c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

OPINI

27 Januari 2022

16:45 WIB

Menyikapi Dampak E-commerce Terhadap Lingkungan

Dampak serius aktivitas belanja online tampak belum cukup disadari. Pun belum ada langkah-langkah serius dan sistematis untuk mengatasinya

Penulis: Aloysius Gunadi Brata,

Editor: Faisal Rachman

Menyikapi Dampak <i>E-commerce</i> Terhadap Lingkungan
Menyikapi Dampak <i>E-commerce</i> Terhadap Lingkungan
Ilustrasi Belanja Online. Envato/dok

E-commerce jadi keniscayaan saat ini. Keberadaannya membuat proses berniaga jadi lebih mudah. Pada era pandemi, e-commerce bahkan sangat membantu pengendalian penyebaran covid-19, karena penjual dan pembeli tak lagi harus bertemu saat bertransaksi, sudah dimediasi secara online oleh banyak platform e-commerce

Aktivitas belanja online dalam model bisnis e-commerce sejatinya sudah terjadi sebelum pandemi melanda dunia. Namun, harus diakui, pandemi cukup signifikan mengakselerasi e-commerce berkembang dengan pesat. 

Di satu sisi ini sebagai implikasi dari pembatasan-pembatasan aktivitas yang diterapkan oleh pemerintah, dalam upaya mengendalikan penyebaran virus. Di sisi lain, ini adalah buah dari salah satu pilihan logis untuk menjaga diri maupun komunitas dari paparan virus. Tak heran, seiring dengan makin luasnya jangkauan dan penggunaan internet, pola belanja pun makin bergeser ke belanja online.

Pertumbuhan Pesat
Satu survei yang dilakukan oleh UNCTAD dan Observatory NetComm Suisse tahun 2020 di sembilan negara menemukan, konsumen dari emerging economies seperti China, Turki, dan Korea Selatan, mengaku akan lebih sering belanja online kendati pun pandemi telah berlalu. Di negara-negara maju, peningkatan ini tidaklah terlalu besar, tentu karena masyarakatnya sudah lebih dahulu terbiasa dengan belanja online.

Terlepas dari perbedaan itu, kondisi tersebut menunjukkan e-commerce yang tumbuh pesat, punya potensi tumbuh makin besar di tahun-tahun berikutnya. Di ASEAN, beberapa studi mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas e-commerce baik di masa pandemi maupun pasca-pandemi.

Ada keyakinan, kenaikan belanja online selama pandemi akan terus berlanjut, sekalipun pandemi telah usai. Data yang ada menunjukkan barang-barang elektronik dan pakaian, memiliki kontribusi lebih dari setengah gross merchandise value (GMV) dari perdagangan melalui jaringan internet di tahun 2020. Sementara itu, makanan dan bahan makanan meningkat dari 4% pada 2015 menjadi 11% pada 2020. 

Indonesia sendiri, diproyeksikan akan menjadi pasar terbesar e-commerce di ASEAN dengan nilai sekitar US$124 miliar pada 2025 mendatang. Bahkan, Indonesia disebutkan berpotensi menguasi 40% pasar ekonomi digital ASEAN yang diprediksi mencapai US$200 miliar pada 2025. 

Artinya, bila total nilai transaksi e-commerce di Indonesia pada 2020 mencapai Rp266,2 triliun, diperkirakan angka ini naik menjadi Rp354,3 triliun pada 2021, atau meningkat 33,11%. Tidak heran bila banyak yang berharap aktivitas di ekonomi digital tersebut akan mempunyai peran besar dalam perekonomian nasional pada masa depan.

Dampak Lingkungan
Sayangnya, kondisi ini tak lepas dari konsekuensi. Ada implikasi lingkungan dari melonjaknya kinerja e-commerce, lebih-lebih di saat pandemi. Dampaknya pun bukan kaleng-kaleng. Sejumlah laporan bahkan mengkhawatirkan hal tersebut, terlebih belum terlihat ada langkah-langkah serius dan sistematis untuk mengatasinya.

Semula, ada keyakinan, berdasarkan sejumlah studi, belanja online menghasilkan lebih sedikit emisi karbon dioksida ketimbang belanja secara tradisional. Retail online raksasa Amazon bahkan mengklaim, satu aktivitas pengantaran oleh satu kendaraan mampu mengambil alih aktivitas 100 kendaraan, sehingga total emisi karbon pun menjadi lebih kecil. Apalagi, kendaraan-kendaraan pribadi tidak banyak dipergunakan untuk pergi berbelanja.

Oleh sebab itu, beberapa waktu lalu, belanja online diklaim lebih mendukung upaya-upaya mencapai dan merawat sustainability. Sekilas tampaknya begitu. Padahal, tidak sesederhana itu juga. 

Satu laporan di Politico edisi November tahun lalu yang ditulis oleh Catherine Broudreu, justru memaparkan betapa seriusnya dampak negatif dari meroketnya aktivitas belanja online terhadap kualitas lingkungan.

Dari 2019 ke 2020, misalnya, penjualan Amazon Amerika tercatat meroket 36%. Namun, emisi karbon ternyata juga meningkat sebesar 19%. Pemicu utama peningkatan emisi tentu saja seperti penggunaan bahan bakar fosil yang makin banyak baik untuk kegiatan transportasi, bangunan, penyimpanan data. 

Broudreu menyebutkan, temuan World Economic Forum juga bisa jadi rujukan. Temuan tersebut menyatakan, peningkatan permintaan untuk pengiriman barang, justru dapat memacu emisi dan kemacetan lalu lintas lebih dari 30% di 100 kota utama di dunia pada akhir dekade ini. 

Indikasi awal untuk hal ini kiranya makin mudah kita temukan, seperti dari antrean panjang kurir pengantar makanan di sejumlah gerai makanan dan di jalan-jalan. Fenomena ini sangat tampak di perkotaan. Karena itu, menjadi wajar bahwa implikasi lingkungan dari belanja online seperti kemacetan, akan sangat dirasakan di wilayah perkotaan.

Di luar urusan emisi karbon dari aktivitas pengiriman dan pengantaran barang, problem lingkungan dari belanja online juga muncul dari makin banyaknya penggunaan kotak-kotak kardus, bungkus plastik dan bentuk kemasan lainnya. Hampir bisa dipastikan tumpukan sampah kardus dan plastik kemasan di rumah tangga perkotaan semakin banyak ketika makin sering melakukan belanja online.

Tentu daftar dampak lingkungan ini masih bisa diperpanjang. Tetapi yang kiranya perlu kita perhatikan adalah, bagaimana mengantisipasi dan mengatasinya. Apalagi, belanja online dan aktivitas e-commerce secara keseluruhan, termasuk di Indonesia diperkirakan bakal makin besar di tahun-tahun mendatang.

Perlu Tindakan
Setidaknya, terdapat tiga pihak yang saling terkait dalam urusan ini, yakni masyarakat konsumen, penjual dan produsen, serta pemerintah. Di luar itu tentu ada kelompok-kelompok yang juga penting, seperti lembaga-lembaga nonpemerintah yang selama ini bergelut di seputar isu lingkungan dan persampahan. 

Konsumen sendiri, tampaknya memang masih minim kesadaran akan dampak-dampak negatif dari belanja online terhadap lingkungan. Satu studi dari LIPI memberikan indikasi, tidak banyak orang di Jakarta yang menyadari, peningkatan aktivitas belanja online telah menambah limbah plastik. 

Kalaupun kesadaran itu ada, hal tersebut masih belum disertai tindakan lanjutan seperti memilah-milah sampah tersebut untuk proses daur ulang. Ini berarti perlu ada upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang limbah dari belanja online. Termasuk cara-cara sistematis mengatasinya.

Dari sisi penjual atau produsen, setidaknya perlu ada aksi pengurangan plastik untuk mengemas barang-barang atau makanan yang dikirimkan. Pengaturan jenis dan penggunaan kendaraan barangkali dapat juga dilakukan sedemikian rupa, supaya tidak kian menambah emisi karbon.

Tidak lepas pula tentunya dukungan regulasi yang lebih ketat. Salah satunya dengan menempatkan pentingnya menjaga kualitas lingkungan dalam seluruh tahapan yang ada dalam belanja online. Hal ini tentu tidak hanya ditujukan kepada masyarakat selaku konsumen, tetapi juga kepada penjual dan produsen. 

Aturan sistematis sendiri bisa dilakukan pemerintah, sampai dalam hal mengatur dan mendukung aktivitas-aktivitas yang selama ini sudah mencoba berperan serta untuk mengatasi problem limbah. Sebagai contoh, pemerintah saat ini bisa saja menggunakan sistem jemput bola untuk membeli limbah kertas, plastik, dan lainnya sampai ke rumah-rumah. 

Semua ini tentu tidaklah mudah. Akan tetapi, dampak e-commerce ke lingkungan sudah sangat jelas, karena itu, harus ada langkah-langkah serius untuk meminimalkan dan mengatasi dampak-dampak negatif tersebut. Langkah-langkah tersebut, juga hanya akan berdaya guna bila dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama oleh seluruh pihak. Khususnya yang ada di dalam rangkaian aktivitas belanja online dari hulu sampai hilir.

*) Penulis merupakan pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan aktif di MINDSET Institute.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar