c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

OPINI

21 Oktober 2025

15:45 WIB

Dinamika Industri Tembakau Indonesia Di Tengah Penundaan Cukai Rokok 2026

Pemerintah menunda kenaikan cukai rokok 2026 demi menjaga daya beli dan stabilitas ekonomi. Sebaliknya, meningkatnya konsumsi rokok dikhawatirkan akan terjadi sebagai dampaknya.

Penulis: Nugroho Pratomo, Devi Rahmawati

Editor: Rikando Somba

<p>Dinamika Industri Tembakau Indonesia Di Tengah Penundaan Cukai Rokok 2026</p>
<p>Dinamika Industri Tembakau Indonesia Di Tengah Penundaan Cukai Rokok 2026</p>

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa didampingi Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Djaka Budhi Utama di sela-sela pengungkapan penindakan penyelundupan barang ilegal dan barang kena cukai (BKC) ilegal. ANTARA FOTO/Nirza/agr/sgd

Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada tahun 2026 disambut sebagai “angin segar” oleh kalangan dunia usaha, di tengah kondisi ancaman krisis perekonomian Indonesia. Perokok juga menyambutnya tak kalah seru. 

Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan melemahnya daya beli masyarakat, yang menjadi salah satu indikator utama memburuknya kondisi ekonomi Indonesia. Karenanya, pemerintah berupaya menjaga stabilitas konsumsi dan mengurangi beban masyarakat.

Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut juga menuai kekhawatiran. Kalangan yang kadung kontra dengan industri rokok dan pengusung upaya menjaga kesehatan warga, menilai kebijakan ini kontradiktif karena berpotensi mendorong peningkatan konsumsi rokok, terutama di kalangan muda. 

Tanpa adanya kenaikan cukai, harga rokok diperkirakan tetap terjangkau. Dengan demikian, daya tariknya bagi generasi muda semakin besar. Mereka menilai, pengenaan cukai selama ini dipandang sebagai instrumen efektif dalam menekan angka perokok baru dan mencegah generasi muda terjebak dalam kecanduan rokok.

Baca juga: Cukai Rokok Batal Naik Tuai Protes Masyarakat

Dari sisi ekonomi, apakah kebijakan tersebut benar-benar menjadi langkah yang tepat di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih rentan? Pertanyaan ini semakin relevan mengingat kebijakan ini diambil menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, yang tengah berupaya menstabilkan perekonomian sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakat.

Produksi Tembakau dan Rokok
Berdasarkan data Statistik Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, estimasi total luas perkebunan tembakau di Indonesia pada tahun 2025 mencapai 210,15 ribu hektare. Luasan ini menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 253,33 ribu hektare. 

Dari total tersebut, sebagian besar merupakan perkebunan rakyat, yakni mencapai 252,65 ribu hektare pada tahun 2024 dan berkurang menjadi 209,5 ribu hektare pada tahun 2025 (Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian RI, 2024).  

Penurunan luas lahan ini mencerminkan tekanan yang dihadapi sektor hulu industri hasil tembakau, terutama petani kecil yang menjadi tulang punggung rantai pasok tembakau nasional. 

Dalam konteks kebijakan cukai yang cenderung meningkat, kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan ekonomi petani tembakau. Tanpa kebijakan pendamping yang memadai, seperti program diversifikasi tanaman, perlindungan harga jual, dan skema pembiayaan adaptif, petani berisiko kehilangan sumber pendapatan utama mereka. 

Ketergantungan pada pasar rokok membuat posisi petani sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan kebijakan fiskal. Sementara perusahaan besar masih memiliki kapasitas untuk beradaptasi melalui diversifikasi produk atau efisiensi produksi, petani rakyat justru menghadapi ketidakpastian pendapatan dan penurunan permintaan bahan baku.

Kondisi ini juga berpotensi memengaruhi dinamika produksi tembakau nasional. Mencermati produksi tembakau Indonesia, sepanjang tahun 2000 hingga 2006 produksi tembakau Indonesia mengalami penurunan rata-rata 5,98% tiap tahunnnya (Kusdianita & Yunita, 2015) Dinamika terlihat dari data produksi tembakau di Indonesia ini yan g menunjukkan tren peningkatan sejak 2019. Sebelumnya, sejak 2013, produksi sempat menurun, namun kembali naik seiring bertambahnya luas lahan perkebunan tembakau. 

Penurunan produksi pada periode sebelumnya juga dipengaruhi oleh kebijakan sejumlah negara yang membatasi peredaran tembakau, sehingga permintaan global terhadap komoditas ini ikut menurun. Meski sempat membaik, tren tersebut tampaknya kembali menghadapi tantangan seiring dengan penurunan luas lahan yang diproyeksikan terjadi pada tahun 2025.

Pada perkembangannya, produksi tembakau Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 256 ribu ton. Luas lahan perkebunan tembakau diprediksi menurun menjadi sekitar 253,3 ribu hektare, lebih kecil dibandingkan tahun 2024. Dari sisi produksi, jumlah tersebut juga menunjukkan penurunan dibanding tahun sebelumnya yang diperkirakan mencapai 353,4 ribu ton  (Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian RI, 2024). 

Sementara itu, total produksi tembakau pada tahun 2024 tercatat berasal dari dua sumber utama, yaitu perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar negara (PBN). Sebagian besar produksi berasal dari perkebunan rakyat dengan luas mencapai 252 ribu hektare. Namun, tingkat produktivitasnya relatif rendah, yaitu sekitar 1.396 kg per hektare. 

Pada saat yang sama, perkebunan milik negara yang hanya seluas 680 hektare justru memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi, yakni mencapai 1.710 kg per hektare. Kondisi ini menunjukkan bahwa kontribusi besar dari perkebunan rakyat belum diimbangi dengan peningkatan efisiensi produksi, yang pada akhirnya dapat berdampak pada pasokan bahan baku industri rokok nasional.

Sebagai bagian dari rantai pasok produksi, fluktuasi produksi tembakau juga mempengaruhi produksi rokok di Indonesia. Pada tahun 2000, produksi rokok nasional mencapai 239,5 miliar batang. Tahun 2003, jumlah produksi tersebut menurun menjadi 192,3 miliar batang. Selanjutnya, pada tahun 2007, produksi rokok naik menjadi 231 miliar batang (Kusdianita & Yunita, 2015). 

Selama periode tahun 2020-2023, produksi rokok di Indonesia mengalami penurunan 321,6 miliar batang menjadi 318,14 miliar batang (-1,08%) (P, Wany, & Prayitno, 2024). Selanjutnya data dari Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa produksi rokok pada Agustus 2025 mencapai 25,5 miliar batang. Jumlah tersebut turun 9,25% dibandingkan bulan Juli (month to month/mtm). Apabila dibandingkan Agustus tahun 2024 (yoy), jumlah tersebut juga turun sebesar 2,07%. 

Sebelumnya, pada tahun 2022 produksi rokok mencapai 323,9 miliar batang dan turun menjadi 318,1 miliar batang di tahun 2023. Penurunan produksi rokok ini kemungkinan berkaitan erat dengan menurunnya pasokan tembakau dalam negeri, sekaligus mencerminkan perubahan pola konsumsi masyarakat dan arah kebijakan industri hasil tembakau di Indonesia.

Kebijakan Cukai Tembakau
Meskipun kampanye antirokok semakin meluas di berbagai negara, konsumsi produk tembakau masih tinggi di Indonesia. Rokok bukan sekadar kebutuhan, tetapi telah menjadi bagian dari kebiasaan sosial dan gaya hidup masyarakat. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat, rata-rata perokok di Indonesia mengonsumsi 87,45 batang rokok per minggu atau sekitar 13 batang per hari, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 85,42 batang. 

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan peningkatan konsumsi terjadi hampir di seluruh provinsi, dengan rokok kretek filter sebagai jenis paling dominan. Kementerian Kesehatan juga melaporkan bahwa jumlah perokok aktif mencapai sekitar 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya merupakan anak dan remaja berusia 10–18 tahun atau kelompok usia muda dengan peningkatan paling signifikan (Kementerian Kesehatan RI, 2024).

Kondisi tersebut menjadi dasar diberlakukannya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia. Secara hukum, cukai dikenakan pada barang yang peredarannya perlu dikendalikan dan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan dan sosial masyarakat. 

Di Indonesia, kebijakan cukai tembakau telah ada sejak masa kolonial Belanda melalui Tabaksaccijns Ordonnantie (Staatsblad No. 517 Tahun 1932). Setelah kemerdekaan, sistem cukai diteruskan melalui berbagai regulasi, mulai dari UU Darurat No. 22 Tahun 1950 hingga PP No. 8 Tahun 1951 yang memperkenalkan sistem pita cukai berwarna. 

Dalam perkembangannya, pemerintah terus menyesuaikan tarif dan struktur cukai seiring dengan perubahan industri dan kondisi ekonomi nasional.

Baca juga: Rokok Jadi Pengeluaran Kedua Terbesar Keluarga

Pada masa Orde Baru, penetapan cukai menggabungkan pendekatan berdasarkan harga jual eceran dan jumlah batang rokok. Reformasi besar terjadi pada tahun 1995 dengan lahirnya UU No. 11/1995 tentang Cukai, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 39/2007. Undang-undang ini memperjelas pengelompokan tarif cukai berdasarkan jenis hasil tembakau, golongan pengusaha, dan batas harga jual eceran (HJE). 

Tarif tertinggi ditetapkan sebesar 275% dari harga jual pabrik atau 57% dari harga jual eceran untuk produk domestik, sementara produk impor bisa dikenakan hingga 1.150% dari nilai pabean (Pemerintah Republik Indonesia, 2007).

Sejak saat itu, penyesuaian tarif dilakukan secara periodik melalui serangkaian Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Perubahan besar terjadi pada 2017 dengan PMK No. 146/PMK.010/2017 yang menyederhanakan struktur tarif dari 12 menjadi 10 kategori untuk meningkatkan kepatuhan industri dan optimalisasi penerimaan negara. Reformasi ini berlanjut hingga PMK No. 192/PMK.010/2021 dan beberapa kali diubah hingga PMK No. 97 Tahun 2024. Penyederhanaan ini juga mengatur hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dan harga transaksi pasar (HTP).

Dari sisi fiskal, kebijakan tersebut berdampak positif terhadap penerimaan negara. Penerimaan cukai tembakau meningkat dari Rp104,7 triliun pada 2013 menjadi Rp148,1 triliun pada 2016. Namun, kebijakan ini juga memunculkan efek samping berupa menurunnya jumlah pabrik hasil tembakau, terutama skala kecil. Pada 2013 terdapat 889 perusahaan pemesan pita cukai, yang turun menjadi 722 perusahaan pada 2015. Produksi rokok juga menurun dari 348,1 miliar batang pada 2015 menjadi 341,7 miliar batang pada 2016 (Triono, 2017).

Baca juga: Kenaikan Cukai Dinilai Perlu Untuk Kendalikan Konsumsi Rokok

Selama 2012–2025, rata-rata kenaikan cukai rokok berkisar antara 10–12% per tahun. Meski begitu, pemerintah tidak selalu menaikkan tarif setiap tahun. Tahun 2014, 2019, dan 2025 merupakan periode di mana tarif tidak dinaikkan. Tahun 2014 menjadi masa transisi penerapan pajak rokok daerah sesuai UU No. 28/2009, sedangkan tahun 2019 dan 2025 keputusan ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas industri, terutama pascapenurunan ekonomi dan masa pemulihan pascapandemi.

Kenaikan cukai pada masa pandemi pun menimbulkan dampak cukup signifikan. Pada tahun 2020 tarif cukai naik 23%, diikuti kenaikan 12,5% pada 2021, yang menyebabkan produksi rokok turun 9,7% atau sekitar 47,6 miliar batang, serta penurunan jumlah tenaga kerja industri dari 449 ribu pada 2018 menjadi 443 ribu pada 2020.

Baca juga: Quo Vadis Industri Rokok

Dari keseluruhan dinamika tersebut, terlihat bahwa kebijakan cukai hasil tembakau tidak hanya berperan sebagai sumber penerimaan negara, tetapi juga instrumen pengendalian sosial dan ekonomi. Namun, efektivitasnya sebagai alat pengendalian konsumsi masih dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti daya beli, struktur pasar, dan adaptasi industri. Karena itu, arah kebijakan di masa mendatang perlu menyeimbangkan tujuan fiskal, kesehatan publik, dan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil serta petani tembakau yang menopang industri dari sektor hulu.


Penerimaan Cukai Tembakau
Penerimaan cukai tembakau pada tahun 2021, berhasil terkumpul Rp188.811,48 miliar dari target Rp173.780,90 miliar atau tercapai 108,65% (Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI, 2022). Selanjutnya penerimaan cukai hasil tembakau turun sebanyak Rp5 triliun di 2023 dibandingkan tahun 2022. Pada 2022, penerimaan cukai dari produk tembakau sebesar Rp218 triliun, kemudian pada 2023 turun menjadi Rp213 triliun (RRI, 2024).

Penerimaan hasil tembakau tahun 2024 sebesar Rp216,9 triliun. Pada triwulan I 2024, penerimaan cukai mengalami penurunan karena turunnya produksi hasil tembakau pada akhir tahun 2023. Namun pada triwulan II setelah tarif efektif cukai hasil tembakau (CHT) tumbuh moderat akibat peningkatan produksi HT dari golongan II dan III yang tarifnya lebih murah. Kemudian, pada triwulan ketiga pertumbuhan terjadi karena tarif efektif CHT tumbuh moderat, meskipun terjadi penurunan produksi. Pertumbuhan kembali terjadi pada triwulan keempat karena tarif efektif CHT tumbuh lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya meskipun terjadi penurunan produksi (Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI, 2025).

Dalam perkembangannya, hingga Februari 2025 penerimaan cukai tembakau mencapai Rp38,4 triliun. Jumlah tersebut turun 2,6%. Hal tersebut dipengaruhi oleh turunnya produksi rokok bulan November dan Desember 2024 sebesar 5,2%, yang menjadi basis perhitungan penerimaan cukai hasil tembakau di bulan Januari dan Februari 2025 (Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, 2025). Selanjutnya penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) selama Januari hingga Juli 2025 tercatat mencapai Rp121,98 triliun. Raihannya naik 9,6% dibandingkan periode sama tahun 2024 sebesar Rp111,23 triliun (Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI, 2025).

Konsumsi Rokok
Terkait dengan tingkat konsumsi rokok di Indonesia, data Statista menunjukkan bahwa pada tahun 2023, jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang merokok mencapai 28,62% atau sekitar 60,8 juta orang. Namun, jika dilihat dalam rentang waktu 2015–2023, persentase perokok tertinggi pada kelompok usia tersebut terjadi pada tahun 2018, yakni sebesar 32,2% atau sekitar 63,8 juta orang. Data ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi sedikit penurunan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah perokok di Indonesia masih tergolong sangat besar (Statista, 2024). 

Namun, jika dilihat dari jumlah batang rokok yang dikonsumsi, data dari GoodStats menunjukkan bahwa pada tahun 2019 tingkat konsumsi rokok di Indonesia mencapai 356,5 miliar batang. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang periode 2015–2020. Sebaliknya, tahun 2018 tercatat sebagai periode dengan tingkat konsumsi terendah, yaitu sebesar 331,9 miliar batang. Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun persentase perokok sempat menurun pada tahun-tahun tertentu, volume konsumsi rokok secara nasional masih menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan (Goodstats, 2022).

Dari sisi pengeluaran, data GoodStats juga menunjukkan bahwa rokok adalah komoditas terbesar setelah beras. Pada Maret 2023, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan untuk rokok mencapai sekitar Rp79.000. Sementara pada beberapa daerah, seperti di Kalimantan Timur, pengeluaran rokok per kapita bahkan melebihi Rp100.000 per bulan (Goodstats, 2024). Fakta ini menunjukkan bahwa rokok tidak hanya menjadi produk konsumsi sehari-hari, tetapi juga memberi tekanan ekonomi tersendiri bagi rumah tangga berpendapatan rendah.

Terkait dengan perilaku sebagian masyarakat Indonesia yang gemar merokok, beberapa studi menunjukkan hasil bahwa ada keterkaitan antara kebijakan cukai rokok dengan kebiasaan tersebut. Sebuah studi yang dilakukan di Kota Malang, Jawa Timur menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok dan penghasilan pribadi berpengaruh terhadap perilaku merokok. 

Adanya pengaruh kenaikan cukai rokok menyebabkan sebagian besar masyarakat Kota Malang menurunkan jumlah konsumsi rokok mereka. Selanjutnya, masyarakat yang berpenghasilan lebih tinggi lebih memilih untuk menurunkan konsumsi rokok mereka setelah terjadinya kenaikan tarif cukai rokok (Chusna, 2025).

Sedangkan studi serupa yang ditujukan untuk melihat prevalensi merokok di kalangan remaja menunjukkan hasil yang serupa. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan persamaan model regresi penelitian dan hasil pengujian menerangkan bahwa variabel LAYER mempunyai pengaruh terhadap variabel REMAJA. Pengaruh ini dapat diartikan bahwa peningkatan jumlah lapisan dalam struktur tarif cukai hasil tembakau akan diikuti oleh penurunan prevalensi perokok remaja atau sebaliknya penurunan jumlah lapisan struktur tarif cukai hasil tembakau akan diikuti oleh peningkatan prevalensi perokok remaja (Makarim, 2022).

Efektivitas Penerimaan Cukai Tembakau
Kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia memiliki dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan penerimaan negara sekaligus mengendalikan konsumsi rokok. Namun, efektivitasnya sebagai alat pengendalian perilaku merokok masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan pembuat kebijakan. Kedua, kenaikan tarif cukai terbukti memengaruhi harga jual rokok dan menekan daya beli, terutama pada kelompok berpendapatan rendah. Namun di sisi lain, kebijakan ini belum sepenuhnya efektif karena konsumsi rokok nasional tidak menunjukkan penurunan yang signifikan (Wardani & Khoirunurrofik, 2022).

Beberapa kajian menunjukkan bahwa setiap kenaikan tarif cukai sebesar satu persen hanya mampu menurunkan konsumsi sekitar satu persen pula, sehingga pengaruhnya relatif kecil (Wardani & Khoirunurrofik, 2022). Efek tersebut semakin lemah karena sebagian besar perokok beralih ke produk dengan harga lebih murah atau rokok ilegal ketika tarif dinaikkan, fenomena yang dikenal sebagai downtrading. Kondisi ini menyebabkan kebijakan fiskal tidak serta-merta menekan tingkat konsumsi, melainkan hanya menggeser pola konsumsi antar-segmen pasar.

Kenaikan cukai yang terlalu tinggi juga menimbulkan risiko sosial-ekonomi, terutama bagi pelaku usaha kecil dan petani tembakau. Data menunjukkan bahwa sebagian besar lahan tembakau di Indonesia merupakan perkebunan rakyat. Jika tekanan fiskal terhadap industri terus meningkat tanpa kebijakan pendamping, maka keberlangsungan ekonomi petani tembakau akan terancam.

Dinamika Kebijakan dan Pertimbangan Penundaan Kenaikan Cukai
Selain sebagai instrumen fiskal, kebijakan cukai juga sangat dipengaruhi oleh konteks ekonomi makro dan tekanan politik. Pemerintah beberapa kali menunda kenaikan tarif cukai dengan alasan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Pada tahun 2021, misalnya, tarif cukai tidak dinaikkan karena situasi pascapandemi covid-19 yang menekan daya beli masyarakat. 

Keputusan serupa kembali diambil pada tahun 2025 dengan pertimbangan pemulihan ekonomi pascapenurunan pertumbuhan dan upaya menjaga daya beli konsumen. Langkah ini menunjukkan bahwa kebijakan cukai sering kali bersifat responsif terhadap kondisi ekonomi jangka pendek, bukan hanya terhadap tujuan jangka panjang pengendalian konsumsi.

Menariknya, keputusan untuk tidak menaikkan cukai juga sering mendapat apresiasi dari sebagian kalangan industri dan masyarakat. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan dipuji karena kebijakan tersebut dianggap “pro-rakyat”, sebab dinilai memberi ruang bagi pemulihan ekonomi. Nyatanya, keputusan ini bukan fenomena baru, pemerintah juga beberapa kali menahan kenaikan tarif dengan alasan serupa, yaitu menjaga daya beli dan mencegah kontraksi di sektor riil.

Kebijakan semacam ini memperlihatkan dilema klasik antara kepentingan ekonomi dan kesehatan publik. 

Pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara penerimaan negara, perlindungan industri, dan pengendalian konsumsi. Namun, dalam praktiknya, keputusan menunda kenaikan cukai sering kali membuat kebijakan pengendalian rokok kehilangan daya dorong utamanya.


Referensi:

  1. Chusna, A. A. (2025). Pengaruh Kenaikan Cukai Rokok Tembakau Dan Penghasilan Terhadap Perilaku Merokok Di Malang. Jurnal Ekonomi, Manajemen, Akuntansi, dan Perpajakan, 8(1).
  2. Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian RI. (2024). Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2023-2025. Jakarta, DKI, Indonesia: Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian RI.
  3. Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. (2025). https://www.beacukai.go.id/berita. Hämtat från https://www.beacukai.go.id: https://www.beacukai.go.id/berita/realisasi-penerimaan-bea-cukai-tembus-rp52-6-triliun-.html 
  4. Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI. (2022). https://www.beacukai.go.id/berita. Hämtat från https://www.beacukai.go.id: https://www.beacukai.go.id/berita/bea-cukai-ungkap-hal-hal-penting-di-balik-kenaikan-tarif-cukai-2022.html 
  5. Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI. (2025). https://www.beacukai.go.id/berita/. Hämtat från https://www.beacukai.go.id/: https://www.beacukai.go.id/berita/penerimaan-bea-cukai-tahun-2024-tumbuh-positif.html 
  6. Goodstats. (2022). https://goodstats.id/article. Hämtat från https://goodstats.id: https://goodstats.id/article/angka-konsumsi-rokok-di-indonesia-masih-menjadi-sorotan-jemUs
  7. Goodstats. (2024). https://data.goodstats.id/statistic. Hämtat från https://data.goodstats.id: https://data.goodstats.id/statistic/rokok-jadi-komoditi-makanan-dengan-pengeluaran-tertinggi-setelah-beras-fANla
  8. Kementerian Kesehatan RI. (2024). https://kemkes.go.id/. Hämtat från https://kemkes.go.id/id/category/rilis-berita: https://kemkes.go.id/id/perokok-aktif-di-indonesia-tembus-70-juta-orang-mayoritas-anak-muda
  9. Kementerian Keuangan RI. (2017). Hämtat från https://fiskal.kemenkeu.go.id/: https://fiskal.kemenkeu.go.id/baca/2017/11/14/132929342291975-sosialisasi-pmk-nomor-146pmk0102017-tentang-tarif-cukai-tembakau
  10. Kusdianita, S., & Yunita, P. (2015). Ekonomi Politik Tembakau: Kemampuan Industri Tembakau Multinasional dalam Memengaruhi Kebijakan Tobacco Control di Indonesia. Journal of World Trade Studies, V(1).
  11. Makarim, M. M. (2022). Kenaikan dan Penyederhanaan Tarif Cukai Untuk Menurunkan Pengeluaran Konsumsi Rokok Dan Prevalensi Perokok Remaja. Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi, dan Keuangan Publik, 17(1).
  12. P, G. P., Wany, E., & Prayitno, B. (2024). Analisis Dampak Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Dan Fenomena Downtrading Rokok Terhadap Penerimaan Negara dan Produksi Tembakau Domestik 2023. Income Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 5(2).
  13. Pemerintah Republik Indonesia. (2007). Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Peraturan Perundang-undangan, Jakarta.
  14. Rachmat, M., & Aldillah, R. (2010). Agribisnis Tembakau di Indonesia : Kontroversi dan Prospek. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 28(1), 69-80.
  15. RRI. (2024). https://rri.co.id/bisnis. Hämtat från https://rri.co.id: https://rri.co.id/bisnis/619885/penerimaan-cukai-turun-akankah-pengetatan-tembakau-jadi-diterapkan Oktober 2025
  16. Statista. (2024). statista.com/statistics. Hämtat från statista.com: https://www.statista.com/statistics/955144/indonesia-smoking-rate/ 2025
  17. Triono, D. (2017). Analisis Dampak Tarif Cukai Hasil Tembakau Terhadap Penerimaan Negara dan Produksi Tembakau Domestik. Jurnal Pajak Indonesia, 1(1), 124-129.
  18. UN Comtrade. (2025). Hämtat från https://comtradeplus.un.org/: https://comtradeplus.un.org/TradeFlow?Frequency=A&Flows=X&CommodityCodes=TOTAL&Partners=0&Reporters=360&period=2024&AggregateBy=none&BreakdownMode=plus 2025
  19. UN Comtrade. (2025). https://comtradeplus.un.org/TradeFlow. Hämtat från https://comtradeplus.un.org/: https://comtradeplus.un.org/TradeFlow?Frequency=A&Flows=X&CommodityCodes=TOTAL&Partners=0&Reporters=360&period=2024&AggregateBy=none&BreakdownMode=plus
  20. Visi Teliti Saksama. (2018). Industri Rokok; Dicaci Tapi Dicari. Jakarta, DKI, Indonesia: Visi Teliti Saksama.
  21. Wardani, K., & Khoirunurrofik. (2022). Dampak Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Penindakan Rokok Ilegal Terhadap Konsumsi Rokok Rumah Tangga. Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, 46-62.
  22. Yusuf, H., Wijaya, A. B., & Abdala, F. (2023). Analisis Tarif Optimum Cukai Rokok. Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, 7(2), 298-314.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar