c

Selamat

Jumat, 3 Mei 2024

OPINI

29 Juni 2021

18:30 WIB

Kisah Ragam Rasa Nusantara

Asin, manis, gurih, pedas, bermacam rasa masakan Indonesia. Yang mana favoritmu?

Penulis: Novelia

Editor: Rikando Somba

Kisah Ragam Rasa Nusantara
Kisah Ragam Rasa Nusantara
Rempah-rempah, bagian tumbuhan yang beraroma atau berasa kuat, sebagai pengawet atau perisa masakan. Shutterstock/dok

Beberapa hari terakhir ini kasus covid-19 di Indonesia kembali mencetak rekor baru dalam penambahan kasus. Dalam sehari saja, jumlah orang yang terkonfirmasi positif bisa mencapai sekitar 20 ribu orang. Ada yang terinfeksi tanpa gejala. Ada juga yang merasakan demam, batuk, hingga anosmia.

Anosmia, yang merupakan gejala kehilangan kemampuan penciuman yang banyak dirasakan pasien covid selama masa inkubasi, tentunya sangat mempersulit proses penyembuhan. Bagaimana tidak, dengan kehilangan indra penciuman, makanan tak lagi bisa dinikmati secara utuh. Apalagi makanan Indonesia yang tak hanya lezat di lidah, tapi juga punya harum yang menggoda hidung.

Nah, bicara soal makanan Indonesia, kita memang punya variasi yang membedakan dengan kuliner negara lain. Kalau Italia terkenal dengan pizza dan pasta, atau Jepang dengan katsu dan sushinya, Indonesia tidak dapat menunjuk salah satu makanan khas sebagai representasinya. Kenapa? Karena begitu beragamnya rasa makanan di setiap daerah. Dari rendang di Sumatra, kuliner manis di Jawa, hingga berbagai hidangan kaya rempah yang tersebar di berbagai wilayah lainnya. 

Pertanyaannya, bagaimana bisa rasa kuliner kita begitu beragam ya?

Dari Jamu Hingga Bumbu
Kalau kita mengingat pelajaran sejarah di sekolah, dan ditanya alasan mengapa para penjajah datang ke Nusantara, ada satu tujuan utama; rempah-rempah. Yap, rempah-rempah memang sudah jadi idaman banyak kelompok masyarakat di berbagai penjuru dunia. 

Tapi kepopulerannya tidak bermula pada masa penjajahan, melainkan sejak zaman nenek moyang jauh sebelum itu. Ketika negeri kita masih terdiri dari meragam kerajaan, saat itu lah rempah telah mulai digandrungi. Tapi bukan sebagai perasa makanan, melainkan sebagai  bahan pembuatan jamu. Setidaknya hal inilah yang ditunjukkan sejumlah relief di Candi Borobudur yang menggambarkan kegiatan masyarakat sedang meracik obat berbahan herbal tersebut (Seta, 2020). 

Sejumlah literatur menuliskan bahwa banyak jenis rempah yang telah digunakan di seluruh dunia, seperti di dataran Eropa hingga China. Namun dalam referensi-referensi awal terkait, disebutkan bahwa bahan-bahan tersebut didapatkan dari Jawa dan Sumatra. Hal tersebut bertentangan dengan apa para ahli katakan, bahwa Maluku merupakan origin dari rempah-rempah (Pattikayhatu, 2012). Usut punya usut, rempah-rempah yang dipanen di tanah Maluku dibawa terlebih dahulu ke pelabuhan-pelabuhan di bagian barat Indonesia oleh pelaut dari Jawa dan Maluku, terutama di selat Malaka. Barulah kemudian diambil oleh pelaut asing. 

Kenapa rempah-rempah tidak diambil langsung dari Maluku? Pada masa tersebut, di sebelah barat Malaka telah muncul Kerajaan Sriwijaya yang lebih dahulu dikenal dunia. Makanya, hasil tanah dari berbagai tempat di sekitar pun akhirnya diperdagangkan di pasar internasional lewat jalur yang terdekat dengan kerajaan ini, terutama di Pelabuhan Malaka. Tidak terkecuali dengan pala, cengkeh, dan kenari yang merupakan tanaman asli Maluku dan Maluku Utara.

Akulturasi Rasa di Sumatra
Ramainya perdagangan rempah di pelabuhan-pelabuhan di barat Indonesia tak cuma dinikmati para pelaut asing sebagai pembeli. Masyarakat di tanah Sumatra pun akhirnya mulai terbiasa dengan hasil tanah tersebut. Mereka memadupadankannya sebagai bahan baku makanan sehari-hari. Dari Aceh, Medan, hingga Padang, mulau mengolah rempah, meraciknya, dan menciptakan sajian-sajian khas daerah masing-masing.

Aceh adalah salah satu contohnya. Pada tahun 1511, penaklukan Malaka oleh Portugis menjadikan pelabuhan ini sebagai pelabuhan baru buat pedagang muslim. Jual beli hasil tanah dari berbagai tempat di dunia pun terjadi di sini, termasuk rempah-rempah dari Maluku. Tak heran kalau masakan-masakan di daerah istimewa ini selalu kaya bumbu walaupun tak ada rempah yang tumbuh di sana.

Beda lagi dengan Medan. Bagian utara Sumatra yang satu ini merupakan dataran yang subur buat menumbuhkan tanaman andaliman. Buat yang belum tahu, tanaman inilah yang kemudian menjelma menjadi bumbu khas bagi masyarakat Suku Batak. Nah, karena banyaknya pedagang China yang juga singgah di wilayah ini, tanaman ini jadi punya nama lain, yaitu Sichuan pepper.

Sementara itu, Padang punya cerita menarik soal sebuah masakan rendang yang kenikmatannya sudah mendunia. Asal muasalnya tak lepas dari adat orang Minangkabau yang suka merantau. Ya, merantau memang jadi sebuah kebiasaan yang lekat dengan masyarakat daerah tersebut. Salah satu faktor pendorong besarnya adalah budaya matrilineal Minangkabau (Darmayanti, Hanifah, Saputra, & Ramadhanty, 2017) yang menjadikan perempuan sebagai pihak penerima warisan. Kondisi ini membuat kelompok laki-laki butuh mencari pengakuan diri, baik dalam hal finansial maupun pendidikan. Merantau untuk menyongsong masa depan yang lebih baik di tanah orang akhirnya dipilih sebagai solusi.


Rendang atau randang adalah masakan daging asli Indonesia yang berasal dari Minangkabau. Sumber foto: Shutterstock/dok 


Lalu, apa hubungannya dengan rendang? Konon, rendang menjadi makanan yang tepat sebagai bekal ketika seorang asal Minangkabau merantau dan berlayar ke luar daerahnya. 

Perjalanan melewati sungai tentunya bakal makan waktu cukup lama. Nah, sifat rendang kering yang sangat awet dan bisa disimpan dalam kurun waktu mingguan hingga bulanan, membuatnya cocok sebagai teman perjalanan (Asnan dalam Darmayanti, Hanifah, Saputra, & Ramadhanty, 2017).

Perihal ide pembuatan rendang sendiri sebenarnya terinspirasi dari kari, makanan khas orang India, Para pedagang India datang ke Minangkabau dan mengenalkan penggunaan santan sebagai salah satu bahan pembuatan kari. Akhirnya, melalui berbagai inovasi dan penyesuaian santan dengan cita rasa asli nusantara, rendang pun tercipta. Kandungan rempah yang bisa mengusir bakteri penyebab makanan busuk, akhirnya membuat masakan tahan lama dan cocok bagi budaya merantau orang Minangkabau.

Manis dari Pahitnya Penjajahan
Berpindah ke Pulau Jawa, ada hal menarik yang tidak bisa kita lewatkan. Kalau Kamu pernah mampir di Yogyakarta atau Solo dan mencicipi beragam kulinernya, pastinya ada satu hal yang tak pernah luput. Ya, rasa manis! Bahkan ketika kamu hanya memesan minuman teh, sang penjual biasanya bakal memberimu segelas teh manis. Tak cuma minuman, makanan dan cemilan di sana pun selalu lekat dengan gula.

Sejarah rasa manis ini berawal pada era kolonialisme Belanda. Kala itu Belanda baru saja menerima dua perlawanan sekaligus dari rakyat. Ada Perang Diponegoro dan Perang Padri. Meski berhasil menundukkan banyak pejuang pada akhir Perang Diponegoro, meladeni angkat senjata bertubi-tubi seperti ini membuat kantong kas Belanda terkuras. Himpitan inilah yang kemudian membuat salah satu gubernur jenderal menjabat, Van den Boosch, mengusulkan sistem tanam paksa diterapkan di tanah Jawa pada 1931, setahun usai Perang Diponegoro.

Dalam sistem tanam paksa, rakyat dipaksa menyingkirkan lahan padi mereka dan menggantinya dengan berbagai tanaman penghasil komoditas yang laku di pasar Eropa, seperti kopi, teh, dan gula. Masyarakat Jawa Barat diperintahkan untuk menanam kopi, sementara Jawa Tengah diwajibkan menggarap tebu. 

Kira-kira selama 9 tahun lamanya, 70% wilayah pertanian disulap menjadi ladang tebu (Kunto, 1986). Rakyat Jawa Tengah yang biasanya menjadikan nasi sebagai makanan pokok harus menderita kelaparan. Karena hanya tebu yang tersisa, tanaman ini pun diolah untuk bertahan hidup dengan memakai air perasannya untuk memasak setiap jenis makanan. 

Adaptasi terhadap tanam paksa yang hanya menyisakan tebu untuk rakyat akhirnya malah membentuk kebiasaan. Pasalnya, setelah sistem ini tak lagi dilakukan oleh para penjajah pun, produksi tebu tetap tidak berhenti. Pabrik dan ladang tebu terus dijalankan oleh pihak swasta Belanda dan para sultan di Solo dan Yogyakarta. Tak heran kalau masyarakat Jawa Tengah sangat akrab dengan rasa manis bahkan hingga kini.

Akhirnya, nusantara memang punya segudang rasa. Selain rempah-rempah dari Maluku, berbagai makanan khas dari Sumatra, dan Jawa yang punya keintiman dengan rasa manis, ada rasa-rasa lain yang juga jadi ciri khas negeri kita. Sebut saja rasa pedas yang bermula ketika orang-orang Spanyol dan Portugis singgah di Sulawesi Tengah. Cabai yang dibawa oleh Christopher Columbus dari Amerika, mereka bawa ke Minahasa. Tak bisa ditinggalkan juga Suku Dayak yang sudah terbiasa tinggal di dalam hutan. Mereka tentunya sudah memiliki cara tersendiri dalam mengolah makanan yang menjadikannya salah satu kekhasan rasa kuliner kita. Lalu, dari bermacam-macamnya rasa dalam masakan Indonesia, yang mana nih yang paling Kamu suka?

 

Referensi

Darmayanti, N., Hanifah, H., Saputra, R. A., & Ramadhanty, G. S. (2017). Relevansi Masakan Rendang dengan Filosofi Merantau Orang Minangkabau. Metahumaniora Vol. 7 No. 1, 119-127.

Kunto, H. (1986). Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: Granesia.

Pattikayhatu, J. A. (2012). Bandar Niaga di Perairan Maluku dan Perdagangan Rempah-Rempah. Kapata Arkeologi Vol 8 No. 1, 1-8.

Seta, A. K. (2020). Jalur Rempah Sebagai Warisan Budaya Dunia: Peluang, Tantangan, dan Pemanfaatan. Belitung: Kemendikbud RI.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar