c

Selamat

Senin, 17 November 2025

OPINI

05 November 2024

17:00 WIB

Cerita Libido Kekuasaan Di Negeri Dongeng

Bagi warga negeri dongeng, pemimpin adalah yang dekat dengan warga, memberikan bantuan sosial, dan membangun fisik yang nyata dan megah.

Penulis: Lukas Rumboko Wibowo, Kresno Agus Hendarto, M. Iqbal

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Cerita Libido Kekuasaan Di Negeri Dongeng</p>
<p id="isPasted">Cerita Libido Kekuasaan Di Negeri Dongeng</p>

Ilustrasi simbol demokrasi atau otokrasi. Shutterstock/Dmitry Demidovich

Negeri dongeng adalah suatu negeri yang terletak di antah-berantah nun jauh di sana. Namun, walau kata orang dikatakan sebagai negeri fiksi, banyak orang dan hampir masyarakat di seantero dunia ini, khusus Asia, seperti Indonesia, tidak menampik pentingnya negeri dongeng untuk di perbincangkan. 

Memperbincangkan negeri dongeng tidak hanya dilakukan oleh para leluhur dan para orang tua dewasa, tetapi bahkan juga anak-anak akan sangat antusias untuk mendengarkan ragam dongeng dari orang tuanya. Cerita-cerita unik yang terjadi di suatu negeri dongeng bahkan hampir setiap malam dituturkan para orang tua kepada anak-anak dan cucunya, baik sebelum tidur maupun menjelang tidur.

Menariknya, anak-anak pun menelan cerita-cerita unik tersebut dan membawanya dalam alam tidurnya. Begitu bangun, para anak-anak tersebut kemudian menceritakan kembali kepada anak-anak yang lainnya secara berantai. Apa yang sebenarnya membuat cerita dari negeri dongeng menarik?

Dongeng, walaupun tidak pernah bisa menjadi legenda, bisa melegenda dan bahkan menjadi mitos yang tertanam dalam benak sanubari masyarakat, puluhan bahkan ribuan tahun. Dongeng Roro Jongrang, Ratu Pantai Selatan, dan Sangkuriang, misalnya, sampai saat ini hidup dalam kehidupan masyarakat. 

Personalitas Otoriter
 Alkisah, negeri antah-berantah yang sangat menganggung-agungkan demokrasi, terutama paska masyarakatnya berhasil meluluhlantakan demagogi politik personalism, ortoriterisme, represi dan ekploitasi eksesif, justru kini kemudian merindukan kembali era ketika otoritarianisme yang menindasnya puluhan tahun lalu. 

Mereka merindukan kembali kestabilan politik. Mereka merindukan kembali pembangunanisme negara yang masif. Mereka mendambakan kesantunan dan ketenangan politik. Perbedaan pendapat dan pembangkangan adalah tabu dan justru akan dianggap merusak ketenangan politik.

Bagi warga negeri dongeng tersebut, tidak masalah bila kemudian pemimpin mereka akan menggunakan semua perangkat kekuasaannya untuk memadamkan sel-sel perlawanan aktif yang menentang berbagai kebijakan pemimpin mereka. 

Bagi warga negeri dongeng, pemimpin adalah yang dekat dengan warga, banyak memberikan bantuan sosial dan membangun fisik yang nyata dan megah. Warga pun mendukung bila pemimpin mereka kemudian harus bertindak otoriter untuk memadamkan berbagai kekuatan kekuatan perlawanan warga. 

Kemunculan personality otoriterisme (the Authoritharian personality) di negeri dongeng tersebut, justru ditopang oleh relasi hirarkikhal yang "well-established’"  dan etika kesantunan yang terbutakan. 

Alih-alih masyarakat menentang, justru kalau ada sebagian kecil komunitas yang melawan, stigma subversif disematkan negara pada kelompok-kelompok pembangkang tersebut. Bahkan, sebagian besar masyarakat mengamini labelisasi tersebut. 

Kalau ada yang ditangkap, masyarakat menyanjung. Kalau ada yang dihilangkan, masyarakat menyorak. Presiden negeri dongeng pun tidak dicaci, tetapi justru dibela dan dikultuskan, serta ditempatkan sebagai pemimpin besar. 

Beras yang berlimpah, jalan-jalan yang mulus, kedekatan dengan rakyatnya melalui berbagai program komunikasi massa basis yang disorot banyak media, pelan-pelan semakin menggerus dan menggerogoti kesadaran dan nurani warga. Bagi warga, pemimpin adalah "junjungan", yang tidak pernah salah.

Hegemonisasi atas kesadaran warga telah membius dan mengamputasi sikap kritis dan keberanian warga untuk sekedar bersuara berbeda. Akibatnya, presiden negeri dongeng tersebut, yang dulunya dilahirkan oleh demokrasi, leluasa untuk menggembosi, mengerdilkan dan menumpulkan kekuatan kekuatan dan sel sel aktif demokrasi. 

Meskipun demikian, wajah, dan karakter personalitas otoriterisme presiden dongeng, tampak tetap tidak menakutkan, populis, dan merakyat.  

Munculnya Para Legenda Otoriterisme
 Tidak kalah menarik dengan cerita negeri dongeng, adalah menarik untuk mengupas dan menyelisik kemunculan otoriterisme di negeri-negeri nyata. Sinolog Amerika Wright (1962) menyebutkan salah satu ciri-ciri masyarakat di Asia Timur, seperti Tionghoa tradisional, adalah adanya “ketaatan ketat pada otoritas’’ (orang tua atau atasan).

Ketaatan ketat ini kemudian melahirkan apa yang disebut orientasi otoriter. Bagi Chien (2013) orientasi otoriterisme merupakan salah satu karakter negatif yang bisa membahayakan, baik dalam relasi keluarga maupun organisasi.  Artinya, kepribadian otoriter berkembang dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah tertentu, serta terkait erat dengan ideologi perkembangan politik (Chien, 2016).

Tidak mengherankan bila kemudian banyak bermunculan legenda-legenda pemimpin otoriterisme. Siapa tidak mengenal Genghis Khan, Napoleon Bonaparte, Queen Elizabeth I, Richard Nixon, dan Adolf Hitler? Kemudian, Mubarak dari Mesir, Robert Mugabe dari Zimbabwe, dan Kadafy dari Lybia?  

Dari para sosok legendaris tersebut, ada yang sejak awal dilahirkan otoriter, namun tidak sedikit juga yang justru awalnya anti-otoriter, kemudian bermutasi menjadi otoriter. Mugabe, yang lahir pada 21 Februari 1924 di Kutama, (Harare), misalnya, dulu adalah pejuang melawan penindasan penguasa kulit putih. Namun, ketika dia berkuasa, justru menjadi pemimpin otoriter yang kejam. 

Bahkan, tidak sedikit pemimpin yang sebelumnya demokratis, bermutasi dan mampu membangun varian otoriterisme yang lebih sahih. Mereka berhasil mencangkokkan varian otoriterisme baru dalam sistem dan struktur sosial, hukum, dan politik masyarakat. 

Pada 1930-an, Kurt Lewin, Bapak Psikologi Sosial, mengidentifikasi tiga tipe pemimpin: laissez-faire, otoriter, dan demokratis. 

Pertama, kepemimpinan ‘’Laissez-faire’’ memberikan kebebasan total kepada anggota kelompok untuk menyuarakan berbagai opini dan kepentingannya. Deliberasi otonom justru difasilitasi oleh pemimpin atau pun presidennya.

Kedua, berbeda diametral, kepemimpinan otoriter menempatkan presiden untuk berkuasa penuh. Pemimpin otoriter cenderung mengabaikan ide-ide baik orang lain. Gaya ini juga dapat menimbulkan kebencian dan stres (Carlin 2019).

Ketiga, kepemimpinan demokratis yang selalu memberi keseimbangan tanggung jawab pengambilan keputusan antara kelompok dan pemimpin. Dalam gaya ini, pemimpin tetap mempunyai tanggung jawab akhir atas keputusan kelompok (Carlin, 2019).

Dari ketiga jenis kepemimpinan ini, tentunya semua menawarkan banyak harapan dan janji-janji yang manis manis. Otoriterisme menawarkan kestabilan dan kemegahan; "Laissez-faire" menawarkan kemerdekaan individu; dan demokrasi menawarkan relasi dialogis antar warga dan pemimpinnya. 

Namun, jangan lupa, otoriteris mampu berwajah demokratis dan sebaliknya. Akhirnya, tinggal rakyat yang memilih mana yang terbaik sesuai nuraninya. 

*) Ketiga penulis merupakan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja. 


Referensi:
Chien, Chin-Paru. 2016. Melampaui Kepribadian Otoriter: Teori Inklusif Budaya dari Orientasi Otoriter Tiongkok. Psikol Depan. 2016; 7: 924. doi:  10.3389/fpsyg.2016.00924
Chien C.-L. (2013). Konseptualisasi dan Studi Empiris tentang Orientasi Otoriter Tiongkok: Pendekatan Pribumi . Disertasi doktoral yang tidak diterbitkan, Universitas Nasional Chengchi, Taipei, Taiwan (dalam bahasa Cina)
Carlin, D. 2019. Demokratis, Otoriter, Laissez-Faire: Tipe Pemimpin Seperti Apa Anda?
Wright AF (1962). Nilai, peran, dan kepribadian , dalam Confucian Personalities , eds Wright AF, Twitchett D. (Stanford, CA: Stanford University Press; ), 3–23.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar