United States.
Dengan berbagai film animasi yang diproduksinya, Pixar sudah mencatatkan berbagai prestasi yang menempatkan perusahaan ini sebagai salah satu rumah produksi paling ternama di dunia.
Salah satu pencapaian yang belum lama didapatkan adalah piala Oscar dalam ajang Academy Awards 2020. Dalam ajang ini, “Toy Story 4” berhasil meraih kemenangan sebagai film animasi terbaik dan mengalahkan sejumlah film pesaingnya.
Meski namanya sudah sangat besar, tapi tak semua orang tahu jatuh bangunnya Pixar sejak awal berdiri.
Penasaran? Begini nih ceritanya!
Kisah Pixar bermula dari diterimanya Edwin Catmull muda di Divisi Komputer Grafik di Lucasfilm, perusahaan yang memproduksi rangkaian film Star Wars.
Ia mulai dipercaya oleh pemilik Lucasfilm, George Lucas, sejak 1979 sebagai pimpinan divisi tersebut.
Empat tahun setelahnya, pada 1983, Catmull yang mengetahui John Lasseter baru saja diberhentikan sebagai animator di Walt Disney.co, mengajak pria itu bergabung dengan timnya.
Duo Catmull dan Lasseter kian menemukan chemistry selama bekerja, hingga menjadi sosok kunci dalam divisi tersebut.
Uniknya, kekompakan mereka juga tercermin dalam bagaimana mereka akhirnya memiliki pemikiran tersendiri terhadap perusahaan tempatnya berkarya.
Alih-alih ambil peran dalam berbagai karya Lucasfilm sebelumnya, mereka justru memiliki mimpi untuk memproduksi film dengan seutuhnya menggunakan animasi 3D.
Perbedaan pandangan Catmull dan Lasseter dengan perusahaan, akhirnya membuat George Lucas memutuskan untuk menjajakan Divisi Komputer Grafik secara terbuka. Apalagi, kala itu perusahaan juga tengah mengalami masa krisis.
Bagaimana tidak, film Howard The Duck yang tayang di bioskop pada tahun 1986 dicap banyak penonton sebagai film terburuk sepanjang hidup. Kegagalan ini bikin Lucasfilm rugi besar dan terdesak kebutuhan finansialnya.
Setelah puluhan kali berupaya menawarkan divisi tersebut, Steve Jobs kemudian melirik membelinya di tahun 1986. Dengan harga US$10 juta, tim ini pun berpindah bos.
Divisi itu menjelma menjadi sebuah perusahaan di bawah pimpinan Jobs. Pria yang sudah cukup terkenal dengan bisnis Macintosh-nya itu pun memberi perusahaan barunya itu sebuah nama: Pixar.
Masih dalam euforia terbentuknya Pixar, perusahaan ini menandai debut dengan memroduksi sebuah film pendek berbasis animasi.
John Lasseter menjadi tokoh kunci yang menulis dan menyutradarai film yang kemudian diberi judul “Luxo Jr.” ini. Tokoh-tokoh dalam Luxo Jr. inilah yang nantinya menjadi simbol-simbol dalam logo dan identitas Pixar.
Baca Juga: Kisah Luxo Jr., Lampu Animasi PIXAR
Namun, tahukah kamu bahwa pada awalnya Pixar tidak langsung menjadi perusahaan rumah produksi animasi seperti yang kita kenal sekarang?
Ketika awalnya tertarik dengan gerombolan pekerja dalam Divisi Komputer Grafik Lucasfilm tersebut, Jobs memang tergugah dengan ide membuat feature film berbasis animasi 3D seperti yang diimpikan Catmull dan Lasseter.
Namun kenyataannya, modal finansial mereka masih belum mumpuni.
Makanya, demi membiayai Pixar, pada 1990 Jobs memutuskan untuk sementara memfungsikan perusahaan ini untuk menjual berbagai perangkat komputer, baik hardware maupun software.
Di sinilah perjumpaan pertama Pixar dengan Disney.
Kala itu, Disney Studio tengah sibuk dengan berbagai proyek animasi, dan mereka merupakan salah satu klien yang membeli Pixar Image Computer sebagai perangkat.
Komputer kreasi Pixar ini kemudian berperan besar pada kinerja Disney karena kemampuannya mempercepat proses pewarnaan dalam animasi.
Sayangnya, keuntungan yang diraih Pixar dalam penjualan perangkat komputasi tak terlalu baik. Perusahaan masih belum menunjukkan perkembangan.
Steve Jobs bahkan sampai memberikan dana tambahan hingga US$50 juta dan membuatnya jadi pemegang saham terbesar dengan penguasaan 51% saham.
Beruntung, pembuktian kreasi mereka berdua dalam ranah animasi berbuah manis, meski hanya dilihat dari produksi hardware dan software.
Pada 1991, Pixar mendapat kontrak resmi dari Disney yang sebelumnya hanya jadi pembeli langganan. Mereka diminta membuat tiga film animasi dengan kontrak senilai US$26 juta.
Selain menyediakan pendanaan, Disney juga berperan dalam area distribusi. Sementara itu, Pixar tentu saja bertugas di bidang produksi.
Toy Story pertama yang rilis pada 1995 menjadi proyek pertama kerja sama Disney dan Pixar. Tak diduga, film ini langsung jadi hits di muka publik.
Gara-gara sukses besar ini, pada 1997 Disney mengajukan anulir kontrak yang mengubah kontrak awal. Dari hanya tiga film, mereka meminta Pixar memroduksi lima film dalam rentang 10 tahun.
Jadilah “Bugs Life”, “Toy Story 2”, “Monster Inc.”, “Finding Nemo”, dan “The Incredibles” berturut-turut menyapa penonton layar lebar. Seperti sulap, kelimanya pun menang banyak di pasar sinema.
Moncernya keuntungan dari film-film besutan Pixar ini jadi angin segar buat Disney, terutama karena mereka tengah mengalami stagnansi kreativitas. Bisa dibilang, keduanya saling menyelamatkan satu sama lain.
Namun, di tengah kesuksesan kerja sama dua perusahaan ini, perselisihan mencuat antara Steve Jobs dan Michael Eisner, CEO Disney saat itu.
Jobs merasa kontrak mereka tidak adil dan meminta revisi, sementara Eisner tidak bersedia. Ketegangan ini terus meruncing dan berujung pada hancurnya hubungan antara Pixar dan Disney kala itu.
Selama beberapa lama, relasi Pixar dan Disney merenggang. Jejak perubahan dimulai ketika Bob Iger didapuk menjadi CEO terbaru Disney pada 2005, menggantikan Eisner. Iger memahami, Disney telah lama macet ide, apalagi sejak “bercerai” dengan Pixar.
Di bawah naungan Eisner, bisnis Disney berkembang ke berbagai arah, namun jiwa terkuat Disney sebagai perusahaan animasi menumpul karena tidak adanya regenerasi karakter. Bob Iger sadar, kekurangan ini dapat diobati dengan kembali merangkul Pixar.
Tak tanggung-tanggung, alih-alih menawarkan kontrak kerja sama, Iger langsung berniat mengakuisisi Pixar. Namun, mewujudkannya bukan perkara mudah mengingat Steve Jobs sudah kadung sebal dengan pendahulu Iger, Eisner.
Dengan keteguhan dan berbagai upaya Iger, akhirnya Jobs luluh juga. Pada 2006, Disney resmi mengakuisisi Pixar dengan nilai US$7,4 miliar.
Bersama Iger, baik Disney maupun Pixar menunjukkan perkembangan. John Lasseter dan Ed Catmull yang awalnya berposisi sebagai COO dan presiden di Pixar diangkat untuk menduduki posisi yang sama di Disney Animation Studio.
Iger memaksa timnya di Disney untuk mau belajar dari perusahaan yang baru diakuisisinya, dan tak bisa disangkal, hasil dari kerendahan hati ini berbuah makin cemerlangnya karya mereka.
Meski hanya menikmati kebersamaan dengan Iger dan Disney selama beberapa tahun, sebelum akhirnya mengalah dengan kanker yang dideritanya, rasanya Steve Jobs akan bangga melihat perkembangan salah satu perusahaannya itu saat ini.
Referensi
Nugroho, I. (2021, Mei 6). PIXAR: Akuisisi Yang Mentransformasi Disney. Retrieved from Youtube.com: https://www.youtube.com/watch?v=vSgUA4tufp0
Paik, K., Iwerks, L., Lasseter, J., Jobs, S., & Catmull, E. (2007). To Infinity and Beyond!: The Story of Pixar Animation Studios. Chronicle Books.