c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

OPINI

29 Maret 2023

15:30 WIB

Pandangan Kriminologis Terhadap AG Dan Bullying

Perilaku perundungan yang dilakukan di masa remaja, meningkatkan kemungkinan perundung menjadi pelaku kejahatan dewasa di masa depannya.

Penulis: Dr. (Kand.) Erni Rahmawati, S. Sos., S. S., M. Krim., M. Pd.

Editor: Rikando Somba

Pandangan Kriminologis Terhadap AG Dan <i>Bullying</i>
Pandangan Kriminologis Terhadap AG Dan <i>Bullying</i>
Mario Dandy, Shane Lukas, dan pemeran pengganti Agnes Gracia menjalani proses rekonstruksi kasus penganiayaan terhadap David Ozora di Jakarta Selatan, Jumat (10/3/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

Jika dilakukan komparasi antara kronologi kasus yang disebutkan oleh pihak media, kepolisian, dan saksi kunci dengan kronologi dari pihak AG, terdapat beberapa perbedaan yang signifikan. Namun, perbedaan itu justru menimbulkan beberapa pertanyaan baru yang memerlukan analisis tertentu untuk dapat dijawab.

Pro Kontra Kronologi Kasus
Sejak Senin, 20 Februari lalu, penyelidikan atas tindakan penganiayaan Mario terhadap David masih berproses. Yang menjadi fokus saat ini adalah keberadaan Agnes Gracia Haryanto (15), atau secara singkat disebut AG, dalam kasus tersebut. Dari penelusuran berita di berbagai media massa elektronik, dapat dilihat bahwa terdapat pernyataan-pernyataan yang cukup bertentangan terkait narasi sejumlah narasumber yang berada dalam posisi dan kepentingannya masing-masing. 

Dalam tulisan ini, penulis tidak menyertakan pemikiran terkait pemberitaan yang sudah dinyatakan sebagai hoaks atau sudah dibantah pihak berwajib. 

Yang jelas, baik dari kronologi yang disampaikan kedua belah pihak mau pun rekonstruksi peristiwa yang  ditayangkan banyak media, termasuk televisi, dapat dilihat berbagai tindakan yang dikategorikan sebagai bullying atau perundungan. Rangkaian peristiwa telah dinarasikan secara lengkap, sejak adanya isu perbuatan tidak menyenangkan dari David, chat WhatsApp yang mempertemukan Mario dan David, dipaksanya korban untuk melakukan push-up 50 kali, hingga peristiwa penganiayaan yang dilakukan Mario dengan adanya saksi-saksi yang terlibat.   

Bullying, Tipe Pelaku, dan Hubungannya dengan Kejahatan Kekerasan
Bullying adalah penindasan yang dilakukan secara berulang-ulang, yang berdampak secara psikologis atau pun fisik, dilakukan oleh orang yang lebih berkuasa kepada orang yang lebih lemah (Farrington, 1993, seperti dikutip oleh Rahmawati, 2020). 

Intimidasi yang dilakukan dalam bullying terdiri dari beberapa elemen kunci. Ada serangan atau intimidasi fisik, verbal, atau psikologis, yang dimaksudkan untuk menyebabkan ketakutan, kesusahan, atau bahaya bagi korban. Ada pula nuansa ketidakseimbangan kekuasaan, dimana anak yang lebih kuat menindas yang kurang kuat; tidak adanya provokasi oleh korban, dan; insiden berulang di antara anak-anak yang sama dalam waktu lama (Besag, 1989a; Lane, 1989; Pearce, 1991; Smith & Thompson, 1991b, seperti dikutip oleh Rahmawati, 2020).

Umumnya, pelaku bullying cenderung kuat secara fisik, aktif dan percaya diri, mudah terprovokasi, suka menyerang (enjoyed aggression), sangat percaya diri, dan memiliki popularitas sedang. Ziegler dan Rosenstein-Manner (1991. Disebutkan bahwa alasan seorang remaja melakukan bullying kebanyakan dijawab dengan pernyataan bahwa mereka ingin merasa kuat dan menjadi "keren." Karena itu, korban atau target bullying biasanya lebih lemah dan tidak mampu melawan. 

Bullying dapat terjadi dalam berbagai lingkup sosial kehidupan, seperti dalam keluarga, teman sepermainan (peer-group), sekolah, pekerjaan, dan lainnya. Maka dari itu, dapat dilihat bahwa bullying tidak hanya dilakukan oleh anak atau remaja, namun juga oleh orang dewasa.  

Bekiari et al. (2017) memformulasikan tiga jenis (pelaku) praktik bullying, yaitu stimulating victimizer (penyerang yang mudah disulut), provocateur (pelaku yang manipulatif), dan egoist inspirator (pemberi inspirasi yang egois). 

Jenis pertama adalah pelaku yang memiliki kekuatan penuh. Ia dapat secara konstruktif memengaruhi orang lain untuk mempelajari dan mempraktikkan semua bentuk intimidasi. Secara normatif, tipe ini dapat dicirikan sebagai “cukup berbahaya dan bersifat menantang.” Ia menggunakan bentuk kekuasaan "konstruktif" (membangun hubungan) dan "dekonstruktif" (merusak). Ini membuatnya cukup kebal dan juga efektif dalam intimidasi. 

Tipe yang  kedua adalah provocateur, yaitu pelaku yang menempel pada stimulating victimizer. Tipe ini tidak memiliki batasan yang jelas. Ia merupakan gabungan dari beberapa dimensi tertentu, dengan tindakan seperti mengejek korban, berkelahi, tetapi juga mendorong terjadinya permusuhan dan perdebatan. Ia tidak hanya menyebabkan kekacauan secara langsung. Tetapi, ia juga membiarkan orang lain melakukannya pada korban. Kemampuannya memanipulasi orang lain ini melipatgandakan sifat dekonstruktifnya.

Sedang yang ketiga adalah egoist inspirator. Tipe ini adalah pelaku yang di satu sisi menjadi inspirasi bagi yang lain. Namun, individu ini kemudian menyangkal bantuannya pada tindak bullying yang terjadi. Ini juga menunjukkan adanya kecenderungan bahwa ia tidak menggunakan pengaruhnya untuk membangun relasi. Dia hanya melakukannya untuk menekankan kepentingan pribadi.



Dalam hubungannya dengan kejahatan, terdapat korelasi antara bullying dengan kejahatan kekerasan. Adanya peningkatan tindakan pelaku bullying yang intens, bisa menjadi tindak kriminal yang lebih serius. Tindakan perundungan kemungkinan karena kesenangan yang didapat memperkuat kecenderungan agresif pelaku. 

Olweus (1991a, seperti dikutip oleh Rahmawati, 2020) melaporkan bahwa 60% pelaku bullying di Norwegia dihukum karena pelanggaran pidana hingga usia 24 tahun, dan prevalensi kriminalitas residivis mereka empat kali lipat dari yang bukan pelaku bullying

Artinya, perilaku perundungan yang dilakukan di masa remaja meningkatkan kemungkinan perundung menjadi pelaku kejahatan dewasa di masa depannya. Perilaku itu dapat berulang. 

Saksi Atau Pengamat
Dalam bullying juga ada tiga jenis pengamat/saksi, yaitu pro-bully, outsider, dan defender (Thornberg & Jungert, 2013). Pro-bully bertindak membantu atau menguatkan pelaku ketika menyaksikan tindak perundungan. Ia turut berpartisipasi aktif dalam perundungan tersebut. 

Yang masuk di kategori pro-bully biasanya memiliki kepekaan moral dasar yang rendah dan moral disengagement (pelepasan moral) yang tinggi. Moral disengagement merupakan proses tidak aktifnya regulasi diri pada individu sehingga menimbulkan perilaku tidak manusiawi dan melanggar moral (Siregar & Ayriza, 2020).

Outsider adalah saksi yang memilih untuk tidak ikut campur dalam bullying. Mereka tidak mengalami moral disengagement sehingga memiliki kesadaran bahwa perilaku bullying menyalahi norma yang diakui. Hal ini dapat dijelaskan dengan mengutip Bandura (1997, seperti dikutip oleh Thornberg & Jungert, 2013) dalam kaitannya dengan the beliefs of personal efficacy (kepercayaan akan kemampuan diri) yang menyebutkan “Jika orang percaya bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk menghasilkan sesuatu, mereka tidak akan berusaha untuk mewujudkannya.” 

Outsider yakin akan ketidakmampuan dirinya dalam membela korban, maka ia memilih untuk tidak terlibat. Sedangkan, defender merupakan saksi yang aktif dalam membela korban. Defender memiliki kesadaran moral yang tinggi dan tidak mengalami moral disengagement.  Defender inilah saksi mata yang sangat dibutuhkan setiap korban dalam situasi perundungan. 

Hukum dan Pelaku Anak
Terkait dengan hukum di Indonesia, usia menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada proses peradilan pidana yang akan dijalani pelaku bullying. Ketika seorang pelaku kejahatan dikategorikan sebagai anak, peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi pidananya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 

Pasal 1 Ayat (3) beleid itu menyebutkan  “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”  Namun, perlu diingat bahwa bullying mengakibatkan berbagai dampak negatif pada korban sehingga menjadi tindak pidana. 

Chrysan et al. (2020) menyatakan bahwa dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tersebut, tindak bullying dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan, dengan demikian, sanksi secara tegas perlu diterapkan pada anak. Tujuannya tidak hanya untuk menimbulkan efek jera namun agar dapat memperbaiki perilaku anak mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. 

Terkait dengan undang-undang tersebut, salah satu tindakan yang dapat dikenakan sebagai hukuman ada pada Pasal 82 ayat (1) huruf e. Pasal ini menetapkan kewajiban bagi anak untuk mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan formal yang diberikan oleh pemerintah atau badan swasta.

Selain itu, Restorative Justice (RJ) juga dapat diambil sebagai alternatif hukum dalam penyelesaian perkara pidana anak. Fokus RJ adalah pada perbaikan kerusakan dan mengintegrasikan kembali pelaku pada lingkungan sosialnya (Duncan, 2011).  Proses penghukuman merupakan jalan terakhir yang diambil tanpa mengabaikan hak-hak anak. Pemenjaraan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. 

Lalu, jika kejahatan dikategorikan sebagai pelanggaran berat karena sudah membahayakan nyawa seseorang, apakah pelaku anak pantas menjalani proses peradilan pidana sebagai orang dewasa? 

Cohen (2016) menjelaskan bahwa di Amerika Serikat, hampir separuh negara bagian tidak memiliki usia minimum untuk mengadili seorang anak sebagai orang dewasa.  Di antara para pelaku anak, empat belas tahun merupakan batasan usia minimum yang paling umum.  Selain itu, banyak yurisdiksi secara otomatis memindahkan anak-anak ke sistem orang dewasa. Meskipun, disebutkan bahwa menuntut remaja di pengadilan pidana tidak mencegah pelanggaran melainkan meningkatkan residivisme.

Selain Amerika Serikat, India juga telah menetapkan kriteria tertentu dimana pelaku dapat menjalani peradilan sebagai pelaku dewasa. Pada Bagian 15 UU Peradilan Anak (Juvenile Justice) tahun 2015 (JJ Act, 2015), disebutkan bahwa remaja berusia antara 16-18 tahun dapat diadili sebagai orang dewasa, jika mereka dituduh melakukan kejahatan keji (heinous crime). “Kejahatan keji” tersebut didefinisikan sebagai “pelanggaran apa pun yang dapat dihukum dengan hukuman penjara lebih dari 7 tahun.”

 JJ Act, 2015 tersebut juga menetapkan bahwa Dewan Pengadilan Anak harus melakukan penilaian awal atas tiga faktor sebelum mengirim terdakwa ke pengadilan sebagai orang dewasa: 1) kemampuan anak untuk melakukan pembunuhan tersebut (mens rea dan kapasitas fisik); 2) kemampuan untuk memahami akibat dari pelanggaran yang dilakukan, dan; 3) keadaan di mana kejahatan itu dilakukan. 

Pencegahan Bullying Pada Pelaku
Sejatinya Bullying tidak hanya perlu diatasi (responsif),  namun juga dicegah (proaktif). Farrington (1978, 1993, seperti dikutip oleh Rahmawati, 2020) menyatakan bahwa bullying dapat dicegah dengan tiga metode, yaitu yang berfokus pada pelaku. Kedua, berfokus pada korban, dan terakhir adalah yang berfokus pada lingkungan (primer atau keluarga, sekunder atau sekolah, dan tersier atau lingkup sosial masyarakat luas). 

Metode pencegahan bagi pelaku adalah dengan meningkatkan empati para pelaku pada calon korbannya. Hal ini bisa dilakukan, antara lain, dengan mempertemukan pelaku dan korban (yang sudah diketahui menjadi target).  Jika bullying sudah terjadi, diskusi dapat dilakukan untuk memberikan semacam penebusan kepada korban, misalnya.

Dalam pencegahan yang berfokus pada pelaku, banyak strategi yang diusulkan untuk mengurangi bullying yang dapat diklasifikasikan di bawah peradilan pidana yang umum, yaitu penjeraan, retribusi, reformasi, inkapasitasi, kecaman publik (denunciation), dan ganti rugi (reparation).

Sebagai pertimbangan, Torres et al. (2021) menyebutkan bahwa beberapa penelitian telah mengeksplorasi hubungan antara intimidasi, agresi, dan perilaku antisosial. Studi yang dilakukannya telah mengkonfirmasi hubungan antara perilaku antisosial pada pelaku dan tindak bullying. Dalam hal ini, pelaku bullying secara jelas menampilkan ciri-ciri kepribadian agresif (Nocentini, et al., 2013, seperti dikutip oleh Torres, et al., 2021). 

Torres et al. melihat bahwa program pencegahan harus mengeksplorasi intervensi yang lebih komprehensif yang ditujukan untuk remaja, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang jenis agresi ini.

Terkait dengan hal ini, tes kejiwaan dapat dilakukan untuk melihat gangguan perilaku pada pelaku anak. Tes ini setidaknya dapat melihat kecenderungan pengulangan perilaku dan kemungkinan peningkatan intensitas pelanggaran.

Posisi AG di Mata Hukum
Jika dilakukan komparasi antara kronologi kasus yang disebutkan oleh pihak media, kepolisian, dan saksi kunci dengan kronologi dari pihak AG, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan. Namun, perbedaan itu justru menimbulkan beberapa pertanyaan baru yang memerlukan analisis tertentu untuk dapat dijawab. 

Dari hal itu bisa dilihat bahwa analisis dan penyelidikan yang lebih mendalam diperlukan untuk melihat mens rea atau sikap batin AG sebagai pelaku bullying di saat kejadian. Karena, dari kronologi tersebut, dan dari komparasi antara kronologi media, polisi, dan saksi kunci dengan kronologi pihak AG, penulis melihat bahwa posisinya dalam permasalahan ini menempatkannya bukan sekadar sebagai saksi, tetapi salah satu pelaku. 

Dalam melihat keberadaan pelaku yang terlibat dalam bullying pada David, dapat dilihat bahwa ketiga orang yang terlibat memiliki perannya masing-masing. Mario dapat dikategorikan sebagai stimulating victimizer. Ia mudah disulut dan merasa memiliki kekuatan untuk menekan korban yang dilihatnya sebagai mangsa yang lemah. 

Shane dapat dikategorikan sebagai provocateur karena ajakannya pada Mario untuk melakukan tindak kekerasan pada David. Dalam perannya sebagai saksi, Shane jelas merupakan pro-bully, yang memiliki kepekaan moral rendah dan mengalami pelepasan moral sehingga ikut bertindak tidak manusiawi dan melanggar moral.

Sedang kontribusi AG dapat berada di antara dua kategori, provocateur atau egoist inspirator. Jika ia menginisiasi pertemuan tersebut, mendorong dan mendukung keinginan Mario untuk menemui David, menjadi orang yang aktif (tanpa paksaan) dalam chat yang menjebak David, mengambil video dengan santai, tidak menunjukkan rasa bersalah, bahkan merokok (atau memang tertawa dalam video), maka ia dapat dikategorikan sebagai provocateur

Sebaliknya, jika ia memberi inspirasi bagi Mario untuk bertemu dengan David namun tidak terlibat aktif dalam rencana pertemuan dan penganiayaan, lalu melepaskan diri dari tanggungjawabnya sebagai kontributor, ia merupakan egoist inspirator

Dalam perannya sebagai bystander, jika dilihat dari kronologi media massa, dapat dilihat bahwa AG memiliki peran sebagai pro-bully. Ia bukanlah outsider yang menghindar, apalagi defender yang membela. 

Satu yang harus diingat,  tidak dapat dipungkiri, bahwa secara biologis dan kuantitatif (usia), AG  dikategorikan sebagai anak.  

Namun, jika David dan/atau keluarganya menolak RJ, apakah AG dapat dipidana sebagai orang dewasa? Sejak munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, belum ada peraturan lain yang menjelaskan bahwa anak dapat ditransfer dan dipidana sebagai orang dewasa seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan India. Maka, kemungkinan besar AG tetap menjalani hukuman sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, dan menjalani pelatihan formal dari pemerintah, seperti disebutkan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf e. Pelatihan ini sesuai dengan rekomendasi pencegahan dari sisi pelaku usulan Farrington.

Tentunya, penulis tidak memiliki kapasitas untuk menentukan kesalahan AG secara pasti. Penulis hanya dapat memberikan hasil pemikiran yang muncul dari berbagai pertanyaan. Penentuan akhir tentunya merupakan tanggungjawab dan kapabilitas sistem peradilan pidana. Diharapkan, adanya hasil akhir yang adil dan fair, dan dapat memberi manfaat yang nyata bagi semua pihak yang terlibat. 

Lantas,  untuk kasus-kasus tertentu seperti kasus semacam ini ke depan, perlukah dilakukan pemindahan/transfer dari pelaku anak kepada pelaku dewasa seperti di Amerika Serikat atau India? 

Menurut penulis, walau pun masih memerlukan proses yang panjang dan masukan baru dari berbagai studi terkait, sistem peradilan anak yang digunakan di berbagai negara maju atau sesama Asia dapat dipertimbangkan untuk memberi input positif bagi perkembangan hukum di Indonesia.     

 

Referensi 

 Andyna, R. G. (2023, Maret 10). Manipulatif! Terbongkar 3 Rayuan Mario Dandy kepada David Sebelum Insiden Penganiayaan. https://www.ayojakarta.com/news/767937758/manipulatif-terbongkar-3-rayuan-mario-dandy-kepada-david-sebelum-insiden-penganiayaan?page=2.

Bekiari, et al. (2017). Investigating Bullying Determinants and Typologies with Social Network Analysis. Journal of Computer and Communications, 5, 11-27. 

Chrysan, E. M. et al. (2020). Penerapan Sanksi Tindakan Anak Yang Melakukan Bullying Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Hukum Magnum Opus, 3(2), 162-172.

Cohen, A. O. et al. (2016). When Does A Juvenile Become An Adult? Implications For Law And Policy. Temple Law Review, 88(4), 769-788.

Corebima, Y. A. K. (2023, Februari 28). Momen AG Merokok Saat David Disiksa Dandy Sikap Tobat Sebelum Dianiaya hingga Koma. https://www.kompas.tv/article/386710/momen-ag-merokok-saat-david-disiksa-dandy-sikap-tobat-sebelum-dianiaya-hingga-koma.

Duncan, S. (2011). Restorative Justice and Bullying: A Missing Solution in the Anti-Bullying Laws. University of Louisville.

Fadhillah, M. F. (2023, Maret 11). Shane Lukas Beber Peran Agnes Gracia, Ternyata Ikut Lakukan Hal Ini Pas David Dianiaya Mario Dandy, Nggak Nyangka! https://populis.id/read50908/shane-lukas-beber-peran-agnes-gracia-ternyata-ikut-lakukan-hal-ini-pas-david-dianiaya-mario-dandy-nggak-nyangka.

Junji, S. (2023, Maret 7). Kondisi Keluarga AG Terungkap! Ayah Sakit Stroke dan Ibu Idap Kanker Paru, Warganet Minta Agnes Perbanyak Ibadah: Kok Malah Cari Masalah. https://metro.suara.com/read/2023/03/07/094429/kondisi-keluarga-ag-terungkap-ayah-sakit-stroke-dan-ibu-idap-kanker-paru-warganet-minta-agnes-perbanyak-ibadah-kok-malah-cari-masalah.

Karmacari, S. (2023, Maret 10). Saksi Kunci N Trauma Hebat Menyaksikan Bukti Aniaya Atas David Latumahina, Tersangka Tidak Merasakan Apa-apa. https://metro.suara.com/read/2023/03/10/115243/saksi-kunci-n-trauma-hebat-menyaksikan-bukti-aniaya-atas-david-latumahina-tersangka-tidak-merasakan-apa-apa.

Lembaran Negara Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39061/uu-no-11-tahun-2012.

Mathur, A. (2022, Juli 17). Why Supreme Court called for guidelines to put juveniles under trial as adults. https://www.indiatoday.in/law/story/why-supreme-court-called-for-guidelines-to-put-juveniles-under-trial-as-adults-1976670-2022-07-17.

Meyrina, S. A. (2017). Restorative Justice Dalam Peradilan Anak Berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2012. Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, 17(1), 92-107. ISSN 1410-5632.

Muqorobin, I. (2023, Maret 17). Kejati DKI: Perdamaian Mario Dandy dan Shane Lukas Tertutup, Agnes Tergantung David Ozora. https://www.harianterbit.com/megapolitan/2748043137/kejati-dki-perdamaian-mario-dandy-dan-shane-lukas-tertutup-agnes-tergantung-david-ozora.

Najwa Shihab. (2023). Kronologi Kasus Penganiayaan D Versi Keluarga AGH | Mata Najwa. https://youtu.be/coGxRyVUjj0.

Nofasari, N. (2023, Februari 28). Kronologi Agnes vs Polisi, Kasus Penganiayaan yang Dilakukan Mario Dandy Diduga Memiliki Kenyataan. https://populis.id/read50848/kronologi-agnes-vs-polisi-kasus-penganiayaan-yang-dilakukan-mario-dandy-diduga-memiliki-kenyataan?page=2.

Official iNews. (2023). Kronologi Penganiayaan David Ozora Versi Saksi Kunci Kejadian #ThePrimeShowWithAiman 08/03. https://youtu.be/L_6C_ZiD7dM.

Pemerintah Pusat. (2014). Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38701/uu-no-31-tahun-2014.

Pramesti, T. J. A. (2022, Januari 7). Penerapan Pidana Penjara dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. https://www.hukumonline.com/klinik/a/penerapan-pidana-penjara-dalam-sistem-peradilan-pidana-anak-lt4fe2cc383856d#_ftn1.

Rahmawati, E. (2020). Pengendalian Sosial Sekolah bagi Masalah Bullying dan Penyalahgunaan Narkoba pada Pelajar di Indonesia. Universitas Indonesia.

Siregar, R. R. & Ayriza, Y. (2020). Moral Disengagement Sebagai Prediktor Terhadap Perilaku Agresif Remaja. Jurnal Ecopsy, 7(1), 7-13. http://dx.doi.org/ 10.20527/ecopsy.v7i1.6068

Taharani, T. (2023, Februari 26). Bela Kliennya, Pengacara Agnes Gracia Beberkan Fakta Sesungguhnya, Mangatta: Sudah 2-3 Kali Mengingatkan... https://postingnews.id/read/12473/bela-kliennya-pengacara-agnes-gracia-beberkan-fakta-sesungguhnya-mangatta-sudah-2-3-kali-mengingatkan/15.

Thornberg, R. & Jungert, T. (2013). Bystander behavior in bullying situations: basic moral sensitivity, moral disengagement and defender self-efficacy.  Journal of Adolescence, 3(36), 475-483.

Tim JACX. (2023, Maret 10). Hoaks! Video orang tua AG bersujud agar dibebaskan. https://www.antaranews.com/berita/3434838/hoaks-video-orang-tua-ag-bersujud-agar-dibebaskan.

Torres, J. J. V., et al. (2021). Cyberbullying, bullying and antisocial behavior among chilean adolescents. Tesis Psicológica, 16(2), 148-171. https://doi.org/10.37511/tesis.v16n2a8.

Wolke, D. & Lereya, S. T. (2015). Long-term effects of bullying. Arch Dis Child,100, 879–885. DOI:10.1136/archdischild-2014-306667.

Zagoto, N. (2023, Maret 14). LPSK Tolak Permohonan Perlindungan Bagi AG. https://validnews.id/nasional/lpsk-tolak-permohonan-perlindungan-bagi-ag.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar