c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

OPINI

17 Januari 2022

15:00 WIB

Yang Krusial Dari Fenomena Harga Minyak Goreng

Modal, pengalaman, dan pengetahuan dalam mengembangkan industri sawit sehingga menjadi seperti sekarang harus menjadi bekal untuk mengembangkan diversifikasi pangan dan energi.

Penulis: E. Panca Pramudya,

Editor: Rikando Somba

Yang Krusial Dari Fenomena Harga Minyak Goreng
Yang Krusial Dari Fenomena Harga Minyak Goreng
Ilustrasi pekerja tengah mengemas minyak goreng curah di sebuah pasar tradisional di Tanah Air. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Kita ini bagai ayam mati di lumbung. 

Begitulah pepatah yang sering terdengar belakangan ini sehubungan dengan melambungnya harga minyak goreng belakangan ini. Harga minyak goreng, yang biasanya meningkat sekitar masa Lebaran kemudian turun lagi, tampaknya sekarang tidak mau surut begitu saja. 

Hal ini tidak hanya terjadi pada minyak goreng kemasan sederhana. Pun, pada minyak goreng curah yang banyak dikonsumsi kalangan berpendapatan terbatas, hal sama terjadi. Padahal, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan terdapat kenaikan harga minyak goreng, baik minyak curah maupun kemasan, sejak 2020 hingga 2022. Dari data tersebut, terlihat bahwa sejak Oktober 2021 harga minyak goreng baik kemasan maupun curah sama-sama naik secara signifikan, setelah merambat terus sejak tahun lalu.

Tercatat, harga minyak goreng kemasan nasional meningkat dari Rp12.100 per liter pada Januari 2020 menjadi Rp18.200 per liter pada Desember 2021. Sementara itu, minyak goreng curah meningkat dari Rp11.600 per liter pada Januari 2020 menjadi Rp17.700 per liter pada Desember 2021.

Tentunya hal ini membuat orang bertanya-tanya. Ada apa di balik kenaikan harga minyak goreng ini? 

Gonjang-Ganjing Harga
Secara prinsip, kenaikan harga minyak goreng dipacu oleh dua hal, yaitu permintaan yang tinggi, namun tidak disertai oleh peningkatan produksi yang mengimbanginya. Mari kita bahas kedua sisi ini dari pembahasan di berbagai media yang mengutip keterangan dari Kementerian Perdagangan dan asosiasi seperti Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia).

Permintaan tinggi dipicu pemulihan ekonomi pasca pengetatan mobilitas yang dilakukan di berbagai negara karena adanya pandemi. Hal ini sehubungan karena belakangan ini minyak sawit digunakan secara luas bukan sebagai minyak makan dan bahan industri oleokimia untuk berbagai produk konsumen, tapi juga sebagai sumber energi. 

Melonjaknya kebutuhan energi untuk pemulihan ini, menurut International Energy Agency (IEA), juga diperburuk oleh tidak lancarnya pasokan gas dan batu bara serta peningkatan kebutuhan energi menjelang musim dingin. Kondisi ini bahkan sudah memicu krisis energi di berbagai negara seperti RRT, Eropa dan India. Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit masih menjadi pilihan untuk sumber energi karena harga minyak sawit yang kompetitif.

Dengan demikian, terjadilah kekawatiran sejak lama bahwa akan ada kompetisi antara penggunaan minyak sawit untuk pangan dan energi. Meningkatnya permintaan energi alternatif untuk minyak bumi sejak taun 2004 telah mendorong pengembangan minyak sawit untuk biofuel

Minyak sawit merupakan minyak nabati yang sangat kompetitif untuk digunakan sebagai biofuel karena produktivitasnya tinggi sehingga hanya membutuhkan luasan lahan yang sedikit untuk bisa memasok secara signifikan kebutuhan minyak nabati untuk energi. 

Di samping, itu karakter kimiawinya pun sesuai untuk digunakan sebagai campuran berbagai bahan bakar minyak. Belum lagi produk turunannya banyak. Bukan hanya sebagai biodiesel, minyak sawit juga sebagai biohidrokarbon seperti yang baru-baru ini dicoba sebagai campuran avtur dan bensin.

Di dalam negeri pun, Indonesia mengalami permintaan minyak sawit yang tinggi karena adanya program mandatori biodiesel. Program ini telah sukses mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak, tapi menurut GIMNI dilaksanakan kurang ideal karena adanya kompetisi permintaan dengan pasar ekspor dengan margin yang lebih tinggi.

Sementara itu, pasokan tidak mengimbangi karena kurangnya produksi, terutama di kedua negara produsen utama  yaitu Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia, perkebunan sawit banyak kehilangan tenaga kerja setelah Pemerintah Malaysia menghambat laju masuk pekerja migran untuk mengatasi pandemi. 

Sebagai catatan, kelangkaan pekerja yang berdampak penurunan produksi minyak nabati juga dihadapi oleh komoditas minyak nabati lain seperti minyak kanola dari Kanada dan minyak bunga matahari dari Ukraina.

Sementara itu, di Indonesia, masalah yang membelit peningkatan produksi sawit ialah rendahnya produktivitas. Tantangan yang dihadapi untuk peningkatan produktivitas ini terjadi pada perkebunan besar, namun lebih serius pada perkebunan rakyat. 

Untuk peningkatan produktivitas ini, jalan yang ditempuh ialah peremajaan perkebunan sawit yang usianya sudah melebihi 25 tahun dan meningkatkan produktivitas kebun sawit dalam umur produktif.

Banyak pihak prihatin dengan belum optimumnya realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Menurut Gapki, sejak 2016 hingga 2021, baru sekitar 120.000 hektar peremajaan kebun baru dilakukan. Bahkan Direktorat Jenderal Perkebunan mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2021 program PSR hanya mencapai 38.032 hektar. Capaian ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 94.033 hektar dan 2019 yang mencapai 90.207 hektar.

Hambatan utama program peremajaan pun berasal dari masalah struktural, yaitu terkait legalitas surat lahan dan budidaya, serta adanya kebun di kawasan hutan. Apalagi, ada rekomendasi dari BPK RI yang menyaratkan peserta PSR harus bisa menyertakan pernyataan bebas kawasan hutan, bebas dari perizinan perusahaan perkebunan dan validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK). 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Maret 2021 malahan mencatat adanya 3,372.615 hektar kebun sawit yang “terlanjur” tumbuh di kawasan hutan dengan penyelesaian baru mencakup 713.000 hektar.

Pada gilirannya dengan kondisi legalitas yang tidak memadai, para pekebun sawit rakyat terancam tidak bisa melanjutkan usahanya untuk kebun di kawasan hutan, serta sulit mengakses modal untuk kebutuhan peremajaan. Selain itu, para pekebun sawit rakyat menghadapi masalah ketidaknyamanan untuk harus bermitra sebagai plasma perusahaan, banyaknya pekebun kecil yang belum bergabung dalam organisasi petani serta trauma terhadap perkoperasian.

Di samping itu, ada masalah klasik yang juga menjadi penghalang utama yaitu lemahnya data dan koordinasi lintas lembaga negara. Rendahnya pencapaian peremajaan kebun sawit rakyat diharapkan memicu kesadaran baru untuk meningkatkan koordinasi internal pemerintah, yang siapa tahu bisa menghadirkan model bagi penyelesaian masalah di sektor-sektor lain.

Masalah-masalah ini menghambat akses pekebun pada bibit legitim, penyuluhan teknis, pupuk dan permodalan. Selain itu peningkatan produktivitas terganjal oleh pengetahuan berproduksi yang masih terbatas, terutama di kalangan pekebun. Dari berbagai kelompok pekebun, pekebun swadaya menghadapi masalah yang lebih serius karena dengan bekerja di luar kelompok besar, akses-akses tersebut tadi menjadi lebih terbatas lagi.

Diperkirakan harga minyak goreng masih akan tinggi di tahun 2022. Penyebabnya menurut Gapki ialah harga internasional yang masih tinggi serta permintaan industri hilir yang masih tinggi.

Dampak Kerentanan Sosial Politik
Sekilas harga minyak goreng tinggi seolah menjadi tantangan bagi rumah tangga, terutama terkait urusan memasak. Padahal, dampaknya jauh lebih besar dan serius.

Kenaikan harga minyak goreng bisa memicu keresahan sosial politik. Fenomena ini terjadi secara signifikan pada bulan Februari – April 1998 sehingga menyebabkan di beberapa tempat terjadi antrean panjang untuk memperoleh minyak goreng. 

Antrean ini telah menambah keresahan sosial dan berkontribusi pada kegentingan politik. Seperti kita ketahui, krisis politik multidimensi telah memaksa Presiden Soeharto untuk lengser pada Mei 1998.

Perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia sendiri pun tidak bisa dilepaskan dari fasilitasi Pemerintah pada era Orde Baru untuk pemulihan kinerja sektor perkebunan di Indonesia. Fasilitasi pinjaman lunak diberikan pertama-tama pada perusahaan perkebunan negara pada 1967 dan kemudian dilanjutkan kepada perusahaan perkebunan swasta pada 1974. 

Selanjutnya, pada 1977 pemerintah mengeluarkan skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang memungkinkan akses kredit bagi perusahaan dengan kewajiban mengembangkan perkebunan pekebun plasma.

Kebijakan strategis Orde Baru dengan Trilogi Pembangunan yang ingin mengupayakan stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Ada dua tujuan yang ingin dicapai secara bersamaan, yaitu meningkatkan keamanan pangan dengan produksi minyak sawit dalam negeri serta memoles komoditas kelapa sawit sebagai penghasil devisa andalan.

Fasilitas pemerintah kepada perusahaan dalam rangka membangun ketahanan pangan kemudian diakhiri bersamaan dengan makin menurunnya pendapatan migas. Kondisi ini memaksa pemerintah Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan pada tahun 1989. 

Namun, dalam era liberalisasi, pemerintah masih mendukung perkembangan perkebunan sawit rakyat melalui program Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan jaminan penyerapan TBS oleh perusahaan. Program KKPA berakhir ketika sumber pendanaan dan peran Bank Indonesia untuk penyaluran kredit likuiditas harus berakhir akibat krisis ekonomi 1997.

Analisis sejarah perkembangan industri sawit di atas menunjukkan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas penting dalam upaya Pemerintah menjaga kesejahteraan dan kestabilan bangsa. Meroketnya  harga minyak goreng pada saat ini pun selayaknya memicu sensitivitas pemerintah untuk segera menanganinya.

Berbagai usulan mulai diungkapkan banyak pihak. Salah satunya, ialah desakan untuk memperbaiki tata niaga minyak goreng. Bahkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sudah menengarai adanya Praktik kartel yang menyumbang kondisi lonjakan harga minyak sawit di pasar domestik.

Selain itu, bergulir wacana bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akan turun tangan menyubsidi harga minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri. 

Bagi banyak pihak, subsidi harga minyak goreng demi kestabilan harga dalam negeri ini merupakan langkah yang logis karena BPDPKS didirikan untuk menyalurkan dana bagi menutup selisih harga biodiesel dan minyak diesel dunia. Untuk kepentingan ini, dikabarkan BPDPKS sudah menyediakan Rp3,6 triliun untuk subsidi minyak goreng.

Strategi Jangka Panjang 
 Langkah-langkah pemerintah, baik untuk mengungkapkan adanya praktik kartel dan subsidi minyak goreng secara potensial menyelesaikan masalah secara cepat. Walaupun demikian, ketika membicarakan strategi jangka panjang untuk menstabilkan harga minyak goreng, langkah pertama dan utama yang harus diupayakan pemerintah ialah adanya keseimbangan pasokan terhadap permintaan. 

Perbaikan pasokan ini bertumpu pada tiga hal utama yaitu terkait produktivitas, tata niaga dan peningkatan pengorganisasian produksi untuk pekebun sawit rakyat.

Peningkatan produktivitas dilakukan baik dengan strategi peremajaan maupun pada kebun yang sudah berjalan. Seperti dibahas di atas, banyak tantangan yang mengakibatkan keterbatasan capaian pada saat ini. 

Keterbatasan-keterbatasan ini harus merupakan tantangan untuk diselesaikan oleh para pemangku kepentingan, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, kalangan dunia usaha perkebunan besar, para pekebun sawit rakyat, beserta lembaga keuangan. 

Tidak ada jalan lain kecuali mengembangkan koordinasi yang lebih baik dan dari koordinasi ini kemudian mengembangkan keputusan-keputusan yang lebih baik berbasis data dan kesiapan aparatur mulai dari tingkat pusat maupun di daerah.

Tata niaga sawit merupakan salah satu tata niaga produk pertanian yang paling maju di Indonesia. Namun demikian, di lapangan masih dijumpai masalah bahwa banyak pekebun sawit rakyat hanya mampu menjual ke pabrik melalui pedagang perantara. 

Di satu sisi, para pedagang perantara ini bisa membantu para pekebun dengan bibit yang tidak legitim maupun lahan kebunnya ilegal untuk mengakses pasar. Namun di jangka panjang, rantai ini harus ditingkatkan yang memungkinkan perbaikan masalah legalitas yang disertai peningkatan kapasitas. 

Kemitraan dari perusahaan perkebunan menjadi penting. Tetapi, fleksibilitas diperlukan agar para pekebun juga mempunyai akses terhadap pola-pola kemitraan yang meyakinkan mereka bisa menguntungkan.

Peningkatan pengorganisasian produksi untuk pekebun sawit rakyat menjadi strategi yang mendasar untuk perbaikan jangka panjang. Peningkatan untuk pelaksanaan pendampingan teknis, akses pasar maupun akses modal lembaga keuangan mau tidak mau tergantung pada kondisi kelembagaan petani yang baik. Sayangnya, banyak pekebun sawit rakyat sudah merasa trauma untuk bergabung dengan koperasi berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lalu. 

Ada upaya menjembataninya dengan membentuk Gapoktan (gabungan kelompok tani) dan koperasi-koperasi baru yang didirikan mandiri oleh para petani. Namun masalahnya ialah Gapoktan bagaimanapun harus ditingkatkan menjadi badan usaha dan pilihan yang sesuai untuk lembaga usaha petani kecil ialah perkoperasian. 

Sementara itu, koperasi-koperasi yang didirikan mandiri biasanya masih harus berjuang untuk menjadi besar dan mendapat kepercayaan dari banyak pekebun. Membenahi koperasi yang lama dengan berbagai permasalahannya pun bukan masalah yang mudah.

Pemerintah tampaknya sudah menyadari masalah kelemahan kelembagaan petani ini melalui program korporatisasi petani. Tantangan yang harus dijawab ialah bagaimana membangun kepercayaan dari para petani untuk bergabung dan aktif dalam lembaga petani. 

Perlu sekali memupus citra kelembagaan petani yang berkembang selama ini yang kebanyakan didirikan dalam rangka mengharapkan proyek-proyek pemerintah. Memang ada beberapa lembaga usaha petani yang mampu menunjukkan fungsinya dengan baik, tanpa terlalu mengandalkan kucuran proyek-proyek dari pemerintah. Dari lembaga-lembaga berkinerja baik yang sedikit inilah yang harus menjadi contoh dan benchmark untuk pengembangan kelembagaan para pekebun sawit rakyat.

Pendekatan Inovatif
 Selain dari strategi jangka panjang yang terkait erat dengan kebijakan pengembangan industri kelapa sawit di atas, dapat dipikirkan beberapa strategi jangka panjang lainnya. Strategi-strategi ini dapat dipikirkan dari beberapa konsep.

Konsep pertama adalah diversifikasi baik untuk pangan dan energi. Diversifikasi pangan sudah diperkenalkan oleh FAO sejak tahun 1996 dengan tujuan meningkatkan produksi makanan dan akses bagi makanan bergizi melalui keberagaman. Diversifikasi energi merupakan strategi untuk penganekaragaman sumber energi sehingga kebutuhan energi nasional bisa dipenuhi bukan hanya dengan menggantungkan pada segelintir jenis energi saja tapi muncul dari bauran energi (energy mix).

Berkaitan dengan diversifikasi pangan, wawasan masyarakat perlu diperluas untuk menyadari bahwa bahan untuk minyak goreng bukan hanya dari minyak sawit bening yang ada di pasar selama ini. Ada  minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedelai dan bahkan minyak dedak padi, juga tersedia.

Minyak-minyak itu memang saat ini harganya terbilang lebih mahal daripada minyak sawit. Namun kalau peningkatan pasar meningkat, niscaya juga akan mendorong gairah investasi dan litbang (R&D). Peningkatan investasi dan R&D ini dengan fasilitasi yang tepat dari pemerintah bisa menumbuhkan kekuatan industri baru yang bisa berkembang menjadi industri unggulan Indonesia di pasar global.

Selain diversifikasi untuk bahan minyak gorengnya, diversifikasi juga bisa didorong untuk  diversifikasi cara memasak. Kuliner nusantara bukan hanya bertumpu pada gorengan. 

Belakangan ini memang gorengan menjadi kuliner cukup popular. Namun demikian, bilamana minyak goreng dengan harga terjangkau ini terancam ketersediaannya, masyarakat perlu diingatkan berbagai cara memasak lain seperti merebus atau mengukus. Perlu disosialisasikan, memasak tanpa menggoreng akan memberikan jaminan preservasi nilai nutrisi yang lebih baik pada makanan tertentuh.

Diversifikasi energi sendiri merupakan semangat dari program mandatori biodiesel sawit, yaitu untuk menggeser dari ketergantungan pada minyak bumi dengan ketergantungan impor yang tinggi. Keberhasilan mandatori biodiesel sawit ini seharusnya bisa menjadi langkah pertama untuk memanfaatkan berbagai potensi energi biomassa yang ada di Indonesia.

Dengan mengembangkan energi biomassa berbasis sawit, Indonesia dikenal di dunia sebagai Raja Biomassa di dunia. Sudah selayaknya, berbagai jenis biomassa yang potensial sebagai sumber energi di Indonesia didorong untuk dikembangkan, sehingga bersama-sama sawit bisa memberikan bauran energi biomassa. 

Apalagi, dengan keanekaragaman hayati di Indonesia, ada berbagai tumbuhan yang menjanjikan potensi energi biomassa seperti dari pelet dan limbah kayu, jerami, bioethanol tebu dan singkong, serta berbagai tanaman penghasil minyak dari biji-bijian seperti jarak, nyamplung dan karet. 

Lagi-lagi, perlu fasilitas dari pemerintah dan keseriusan para pemangku kepentingan untuk mendukung pengembangan R&D dan investasinya, diperlukan.  

Alternatif strategi lainnya bisa dikembangkan juga dengan mempromosikan konsep circular economy dan degrowth. Konsep circular economy sendiri juga mulai diperkenalkan oleh berbagai pihak, misalnya ada beberapa komunitas memberikan pelatihan pengolahan minyak bekas (jelantah) sehingga bisa menurunkan keharusan membeli minyak goreng segar. 

Dengan konsep degrowth, dapat dipikirkan bahwa memang perlu ada penurunan konsumsi minyak goreng dengan berbagai alasan terutama keberagaman pangan demi mutu hidup dan kesehatan yang lebih baik.

Strategi-strategi jangka panjang ini seolah mempromosikan penurunan konsumsi minyak sawit. Namun sebetulnya tidak demikian karena strategi-strategi ini bukan otomatis berarti minyak sawit tidak diperlukan lagi. Industri kelapa sawit nasional tetap mempunyai peran penting sebagai fondasi transisi ini. 

Modal, pengalaman dan pengetahuan dalam mengembangkan industri sawit sehingga menjadi seperti sekarang harus menjadi bekal untuk mengembangkan diversifikasi pangan dan energi di atas. Tantangan peningkatan produktivitas perkebunan sawit harus tetap menjadi utama, tapi pada saat yang bersamaan juga digunakan untuk  mengembangkan replikasi ke berbagai alternatif yang ada.

*) Penulis adalah Peneliti Senior dari Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise) dan Pengajar di Universitas Prasetiya Mulya.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan institusi tempat penulis bekerja.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar