05 Agustus 2021
15:00 WIB
Penulis: Novelia
Editor: Rikando Somba
Beberapa minggu belakangan banyak meme berkeliaran di dunia maya menggambarkan parodi para pengunjung warteg alias Warung Tegal sedang panik dan terburu memesan dan menghabiskan makanannya. Bagaimana tidak buru-buru, waktu makan mereka kini diatur menjadi selama 20 menit.
Yap, 20 menit saja.
Peraturan minimalisasi waktu makan dengan menetapkan durasi tersebut merupakan upaya pemerintah memperketat pelaksanaan PPKM Level 4 di Jakarta. Kebijakan ini diyakini bisa mengatasi kritis penularan virus covid-19 alias corona.
Beleid yang menjadi dasar peraturan ini adalah Instruksi Mendagri Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 dan Level 3 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali. Secara garis besar, peraturan ini membagi ketentuan makan bagi kelompok usaha kuliner yang memiliki ruang terbuka atau sirkulasi dan yang tidak.
Bagi kelompok usaha kuliner yang bertempat di dalam gedung atau toko tertutup, baik yang memiliki lokasi tersendiri maupun yang merupakan bagian di dalam pusat perbelanjaan/mal, aktivitas makan di tempat atau dine-in tidak diizinkan.
Sementara itu, untuk warung makan/warteg, lapak jajanan, atau sejenisnya, diizinkan buka dan mempersilakan pengunjungnya dine-in. Namun, jam operasional dibatasi hanya hingga pukul 20.00. Selain itu, jumlah pengunjung makan di tempat pun dibatasi maksimal 25% dari kapasitas dengan durasi makan maksimal 20 menit.
Terkesan Non-sense Tetapi Tidak
Siang itu, penulis berkunjung ke salah satu kedai kopi yang juga menyediakan menu makanan. Karena perut terasa sudah perlu diisi, penulis pun kemudian memesan seporsi makanan berat untuk disantap. Di sini, penulis pun sekaligus ingin melakukan pembuktian dari segala kritik masyarakat mengenai peraturan makan di tempat dengan durasi 20 menit.
Sebelum pelayan mengantarkan pesanan makanan, penulis telah mempersiapkan stopwatch untuk menghitung waktu makan. Tombol start ditekan tepat ketika makanan diletakkan di meja dan penulis mulai makan. Penulis tidak melakukan kegiatan lain, hanya berfokus pada makanan.
Tanpa diduga, penulis hanya membutuhkan waktu 14 menit untuk menyelesaikan seporsi makanan yang dipesan. Bahkan, rekan yang makan bersama penulis hanya membutuhkan 10 menit untuk menandas habis isi mangkuknya. Sisa waktu yang ada tentu sangat cukup untuk menikmati minuman yang juga sudah dipesan sebelumnya.
Ilustrasi peraturan dine-in 20 menit. Validnews/NoveliaYang perlu diketahui, penulis dan rekan sama sekali tidak terburu menikmati sajian. Bahkan, waktu tersebut sudah termasuk menunggu suap demi suap makanan agar agak mendingin. Soalnya, makanan yang dipesan mengandung kuah yang cukup panas.
Lalu, kenapa mayoritas masyarakat mencemooh peraturan ini?
Teknologi dan Budaya Multitasking
Jawaban dari pertanyaan mengapa 20 menit waktu makan terkesan sangat singkat dan tak masuk akal bagi kebanyakan orang adalah kebiasaan. Perkembangan teknologi membuat dunia menjadi semakin sibuk. Kemunculan berbagai gawai, terutama yang bersifat portable atau bisa dibawa ke mana saja, membuat kesibukan makin tak terkontrol.
Manusia tentu punya hasrat untuk mampu mengerjakan beberapa hal sekaligus untuk mempersingkat waktu. Salah satunya kegiatan makan. Bahkan, pada survei Health Living Index (2016) yang dilakukan AIA dan melibatkan 772 responden dewasa, didapatkan hasil bahwa sebanyak 86% orang Indonesia mengaku masih mencuri kesempatan untuk makan saat tengah beraktivitas.
Angka yang cukup besar dan bisa menggambarkan lekatnya budaya multitasking sambil makan, bukan?
Bagi beberapa pegawai perusahaan, kebiasaan tersebut tergambar dengan bagaimana mereka menyantap makan siang sambil terus menatap layar komputer atau laptopnya. Ketika pandemi, kebiasaan ini pun bertambah parah.
Pasalnya, dengan kondisi work from home, pegawai makin punya kesempatan untuk melakukan beragam aktivitas sekaligus. Bekerja sambil memasak, mencuci, dan terutama bekerja sambil makan.
Nah, kebiasaan makan sambil beraktivitas ini pun terbawa ketika sedang menyantap sajian di luar rumah. Ketika makan di restoran atau kafe, kita cenderung melakukannya sambil bermain smartphone atau mengobrol dengan teman.
Ini belum termasuk pengunjung yang makan sambil mengerjakan tugas sekolah, kuliah, atau kantor dengan menggunakan laptop.
Memangnya ada yang begitu? Jangan salah, survei Visi Teliti Saksama (2021) membuktikan bahwa pencarian suasana kerja baru merupakan salah satu faktor yang mendorong kebutuhan muda-mudi untuk “nongkrong” di luar rumah pada masa pandemi, loh!

Berbagai aktivitas yang menyelingi, seperti mengobrol dan bermain gawai, akhirnya melebur dengan kegiatan makan itu sendiri. Tak heran, akhirnya untuk menghabiskan seporsi makanan saja, beberapa orang bisa butuh waktu selama 1-2 jam, sebelum akhirnya selesai dan keluar dari restoran.
Tak heran, ketika pemerintah mengumumkan peraturan dine-in dengan durasi maksimal 20 menit, masyarakat pun bagai kebakaran jenggot.
Cepat, Namun Tak Sehat
Bakat multitasking, yang akhirnya jadi kebiasaan banyak orang di tengah berkembangnya era digital, bisa dikatakan meningkatkan efisiensi. Dua-tiga hal, atau bahkan lebih, dilakukan dalam satu saat. Tentunya, kebiasaan ini menjanjikan penghematan waktu. Namun, apakah hal ini baik untuk tubuh kita?
Ternyata tidak.
Sebuah penelitian yang dilakukan para periset University of Copenhagen, Denmark, menunjukkan bahwa pergantian fokus dari satu layar ke layar lain membuat informasi yang disimpan oleh otak kita menjadi lebih minim.
Kalau kita fokus pada satu aktivitas dalam satu periode waktu, otak akan menyerap serta menyimpannya dalam bagian yang bernama hippocampus. Bagian yang khusus menyimpan informasi ini akhirnya mempermudah ketika kita harus melakukan re-call.
Nah, begitu kita mengalihkan perhatian dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti makan sambil memainkan smartphone, informasi tidak bisa diproses secara cepat seperti biasanya dan malahan akan dikirim ke striatum. Padahal, tanggung jawab bagian otak yang satu ini adalah mengatur perencanaan aktivitas gerak dan motivasi, bukannya data.
Pengiriman informasi ke bagian otak ini justru akan bikin otak menyimpan informasi di tempat yang salah. Makanya, tak heran kalau kita kerap kehilangan detail penting dari salah satu aktivitas ketika sedang ber-multitasking (Perdana, 2021).
Pada aktivitas makan, detail informasi memang tak penting. Namun, bukan berarti makan tak butuh konsentrasi. Makanan butuh dikunyah dengan baik agar mudah ditelan, dicerna, hingga memberi efek kenyang.
Kegiatan lain yang dilakukan bersamaan dengan makan punya potensi mengganggu fokus. Masalahnya, kalau makan kita terdistraksi, proses pengunyahan bisa terusik dan memicu tersedak, sakit perut, bahkan sembelit.
Tak hanya mengganggu konsentrasi, aktivitas multitasking di kala makan juga meningkatkan potensi obesitas. Pasalnya, saat makan sambil melakukan hal lain, kita akan lupa waktu hingga makanan sudah habis.
Akibatnya, kita tak menyadari sudah seberapa banyak makanan yang dikonsumsi. Lalu, jika merasa kurang kenyang, tak jarang kita menambah pesanan. Akibatnya, kita akan makan lebih banyak dari porsi biasa.
Oleh sebab itu, dengan segala pertimbangan di atas, sebenarnya secara tak langsung, peraturan dine-in justru bisa berdampak baik bagi kesehatan. Dalam hal ini, dengan mendorong masyarakat untuk tidak ber-multitask ketika makan.
Warga membeli makanan di salah satu warung makan di Sawah Besar, Jakarta, Senin (26/7/2021). Pemerin tah menyesuaikan aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 pada pelaku usaha kuliner dengan mengizinkan warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan dan sejenisnya untuk buka dengan protokol kesehatan yang ketat sampai dengan pukul 20.00, menerima maksimal pengunjung makan di tempat tiga orang dan waktu makan maksimal 20 menit. Antara Foto/Aditya Pradana Putra Berempati pada Usaha Kuliner
Hikmahnya lain dari peraturan ini adalah membuat kita belajar menghormati para pebisnis di bidang kuliner. Lho, kok begitu? Mari kita lihat fakta di lapangan.
Sebelumnya, Anda pasti pernah harus rela mengantre dan terlebih dahulu, bahkan menulis nama pada waiting list di depan pintu masuk sebuah restoran karena belum ada pengunjung yang selesai makan. Kemudian, ketika mengintip suasana di dalam restoran, tak jarang kita mendapati kalau mereka sebenarnya sudah selesai makan, namun masih belum selesai mengobrol.
Di kafe atau kedai pun, ada saja beberapa orang yang hanya memesan satu atau dua sajian. Masalahnya, walau pesanan tak banyak, orang tersebut mengonsumsinya dalam waktu yang cukup lama hanya untuk menikmati fasilitas wi-fi dari warung makan tersebut.
Disadari atau tidak, perbuatan seperti ini merugikan pemilik usaha, lho. Apalagi, kalau usahanya masih kecil. Produk yang dibeli tak banyak, namun pengunjungnya itu-itu saja.
Pengunjung lain yang tadinya berminat membeli, jadi urung karena melihat tempat sudah penuh. Di lain sisi, biaya operasional harus diperhitungkan. Bagaimana tak merugi?
Peraturan dine-in dalam waktu 20 menit akhirnya bisa menjadi sarana latihan kita untuk tidak terlalu berkontribusi pada kerugian pemilik usaha kuliner dengan berada di lokasi terlalu lama. Dengan begitu, kita menghargai calon pengunjung yang ingin menyantap pesanannya, sekaligus pemilik tempat yang tentunya ingin perputaran kas usahanya berjalan lancar dan menguntungkan.
Memang, ada beberapa hal yang perlu dikembangkan agar masyarakat lebih guyub menerima peraturan ini. Meski dalam beleid terkait dikatakan bahwa pengaturan lebih lanjut akan disesuaikan dengan daerah masing-masing, tetap ada beberapa detail yang perlu diperjelas. Misalnya saja, dimulai dari momen apa waktu 20 menit dihitung.
Rasanya akan tidak adil apabila waktu dimulai ketika pesanan pertama. Beruntung apabila pesanan pertama adalah makanan berat, baru kemudian minumannya. Nyatanya, lebih sering sajian pertama yang disuguhkan adalah minuman. Selang beberapa menit, baru makanan datang. Padahal, makanan adalah sajian yang butuh waktu paling lama untuk dihabiskan.
Pada akhirnya, meski masih butuh pengembangan dari segi peraturan maupun pengawasan, regulasi pembatasan waktu dine-in ini mendorong kita untuk banyak belajar. Mulai dari belajar bekerja sama dengan setiap unsur negara untuk memerangi virus penyebab pandemi, belajar memperbaiki kebiasaan yang kurang baik bagi kesehatan, hingga belajar untuk menghargai cara orang lain mencari uang.
Nah, pertanyaannya, maukah kita belajar?
Referensi:
Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 24/Inmendagri/2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 dan Level 3 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali
Perdana, S. (2021, Januari 12). Kenapa Multitasking Ternyata Tidak Baik? Retrieved from Hello Sehat: https://hellosehat.com/mental/stres/multitasking-ternyata-tidak-baik/
Visi Teliti Saksama. (2021, Juli). Survei Persepsi Pemuda tentang PPKM.