03 November 2025
15:30 WIB
Kasus Pagar Laut Dan Peliknya Kehadiran Negara
Konflik pemasangan pagar laut mencerminkan permasalahan yang terjadi bila izin pemanfaatan ruang laut diberikan kepada pihak tertentu tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat pesisir.
Penulis: Subarudi
Editor: Rikando Somba
Nelayan melintas di samping pagar laut saat aksi protes di pesisir Tarumajaya, Desa Segarajaya, Kabupaten Bekasi, Selasa (4/2/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU
Kasus pagar laut sempat viral di beragam platform media sosial hingga media massa di bulan Januari-Februari 2025. Dari penelusuran pemberitaan, tercatat bahwa berita terakhir yang muncul soal isu ini ada pada sebulan lalu (10/08/2025). Pernyataan Prof. Mahfud MD bahwa perkembangan kasus pagar laut, sekarang kasusnya hilang, adalah berita terkini soal pagar laut.
Informasi terbaru diperoleh dari Focus Group Discussion (FGD) Penelitian:“Partisipasi Publik Berbasis Media Digital Pada Keberlanjutan Pisisir Pantai Tanggerang”yang diselenggarakan oleh Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran pada hari Sabtu, 6 September 2025 (UPN Veteran, 2025). Kegiatan FGD tersebut dihadiri sekitar 15 orang dari perwakilan peneliti, nelayan, pengelola media, konsultan media, pengamat politik dan juga pegiat lingkungan. Dari hasil diskusi ternyata kasus pagar laut walapun sudah tidak muncul dipermukaan, tetapi masih menyisakan derita berkepanjangan.
Sisa-sisa bambu masih menancap masih menjadi hambatan bagi nelayan. Baling-baling kapal, jaring ikan dan bubu kepiting mereka rusak tersangkut potongan bambu itu. Akibatnya, kerugian nelayan makin bertambah dibandingkan sebelum pagar bambu dicabut.
Pagar Laut Hilang, Timbunan Tanah Muncul
Isu “pagar laut misterius” mencuat pada awal 2025. Keberadaan pagar laut sepanjang 30 km muncul secara misterius di laut lepas pantai utara Tangerang, dari Kronjo hingga Kosambi, memicu perdebatan publik (Priambodo, 2025). Informasi terbaru yang didapatkan dari perwakilan nelayan, menyatakan bahwa setelah pagar laut hilang, mereka sudah bisa melaut secara normal. Tetapi, setelahnya kini juga muncul kegiatan penimbunan tanah di bibir pantai yang masif dan intensif.
Fenomena kedua ini mengingatkan adanya beragam kecurigaan bahwa pagar laut itu indikasi awal akan terjadinya reklamasi di wilayah terpagar bambu. Apalagi, ada muncul pemberitaan soal ratusan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sudah diterbitkan terlebih dahulu di daerah yang bisa disebut masih laut..
Konflik pemasangan pagar laut mencerminkan permasalahan yang terjadi, manakala izin pemanfaatan ruang laut diberikan kepada pihak tertentu, seperti pengembang atau perusahaan swasta, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap nelayan dan masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut (Akbar et al., 2024). Berkaitan dengan penerbitan sertifikat di PIK 2, Akbar et al. (2024) menyatakan bahwa penerbitan sertifikat hak atas tanah di laut batal demi hukum karena adanya konflik kewenangan dalam penerbitan sertifikatnya yang disebabkan oleh tumpang tindih peraturan perundang-undangan, ketidakjelasan batasan wilayah, perbedaan interpretasi, dan kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintahan terkait.
Disamping itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), tanggal 2 Januari 2025 telah menegaskan bahwa tata ruang proyek PIK 2 bermasalah dan tidak masuk sebagai proyek strategis negara (PSN) Pariwisata. Sebaliknya, menurut Cahyati et al. (2025) pagar laut di PIK 2 telah menjadi isu kompleks yang melibatkan pelanggaran hukum tata ruang, dampak lingkungan, dan hak masyarakat pesisir.
Di sisi lain, para mantan Menteri ATR/BPN saling lempar tanggung jawab terkait soal pemasangan pagar laut. Namun, kegiatan penimbunan tanah di pantai untuk reklamasi masih berlangsung. Ini indikator nyata bahwa Kementerian ATR/BPN dan juga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak bisa menghentikan kegiatan reklamasi tersebut walaupun berbagai berbagai peraturan sudah di langgar dan masuk perbuatan pidana seperti UU No. 27 Tahun 2007 Jo UU No. 1 Tahun 2014: Perubahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Hal ini juga terkait dengan Pasal 31 (Pemda menetapkan batas sepadan Pantai sesuai karakteristiknya. Sepadan Pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat) dan UU No. 26 Tahun 2007: Penataan Ruang (Penjelasan Pasal 4: Kawasan sempadan Pantai: salah satu dari kawasan perlindungan setempat. Kawasan Pantai berhutan bakau (mangrove) merupakan salah dari kawasan suaka alam dan cagar budaya). Hal ini yang mendorong Lembaga Pengawasan, Pengawalan, Penegakkan Hukum Indonesia (LP3HI) membawa kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terlapor Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Pengadilan Negeri Jakpus, 2025).
Persoalan yang muncul adalah akibat timbunan tersebut, pada akhirnya air limpasannya menggerus tambak dan ladang pertanian warga. Akibatnya warga kehilangan mata pencaharian utamanya. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli Oceonografi dari Universitas Diponegoro, Semarang menjelaskan bahwa jika ada pengurugan Pantai 1 meter saja, maka kekuatan ombak akan berlipat ganda menjadi 9 kali lipat, sehingga abrasi pantai menjadi hebat dan habis tergerus kekuatan ombak tersebut di sebelah lokasi reklamasi. Contohnya, Kabupaten Kendal yang bersebelahan dengan kegiatan reklamasi di Kota Semarang membawa dampak pada hampir seluruh pantai Kabupaten Kendal mengalami abrasi yang cukup parah, yaitu seluas 799 ha selama periode 2017-2021 (Suwarji et al., 2024).
Jadi, itulah dampak yang terjadi ketika bibir pantai mulai dilakukan pengurugan, sehingga tambak dan lahan pertanian masyarakat di Pulau Cangkir mulai tergerus dan tak bisa dimanfaatkan lagi.
Perkembangan Kasus Hukum
Sementara, terkait kasus hukum, awalnya pihak kepolisan menyatakan belum menemukan adanya unsur pidana pagat laut. Padahal, dari perspektif hukum, pagar laut ini melanggar beberapa undang-undang nasional dan hukum internasional UNCLOS (Amalia et al., 2025). Proses pemberkasannya juga sempat bolak-balik antara Instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
Hal ini akibat perbedaan pandangan antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polri dalam penegakan hukum kasus pagar laut yang sempat menjadi sorotan publik. Kejagung meyakini kasus penerbitan Sertifikat HGB pagar laut di wilayah pesisir Tanggerang merupakan kasus tindak pidana korupsi. Namun, Polri berpandangan lain kalau kasus tersebut merupakan pemalsuan dokumen (Wijaya, 2025). Kasus ini bergulir menjadi perkara hukum setelah Presiden Prabowo Subianto memerintahkan pencabutan patok bambu yang memagari perairan di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten.
Dalam perkembangannya, akhirnya kasus di Tangerang ini masuk ke persidangan. Empat orang menjadi terdakwa. Mereka adalah mantan Kades Kohod Arsin bin Asip, bekas Sekdes Ujang Karta, Septian Prasetyo dan Candra Eka Agung Wahyudi. Persidangan para terdakwa mulai digelar pada Selasa, 30 September 2025 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Serang. Jaksa mendakwa mereka berkomplot merekayasa penerbitan dokumen sertifikat lahan di atas wilayah perairan laut.
Dalam sidang perdana kasus pagar laut Tangerang di Pengadilan Tipikor PN Serang pada Selasa, 30 September 2025, ada terungkap sejumlah nama disebut dalam dakwaan jaksa.
Di sisi lain, para nelayan yang berjumlah sekitar 3.888 kepala keluarga memang sekarang ini mendapatkan akses ke laut, namun masih menghadapi hambatan karena ada tersisa (40%) bekas pencabutan pagar yang tidak tuntas di dasar laut yang seringkali merusak baling-baling kapal, jejaring ikan dan bubu kepiting mereka. Walaupun pemakaian BBM tidak bertambah, tetapi kerusakan peralatan nelayan tersebut malah bertambah besar kerugiannya. Hal sesuai dengan hasil penelitian Amalia et al. (2025) yang menemukan bahwa keberadaan pagar laut ini mencegah nelayan mengakses wilayah tangkap mereka, sehingga menyebabkan jumlah hasil tangkapan menurun, biaya operasional meningkat, dan kerusakan kapal semakin sering terjadi.
Pendapatan para petambak dan pemilik wisata juga turun drastis paska pengurugan pantai sehingga berdampak pada penghidupan dan kehidupan mereka sehari-hari untuk keperluan makan, uang transport dan jajan sekolah anak. Di saat sama, desa mereka belum tersebut Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dari hasil diskusi itu sendiri, muncul kesimpulan bahwa institusi negara tidak hadir di dalam kasus pagar laut ini. Ini mendasari adanya pembakaran pagar laut oleh warga, agar menarik perhatian bagi semua pihak. Oleh karenanya, ada empat langkah penting yang harus dilakukan, terkait kasus ini dan mitigasi hal serupa ke depannya.
Pertama, presiden membentuk Satgas Penertiban Kawasan Pesisir yang hampir sama dengan tugas pokok Satgas PKH, yaitu untuk penertiban pelanggaran kawasan pesisiri seperti perambahan dan penggunaan kawasan pesisir dan laut tidak sesuai izin. Hal ini menertibkan sertifikat HGB dan SHM yang terbit di sekitar perairan pantai dan laut
Kedua, Kementerian ATR/BPN harus berani mencabut semua sertifikat HGB yang terbit di tengah laut. Apalagi, hasil penelitian Dr. Agustan, Ketum Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan peneliti di BRIN yang menunjukkan analisis citra satelit dan peta yang diterbitkan selama 50 th terakhir, ditemukan bahwa wilayah tersebut tidak mengalami pengikisan pantai (abrasi), tetapi mengalami sedimentasi, seperti dipapar saat wawancara di TVOne News pada 26 Januari 2025. KPK juga selayaknya, tidak hanya mensupervisi kasus hukumnya. Perlu juga, Komisi anti rasuah itu mengambil alih kasus agar tuntas hingga ke aktor intelektualnya.
Keempat, hal terpenting dari kasus ini adalah KKP harus bertindak cepat untuk menghentikan proses pengurugan pantai sebelum kasus hukumnya selesai. Dengan demikian, Jika empat langkah tersebut di atas dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka tragedi kemanusian di pesisir pantai Tanggerang ini dapat diselesaikan dengan tuntas yang setuntas-tuntasnya.
*Penulis merupakan Peneliti Utama bidang kebijakan pengelolaan SDA pada Pusat Riset Kependudukan BRIN
Referensi: