15 Agustus 2025
15:45 WIB
Fenomena Rojali Dan Dikotomi Belanja Online Vs.Offline
Transformasi perilaku masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa belanja online dan offline bukan lagi dua dunia yang bersaing. Dukungan pembayaran digital dan strategi bisnis hybrid jadi pendorongnya.
Penulis: Devi Rahmawati
Editor: Rikando Somba
Pembeli membayar dengan menggunakan QRIS di Pasar Tomang Barat, Jakarta, Selasa (14/11/2023). Validnews.ID/Darryl Ramadhan.
Pola belanja masyarakat Indonesia sedang mengalami perubahan besar. Dulu, pilihan antara berbelanja di toko fisik atau melalui layar ponsel terasa seperti dua dunia yang berbeda. Kini, batas itu semakin kabur.
Platform lokapasar menawarkan kemudahan, ragam produk tanpa batas, dan promosi yang menggoda. Sementara itu, toko fisik tetap memikat lewat pengalaman langsung, interaksi tatap muka, dan kepastian barang bisa dibawa pulang saat itu juga.
Perubahan ini tidak muncul begitu saja, melainkan hasil dari kombinasi kemajuan teknologi, perluasan infrastruktur digital, serta kebijakan yang mengatur jalannya pasar. Pergeseran ini memunculkan pertanyaan, apakah salah satu kanal akan mengungguli yang lain, atau justru keduanya akan berkembang berdampingan dan saling menguatkan?
Ledakan E-commerce, Toko Fisik Tak Tumbang
Laporan E-Conomy SEA 2024 menempatkan nilai barang dagangan bruto (GMV) e-commerce Indonesia di angka US$62 miliar pada 2024, dan diproyeksikan menembus US$82 miliar pada 2025, sehingga menjadikannya pasar terbesar di Asia Tenggara. Ini bukan sekadar angka di laporan, melainkan cerminan jutaan klik checkout yang terjadi setiap hari, dari Aceh yang sibuk menjual kopi ke pelanggan di Surabaya, hingga Papua yang mengirim noken ke pembeli di Jakarta.
Fenomena ini didorong oleh banyak faktor. Misalnya, internet yang semakin merata, sistem pembayaran digital yang makin mudah, logistik yang kian efisien, serta gempuran promo yang membuat layar ponsel kita, seperti bazar 24 jam. Belanja online telah mengubah cara masyarakat mendapatkan barang, mulai dari keperluan sehari-hari hingga barang mewah.
Namun, jangan terburu-buru mengira toko fisik sedang sekarat. Data Indeks Penjualan Riil (IPR) Bank Indonesia menunjukkan cerita yang berbeda. Ini pula yang menjadi argumentasi mereka yang menyanggah fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) yang lebih mendominasi kunjungan individu ke mal.
Sepanjang 2025, IPR bertahan di kisaran 230-an poin. Bulan April tercatat 235,5, sedangkan Juni berada di 231,9 bahkan tumbuh 1,3% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, mal masih dipenuhi pengunjung, pasar tradisional tetap ramai dengan aktivitas tawar-menawar, dan toko-toko pinggir jalan terus menggantungkan papan diskon besar-besaran untuk menarik pelanggan.
Fakta ini memperlihatkan satu hal penting bahwa konsumen Indonesia belum siap sepenuhnya meninggalkan pengalaman belanja langsung. Bagi banyak orang, belanja bukan hanya soal mendapatkan barang, tapi juga pengalaman. Belanja berarti merasakan kain baju sebelum membeli, mencicip kue di toko roti, atau sekadar mengobrol dengan pedagang langganan.
Lokapasar mungkin menawarkan kecepatan dan kenyamanan, tetapi toko fisik memberi interaksi, sensasi, dan kepastian instan yang belum bisa digantikan sepenuhnya oleh layar ponsel.
Kenapa Orang Suka Belanja Online?
Sulit menolak godaan berbelanja lewat layar ponsel. Harga-harga di lokapasar bersaing ketat, penjual saling berlomba memberikan potongan harga demi menarik perhatian. Promo pun datang silih berganti, mulai dari voucher ongkos kirim, cashback, hingga diskon kilat yang sering muncul pada jam-jam tertentu. Tidak sedikit orang akhirnya membeli barang bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan karena tergoda oleh harga yang lebih murah dari biasanya.
Selain harga, daya tarik belanja online terletak pada luasnya pilihan produk. Cukup mengetik kata kunci, konsumen bisa menemukan kosmetik dari luar negeri, buku-buku yang jarang dijual di toko, hingga suku cadang motor langka yang sulit didapat di kota kecil. Dunia belanja terasa tanpa batas, dengan akses ke pasar nasional bahkan internasional.
Kenyamanan menjadi alasan kuat lainnya. Belanja online menghapus keharusan keluar rumah, menghadapi macet, atau mencari tempat parkir. Transaksi dapat dilakukan sambil duduk santai, dan barang akan diantar langsung ke pintu rumah. Bagi mereka yang memiliki jadwal padat atau tinggal di daerah dengan pilihan ritel terbatas, belanja online menjadi solusi praktis.
Namun, di balik semua kemudahan ini, ada risiko yang perlu diwaspadai. Data dari YLKI pada 2024 menunjukkan bahwa lokapasar termasuk dalam lima besar sektor dengan pengaduan terbanyak, yaitu 1.675 aduan. Keluhan yang paling sering adalah barang tidak sesuai deskripsi, pengiriman bermasalah, dan proses pengembalian dana yang memakan waktu lama.
Ancaman penipuan juga masih tinggi. Modusnya bervariasi, mulai dari akun palsu yang menggunakan foto barang dari penjual lain, toko yang menghilang setelah menerima pembayaran, hingga situs tiruan yang menyalin tampilan lokapasar resmi.
Belanja online pada akhirnya seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, menawarkan harga menarik, pilihan luas, dan kemudahan transaksi, namun di sisi lain menyimpan potensi kerugian jika konsumen tidak berhati-hati.
Kenapa Orang Masih Setia Ke Toko Fisik?
Ada hal-hal yang tak bisa dibungkus kardus dan dikirim lewat kurir, seperti rasa, sentuhan, dan kepastian instan. Di toko, pembeli bisa merasakan tekstur kain sebelum memutuskan membeli pakaian, mencoba genggaman sebuah gawai untuk melihat apakah pas di tangan, atau mencium langsung aroma kopi yang baru digiling. Semua itu memberi pengalaman yang lebih meyakinkan sebelum mengeluarkan uang. Dan yang paling penting, barang bisa langsung dibawa pulang saat itu juga.
Untuk kebutuhan mendesak seperti membeli obat, mencari suku cadang kendaraan yang rusak, atau menyiapkan hadiah dadakan, belanja offline sering kali menjadi pilihan yang tak tergantikan.
Ada sapaan ramah dari penjual, obrolan ringan di sela transaksi, bahkan kesempatan untuk menawar harga jadi sensasi tersendiri yang dirasakan pembeli. Aktivitas ini, bagi sebagian orang, menjadi bagian dari kesenangan berbelanja. Jalan-jalan di mal pun tak hanya soal belanja, tetapi juga sarana rekreasi, tempat bertemu teman, atau sekadar menghabiskan waktu sambil melihat-lihat etalase.
Di banyak daerah, terutama di pasar tradisional, hubungan antara pembeli dan penjual dibangun dari kepercayaan yang terbentuk selama bertahun-tahun. Pembeli mengenal wajah penjual, tahu kualitas barang dagangannya, bahkan sering kali berutang tanpa tanda tangan kontrak karena sudah saling percaya. Hubungan semacam ini sulit digantikan oleh layar ponsel atau kolom ulasan di lokapasar.

Titik Temu Belanja Online dan Offline
Dulu, belanja online dan offline berjalan di dua jalur yang hampir tak bersinggungan. Satu berbasis layar ponsel dan koneksi internet, satu lagi mengandalkan tatap muka dan uang tunai. Kini, batas itu makin kabur. Kemajuan infrastruktur digital, sistem pembayaran modern, dan kebijakan pemerintah membuat keduanya saling menopang dan bahkan menyatu.
Fenomena ini dapat dibaca melalui perspektif sosiologi, khususnya teori modernisasi, yang memandang kemajuan teknologi sebagai pendorong transformasi sosial dan ekonomi menuju bentuk yang lebih efisien dan terintegrasi. Modernisasi melihat perubahan ini sebagai proses alami ketika masyarakat mengadopsi teknologi baru, menggeser pola interaksi dan transaksi dari konvensional ke digital.
Namun, jika dilihat dari perspektif teori ketergantungan, transformasi ini tetap menyisakan kewaspadaan. Teori ini mengingatkan bahwa integrasi digital bisa menciptakan ketergantungan baru pada infrastruktur, platform, atau perusahaan besar, sehingga memerlukan peran regulasi untuk menjaga keseimbangan kekuatan pasar.
Koneksi internet yang semakin luas menjadi pondasi utama perubahan ini. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024, sebanyak 79,5% populasi Indonesia atau sekitar 221 juta orang sudah terkoneksi internet. Angka ini bukan hanya hasil penetrasi di kota-kota besar, tetapi juga merambah daerah semi-urban hingga pedesaan. Internet tidak lagi sekadar hiburan atau sarana komunikasi, melainkan jalur utama untuk mencari produk, membandingkan harga, memesan barang, hingga memilih toko fisik mana yang layak dikunjungi.
Di sisi pembayaran, QRIS hadir sebagai katalis integrasi. Per pertengahan 2025, jumlah pengguna QRIS mencapai 56–57 juta, dengan merchant terdaftar lebih dari 38 juta. Lonjakan volume transaksi sebesar 148% dibanding tahun sebelumnya menandakan pergeseran kebiasaan transaksi masyarakat. Bahkan, warung kopi pinggir jalan dan kios sayur di pasar tradisional kini bisa menerima pembayaran cashless.

Konsumen yang terbiasa dengan kenyamanan pembayaran online kini bisa merasakannya juga di toko fisik, sedangkan pedagang kecil mendapat akses ke ekosistem pembayaran digital yang sebelumnya identik dengan bisnis besar. Perubahan ini tidak terjadi secara organik semata.
Regulasi ikut membentuk jalannya. Pemerintah melalui Permendag No. 31/2023 melarang social commerce memfasilitasi transaksi langsung di dalam platformnya. Kebijakan ini muncul dari kekhawatiran akan dominasi pasar oleh segelintir raksasa digital yang terintegrasi penuh antara media sosial dan lokapasar.
Dampaknya jelas, TikTok Shop sempat menghentikan operasinya di Indonesia pada akhir 2023, sebelum kembali melalui kemitraan dengan Tokopedia. Pada Juni 2025, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberi persetujuan bersyarat atas akuisisi ini untuk mencegah praktik harga predator dan menjaga persaingan yang sehat.
Bagi konsumen, aturan ini memberi jalur komplain yang lebih jelas. Bagi pedagang kecil, ini menjadi perlindungan agar mereka tidak tersisih begitu saja oleh strategi agresif platform raksasa.
Dari sudut pandang teori ketergantungan, kebijakan ini adalah bentuk intervensi negara untuk mencegah ketimpangan struktural di mana pelaku lokal menjadi terlalu bergantung pada entitas global atau platform besar yang menguasai rantai distribusi. Regulasi ini menunjukkan bahwa transformasi digital di sektor perdagangan tidak hanya soal teknologi, tapi juga soal keseimbangan kekuatan pasar.
Di tengah lanskap yang berubah ini, muncul pertanyaan praktis, kapan sebaiknya memilih belanja online, dan kapan offline? Tidak ada satu jawaban yang berlaku untuk semua orang.
Untuk kebutuhan rutin, seperti bahan pokok rumah tangga, belanja online menawarkan efisiensi, tinggal klik, tunggu di rumah, barang datang. Sementara itu, untuk produk langka, internet membuka pintu ke katalog nasional yang mungkin mustahil ditemukan di toko sekitar.
Sebaliknya, jika konsumen ingin mencoba barang terlebih dahulu, memastikan ukuran atau kualitasnya, atau membutuhkan barang di hari yang sama, toko fisik masih unggul. Aspek interaksi langsung, pengalaman melihat dan menyentuh produk, serta layanan purna jual yang cepat menjadi keunggulan utama kanal offline.
Banyak pelaku usaha kini tidak lagi memilih salah satu, melainkan menggabungkan keduanya melalui strategi omni-channel. Toko fisik digunakan sebagai showroom atau titik pengambilan dan pengembalian barang, sedangkan lokapasar dimanfaatkan untuk menjangkau konsumen dari seluruh Indonesia. Dengan dukungan QRIS, proses pembayaran di kedua kanal terasa sama cepat dan aman, menciptakan pengalaman belanja yang konsisten.
Sinergi ini memberi dampak lebih luas daripada sekadar kemudahan transaksi. Konsumen mendapatkan fleksibilitas penuh untuk menentukan jalur belanja sesuai kebutuhan. Pedagang memperoleh peluang memperluas pasar tanpa harus mengorbankan kekuatan mereka di kanal offline. Pemerintah pun dapat mengawasi peredaran barang dan pajak dengan lebih efektif karena semua transaksi, baik online maupun offline, tercatat dalam sistem digital.
Melihat tren ini dari perspektif modernisasi, masa depan ritel di Indonesia tampaknya tidak akan lagi ditandai oleh persaingan tajam antara online dan offline. Internet dan pembayaran digital justru membuat keduanya semakin saling melengkapi.
Namun, seperti yang diingatkan teori ketergantungan, kekuatan terbesar hanya akan dimiliki oleh mereka yang tidak hanya mampu membangun jembatan di antara keduanya, tetapi juga menjaga kemandirian dan tidak terjebak dalam ketergantungan berlebihan pada pihak tertentu. Dengan begitu, pengalaman belanja yang menyatu, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan teknologi dan regulasi dapat benar-benar terwujud.
Referensi: