31 Oktober 2025
16:50 WIB
Dilema Indonesia Dalam Hubungan Dengan Negara Anggota BRICS
Tantangan geopolitik ikut serta mendorong masih sulitnya investasi untuk hadir di Indonesia. Ada kelebihan negara anggota BRICS, yang sulit disusul Indonesia.
Editor: Rikando Somba
Suasana hari kedua pertemuan KTT BRICS 2025 di Brasil. BRICS Brasil/Isabela Castilho.
Setelah beberapa waktu sebelumnya hadir dalam hari nasional China bersama dengan Putin dan Xi Jinping, Presiden Prabowo pada akhir Oktober 2025 juga menerima kedatangan presiden Afrika Selatan dan Brazil. Mereka hadir di tanah air secara berturut-turut.
Keakraban Prabowo dengan para pemimpin negara-negara tersebut jelas terlihat. Tentunya, ini tidak bisa dilepaskan dari bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS sejak Januari 2025.
Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS pada dasarnya memberikan Indonesia peluang untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara besar, seperti Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Ini tak bisa dilepaskan dari adanya pembukaan akses pasar baru dan perluasan ekspor atas produk-produk Indonesia. Begitu pula dengan investasi asing.
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS, juga diharapkan dapat menarik lebih banyak investasi asing langsung, terutama dari negara-negara anggota BRICS itu sendiri maupun dari hubungan kerja sama meningkatkan pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor penting lainnya di Indonesia. Termasuk pula sektor pertahanan.
Pendirian BRICS
Sedikit melihat kembali pendirian BRICS yang berawal dari sebuah forum informal di tahun 2006, terus berkembangnya “blok” kerja sama yang tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi, perdagangan dan investasi. BRICS harus dilihat sebagai entitas kekuatan diplomasi politik internasional baru. Tujuan utama dari diplomasi yang dilakukan oleh negara-negara tergabung, adalah memperkuat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kerja sama politik, serta mengadvokasi keadilan dalam sistem internasional (Aisyah & Pratisti, 2025)
Pada dasarnya, istilah BRIC mulai diperkenalkan untuk merujuk pada negara-negara ekonomi berkembang seperti Brasil, Rusia, India, dan China. Negara-negara kerap melakukan pertemuan tahunan sejak 2009. Dan, kelompok ini telah meluas hingga mencakup Afrika Selatan sejak 2010. Namun Konsep BRIC bermula pada tahun 2001, ketika ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, mengidentifikasi Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok sebagai negara-negara ekonomi berkembang yang siap menantang dominasi G7 (Carvalho, Gruzd, & Wu, 2025).
Sebelum bergabungnya Afrika Selatan, secara umum keempat negara anggota BRIC telah memiliki ciri-ciri hampir sama. Jumlah penduduk yang besar; luasan negara yang besar, serta pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata negara berkembang dimillki keeampatnya. Jika digabung, BRIC memiliki luas melebihi seperempat luas tanah di dunia, 40% jumlah penduduk dunia, dan memberikan kontribusi sekitar 18% ekonomi dunia (Lisbet, 2013).
Seiring dengan masuknya Afrika Selatan, maka hal tersebut semakin memperkuat posisi BRICS di mata internasional. Dengan jumlah populasi yang mencapai 42% penduduk dunia, BRICS telah menyumbang PDB sebesar 18% PDB dunia, 15% perdagangan internasional, dan 40% arus kapital global. Bahkan pada tahun 2035 diperkirakan besarnya gabungan ekonomi BRICS diharapkan akan mengalahkan ekonomi negara maju yang tergabung dalam G-7 (Lisbet, 2013).
Dalam konteks pembentukan lembaga-lembaga kerjasama regional maupun internasional, China seringkali dinilai sebagai negara yang memiliki antusiasme yang paling kuat.
Tanda pertama keinginan China untuk menjadi penggerak organisasi regional muncul pada tahun 2003–2004 ketika muncul gagasan mengenai pelembagaan ASEAN Plus Tiga (APT). China ketika itu secara eksplisit menyatakan kesediaannya untuk terlibat aktif dalam pembentukan 'Komunitas Asia Timur' pada KTT APT ke-8 yang akan diselenggarakan di Vientiane, Laos pada tanggal 29–30 November 2004 (Liu, 2016).
Dalam perkembangannya, akhirnya di tahun 2006 setelah diskusi mendalam, Brasil, Rusia, India, dan China memulai koordinasi diplomatik informal yang rutin, dengan pertemuan tahunan para Menteri Luar Negeri di sela-sela Debat Umum Majelis Umum PBB. Secara umum pertemuan ini bertujuan untuk membentuk sebuah kelompok untuk meningkatkan suara kolektif dan daya tawar mereka terhadap negara-negara maju tradisional, dalam hal ini ialah para negara G7 (Liu, 2016).
Terjadinya krisis keuangan global di tahun 2008-2009 akhirnya memberikan kesempatan bagi para kepala negara Rusia dan China untuk mensponsori pertemuan formal pertama para pemimpin BRIC pada tanggal 16 Juni 2009 di Yekaterinburg, Rusia untuk membahas berbagai isu terkait krisis keuangan dan ekonomi.

Ekonomi BRICS
Mencermati perekonomian BRICS, berdasarkan data Statista, menunjukkan bahwa China merupakan negara anggota dengan PDB terbesar diantara negara-negara BRICS lainnya, yaitu sebesar 16,86 triliun dolar AS pada tahun 2021. Sementara negara-negara lainnya berada di bawah tiga triliun dolar AS. Secara keseluruhan, blok BRICS memiliki PDB lebih dari US$25,85 triliun pada tahun 2022. Jumlah tersebut sedikit lebih tinggi daripada Amerika Serikat. Tahun 2025 ini, diestimasikan PDB kelima negara BRICS (kecuali Indonesia) mencapai US$28,03 triliun (O'Neill, https://www.statista.com/statistics, 2025).
Sebelum inisiasi BRICS ini, di tahun 2000 ukuran ekonomi BRICS tidak terlalu berbeda (kecuali China). Produk Domestik Bruto (PDB) Brasil senilai US$588 miliar, Rusia US$247 miliar, India US$474 miliar. Sementara itu, PDB China telah mencapai US$1.080 miliar.
Pada tahun 2015, kesenjangannya semakin melebar. PDB nominal Brasil diperkirakan sebesar US$1,799 triliun (peringkat ke-9 dunia), Rusia US$1,235 triliun (peringkat ke-15), India US$2,182 triliun (peringkat ke-7), dan Afrika Selatan US$323,8 miliar (peringkat ke-34). Padahal untuk tahun tersebut PDB nominal China telah mencapai $11,212 triliun. Jumlah ini menempatkan China sebagai peringkat kedua dunia. Karenanya dapat terlihat bahwa, kesenjangan antara China dan Afrika Selatan sangat besar, sekitar 13,5 kali lipat. Sementara dengan tiga anggota lainnya juga memiliki kesenjangan 5–8 kali lipat terhadap China (Liu, 2016).
Pada masa awal-awal negara-negara ini melakukan pertemuan di tahun 2006, tercatat bahwa total PDB keempat negara BRIC (Brazil, Rusia, India dan China) baru sebesar US$5,9 triliun. Tahun 2009 meningkat menjadi US$10,74 triliun. Ketika Afrika Selatan bergabung di tahun 2010, total PDB negara-negara BRICS menjadi US$12,1 triliun. Ketika terjadi pandemi di tahun 2020, total PDB kelima negara BRICS mencapai US$21,1 triliun (O'Neill, https://www.statista.com/statistics, 2025).
Besaran PDB ini juga dibarengi oleh jumlah penduduk yang cukup besar. Pada tahun 2006, total populasi negara-negara BRIC mencapai 2,8 miliar orang. Tahun 2010, jumlah populasi termasuk Afrika Selatan sebesar 2,9 miliar orang. Di tahun 2025 estimasi jumlah populasi tersebut telah mencapai 3,27 miliar orang (O'Neill, https://www.statista.com/statistics, 2025).
Berangkat dari data jumlah penduduk ini, data dan estimasi nilai PDB per kapita berdasarkan harga berlaku negara-negara BRIC (tidak termasuk Afrika Selatan) selama periode 1987-2029 menunjukkan tren kenaikan. Hal ini terutama terjadi pada China dan India secara eksponensial. Sedangkan untuk Rusia dan Brazil, meski data menunjukkan kondisi yang cukup berfluktuatif, namun data dan estimasi tren masih memperlihatkan tren kenaikan secara logaritma (Statista, 2024).
Masih merujuk pada data Statista, laju pertumbuhan ekonomi (PDB) riil untuk kelima negara anggota BRICS menunjukkan bahwa tren penurunan selama periode tahun 2000-2030. Namun apa bila dilihat berdasarkan pada kondisi pasca pandemi di tahun 2020, laju pertumbuhan ekonomi pada keempat negara menunjukkan kondisi yang lebih landai. Sementara khusus China, data dan estimasi menunjukkan tren penurunan yang lebih dalam.
Kondisi ini sebenarnya agak bertolak belakang dengan tahun 2020, saat pandemi memasuki masa puncaknya. Keempat negara anggota BRICS mengalami pertumbuhan minus sebagaimana juga dirasakan oleh banyak negara lainnya termasuk Indonesia. Namun pada tahun tersebut China masih mengalami pertumbuhan yang positif sebesar 2,34% (O'Neill, https://www.statista.com/statistics/, 2025).
Perdagangan
Mencermati keberadaan Indonesia dalam komunitas BRICS, maka hal pertama yang dapat kita lihat adalah bagaimana neraca perdagangan Indonesia dengan para negara anggota BRICS lainnya. Berdasarkan data UN Comtrade sepanjang tahun 2017-2024, menunjukkan data yang menyedihkan. Hanya dengan India, sepanjang periode tersebut neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Sebaliknya dengan Brazil, perdagangan Indonesia pada periode tersebut mengalami defisit. 
Neraca dengan Cina dan Afrika Selatan, Indonesia hanya mengalami surplus pada satu tahun saja. Perdagangan Indonesia dengan Cina mengalami surplus di tahun 2023. Sementara dengan Afrika Selatan, Indonesia mengalami surplus hanya di tahun 2017. Sedangkan dengan Rusia, hanya 2 tahun yang mengalami surplus. Neraca perdagangan dengan Rusia mengalami surplus di tahun 2020-2021.
Memasuki tahun 2025, laporan BPS menyebutkan bahwa dari total nilai ekspor Indonesia Januari–Agustus 2025 sebesar US$185,13 miliar dan nilai impor Januari–Agustus 2025 senilai US$155,99 miliar, neraca perdagangan Indonesia Januari–Agustus 2025 mengalami surplus US$29,14 miliar (Badan Pusat Statistik, 2025).
Dari total tersebut, laporan yang sama menyebutkan bahwa pada periode tersebut, Cina tetap merupakan negara tujuan ekspor non migas terbesar, mencapai US$40.442,4 juta. Sedangkan nilai impor non migas dari Cina sebesar US$54.762,2 juta. Dengan demikian, Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan dengan Cina. Dengan India, tercatat nilai ekspor non migas Indonesia pada periode tersebut mencapai US$12.588 juta dan nilai impor non migas sebesar US$3.118 juta. Data ini sekaligus menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan India masih terlihat surplus (Badan Pusat Statistik, 2025).
Data Kementerian Perdagangan juga menunjukkan bahwa, nilai ekspor Indonesia ke Rusia untuk periode Januari-Agustus 2025 yaitu sebesar US$1,26 miliar. Sedangkan untuk nilai impor tercatat sebesar US$2,03 miliar atau mengalami defisit sebesar US$0,77 miliar. Neraca perdagangan Indonesia dengan Brazil tercatat defisit sebesar US$1,37 miliar, dimana nilai ekspor Indonesia hanya mencapai US$1,51 miliar dan impor mencapai US$2,9 miliar (Kementerian Perdagangan RI, 2025).
Data ini sekaligus menunjukkan bahwa, posisi Indonesia dalam BRICS khususnya dalam soal perdagangan, masih sangat lemah. Padahal pemerintah Indonesia selama ini selalu menyampaikan bahwa perdagangan Indonesia masih berada pada posisi surplus.
Memang, total perdagangan Indonesia masih mengalami surplus, namun tidak dalam komunitas BRICS. Lantas bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia memanfaatkan keanggotaannya dalam upaya meningkatkan kinerja perdagangan?
Daya Saing
Berangkat dari keinginan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja perdagangan dengan negara-negara BRICS lainnya, maka adalah penting untuk melihat produk-produk apa saja yang selama ini menjadi keunggulan dari negara-negara BRICS lainnya. Hal ini tentunya bertujuan agar strategi industri dan promosi perdagangan Indonesia khususnya dengan sesama anggota BRICS di massa mendatang tidak merupakan hal yang sia-sia.
Terkait hal tersebut, maka salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan melihat hasil perhitungan RCA atas produk-produk ekspor unggulan negara-negara BRICS tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Visi Teliti Saksama tahun 2025 atas berbagai produk dengan kode HS 2 digit, menunjukkan bahwa untuk Brazil selama periode 2017-2024 memiliki 31 kelompok produk yang memiliki daya saing. India, memiliki 44 kelompok produk. China, memiliki 45 kelompok produk ekspor unggulan. Afrika Selatan terdapat 23 kelompok produk. Sementara Rusia, untuk periode 2017-2021 memiliki 15 kelompok produk unggulan.
Mencermati berbagai produk-produk unggulan di negara-negara BRICS, survei yang dilakukan oleh Statista-Dalia Research tentang "Made-In-Country Index" pada tahun 2017 menunjukkan persepsi atas produk-produk dari 49 negara ditambah Uni Eropa, dengan 43 ribu orang sampel dari 52 negara menunjukkan hasil yang menarik. Setidaknya untuk mengetahui kenapa produk-produk dari sebuah negara menjadi sangat kompetitif di pasar dunia. Variabel yang dilihat pada survei ini ialah kualitas, standar keamanan, nilai uang atas produk tersebut (value for money), keunikan, desain, teknologi yang digunakan (advanced technology), autotifikasi, keberlanjutan, fair production dan simbol status.
Hasil survei ini memperlihatkan bahwa untuk produk-produk dari India Di tingkat internasional, produk-produk India diasosiasikan dengan keahlian yang unik dan autentik, terutama di sektor tekstil dan kerajinan tangan (Statista, 2024).
Persepsi lain atas produk-produk India dari survei ini juga menyebutkan bahwa India memiliki sektor sumber daya berkelanjutan yang sedang berkembang pesat, dan banyak merek menekankan penggunaan bahan baku organik dan bersertifikat fairtrade untuk memenuhi permintaan merek global. produk-produk India tidak dianggap seandal produk-produk dari negara-negara maju seperti Jerman. beberapa merek India telah mendapatkan pijakan di luar negeri, persepsi "India" sebagai merek masih berkembang secara global, dan banyak yang belum setara dengan label global utama dalam hal prestise (Statista, 2024).
Terhadap produk China, hasil survei ini menyebutkan bahwa konsumen global paling sering mengaitkan produk buatan China dengan rasio harga-kinerja yang sangat baik. Studi ini juga menemukan bahwa meskipun peringkat umum China hanya berada pada posisi 49 dari 52 negara yang disurvei dengan reputasinya sebagai produsen yang bernilai tinggi. Sehingga dapat dikatakan produk-produk China memang memiliki harapan yang baik untuk dapat berkembang di kemudian hari merupakan harapan (Statista, 2024). Dimana, kini di tahun 2025, harapan tersebut semakin nyata dalam pasar dunia.
Sementara itu, pada produk-produk Brazil, survei ini menunjukkan bahwa produk-produk negara ini relatif cukup murah. Hal ini ditunjukkan dari survei mengenai variabel very good value for money yang berada di atas rata-rata dalam survei ini. Hal lain yang menarik dari produk-produk Brazil adalah variabel tingkat keunikan dan fair production, autentisitas dimana atas variabel-variabel tersebut meski hanya berselisih 1% di bawah rata-rata hasil survei ini.
Survei ini juga menunjukkan bahwa persepsi atas produk-produk Rusia memiliki tingkat teknologi yang sangat maju (Advance Technology). Tingkat teknologi ini juga dipersepsikan oleh para responden berada di atas rata-rata survei ini secara keseluruhan. Selain itu, produk Rusia juga dipersepsikan memiliki prestise dan keunikan tersendiri ketika digunakan. Sedikit (1%) di bawah tingkat rata-rata, variabel autentisitas dan standar keamanan produk yang tinggi juga menjadi penilaian atas produk-produk Rusia di pasar internasional (Statista, 2024).
Hilirisasi
Dengan posisi neraca perdagangan yang sebagian besar masih terjadi defisit dengan negara-negara BRICS lainnya, maka tentunya diperlukan sebuah komitmen yang didukung oleh para pihak di dalam negeri untuk mampu mengembangkan produk-produk yang memiliki daya saing serta memiliki pasar yang luas di dalam komunitas BRICS. Salah satunya adalah dengan pelaksanaan hilirisasi secara lebih serius.
Dalam dokumen RPJMN 2025-2029 sebagai salah satu bentuk turunan dari asta cita presiden menyebutkan, dalam prioritas ke 5 pembangunan ialah melanjutkan hilirisasi dan mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa Prioritas Nasional 5 ditujukan untuk membangun fondasi industrialisasi yang bernilai tambah tinggi di dalam negeri, terintegrasi antarwilayah, dan berdaya saing global sehingga mampu menjadi pengungkit perekonomian regional dan nasional (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2025).
Lebih lanjut disebutkan dalam dokumen itu yang terkait hilirisasi dan peningkatan daya saing disebutkan bahwa pengembangan industri nasional yang berorientasi ekspor mencakup (a) pengembangan industri medium-high technology (industri semikonduktor yang merupakan salah satu produk prioritas hasil hilirisasi silika, industri kosmetik dan farmasi, industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, industri dirgantara, serta industri mesin dan perlengkapan); (b) penguatan produktivitas industri padat karya terampil (industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil, serta industri alas kaki); (c) penguatan industri dasar (industri kimia mencakup hilirisasi komoditas minyak bumi, gas bumi, dan batu bara serta industri logam dasar besi dan baja mencakup hilirisasi komoditas besi dan baja); serta (d) pengembangan sektor jasa industri sebagai enabler bagi pengembangan industri nasional (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2025).
Namun dalam pelaksanaan hilirisasi tersebut, tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi dan diselesaikan. Mulai dari regulasi, birokrasi hingga infrastruktur yang dibutuhkan.
Dalam soal tantangan regulasi dan birokrasi prasyarat tersebut, Meskipun Pemerintah telah menyederhanakan proses membuka usaha baru dan berinvestasi melalui Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko, akan tetapi masih terdapat permasalahan tidak mendukungnya regulasi terhadap kegiatan bisnis secara umum. Sementara masalah lain juga muncul dari faktor ekternal. Dimana antaranya tantangan geopolitik dan ekonomi.
Tantangan geopolitik ikut serta mendorong masih sulitnya investasi untuk hadir di Indonesia. Tantangan ini hadir dalam bentuk eskalasi konflik di Rusia danUkraina dan di kawasan Timur Tengah. Sementara untuk tantangan ekonomi seperti perlambatan perekonomian negara mitra seperti perlambatan ekonomi di negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat dan Jepang yang tentunya memberikan pengaruhterhadap permintaan produk-produk hilirisasi ekspor (Kementerian Investasi dan Hilirisasi / Badan Koodinasi Penanaman Modal, 2024).
Berangkat dari kondisi tersebut, nampaknya keinginan untuk menjadikan keanggotaan Indonesia di dalam komunitas BRICS sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia dan kerjasama ekonomi bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Terlebih untuk membalikkan defisit neraca perdagangan dengan sejumlah negara BRICS.
Sebaliknya, tantangan terbesar justru muncul yaitu dimana Indonesia semakin berpotensi terbuka sebagai pasar atas produk-produk dari negara-negara BRICS lainnnya. Kalau ini yang terjadi, maka keanggotaan dalam BRICS hanya mengulang “kesalahan” dalam berbagai lembaga kerjasama ekonomi dan perdagangan dimana Indonesia menjadi salah satu anggota di dalamnya.
Referensi: