31 Januari 2025
15:00 WIB
Apa Yang Perlu Dipelajari Dari Kegagalan Bukalapak?
Bukalapak yang dulunya merupakan raksasa e-commerce Indonesia dan didapuk sebagai unicorn, kini menutup penjualan produk fisiknya. Apa yang perlu dipelajari dari hal ini?
Penulis: Akbar Ramadhan
Editor: Rikando Somba
Bukalapak merupakan salah satu perusahaan perdagangan elektronik Indonesia.Shutterstock/Mojahid Mottakin
Dulu, Bukalapak pernah jadi salah satu raksasa e-commerce di Indonesia. Tahun 2014, platform ini berjaya dan bahkan sempat menyabet penghargaan bergengsi, termasuk The Best E-Commerce dari CNBC Indonesia pada 2019. Kejayaan ini juga masih terlihat dari Initial Public Offering (IPO) atau penawaran saham perdana emiten berkode BUKA yang dilaksanakan pada 6 Agustus 2021. Hasil IPO Bukalapak mencatatkan perolehan investasi sebesar Rp21,3 triliun
Namun, siapa sangka, kini Bukalapak yang sempat disebut sebagai unicorn-nya usah rintisan atau start up Indonesia, resmi menutup lini jual-beli produk fisiknya.
Sebenarnya, tanda-tanda kesulitan Bukalapak sudah terlihat sejak 2019, jauh sebelum mereka masuk ke lantai bursa. Saat itu, mereka melakukan PHK terhadap sekitar 100 karyawan.
Ini jadi sinyal bahwa ada masalah serius di dalam perusahaan. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, Bukalapak terus merugi. Padahal, sebuah bisnis bisa dikatakan sehat jika terus bertumbuh secara positif. Bila terus merugi? Ya, bisa jadi pertanda ke arah kebangkrutan atau penutupan.
Dari laporan keuangan 2019–2024, Bukalapak memang mengalami tren kerugian yang cukup panjang. Tahun 2019, perusahaan mencatat rugi Rp2,80 triliun. Tahun 2020 dan 2021, kerugiannya masing-masing Rp1,35 triliun dan Rp1,68 triliun. Lalu, di tahun 2022, sempat ada titik cerah dengan keuntungan Rp1,98 triliun, kemungkinan berkat efisiensi dan diversifikasi bisnis.
Sayangnya, keuntungan itu tak bertahan lama. Tahun 2023, Bukalapak kembali merugi Rp1,38 triliun. Dan, per September 2024, angka kerugian sudah mencapai Rp0,59 triliun.
Lantas, apa penyebabnya?
Salah satu faktor utama adalah strategi “bakar uang” yang selama ini jadi andalan startup. Promo cashback, gratis ongkir, bonus driver—semuanya butuh modal besar. Strategi ini memang membuat bisnis berkembang cepat, tapi bila tak diiringi dengan profitabilitas, lama-lama bisa menjadi beban.
Dalam perang e-commerce, biasanya hanya ada satu atau dua pemenang yang bisa bertahan dan mendominasi pasar. Sayangnya, Bukalapak kurang kuat bersaing di arena ini.
Menurut data Statista pada Februari 2024, Bukalapak hanya menempati posisi kelima dalam jumlah kunjungan situs e-commerce di Indonesia. Shopee masih menjadi raja dengan 227,6 juta kunjungan per bulan. Di urutan kedua ada Tokopedia 95,6 juta). Kemudian di bawahnya ada Lazada (43,6 juta), dan Blibli (23,1 juta). Bukalapak? Hanya 4,2 juta kunjungan—terpaut jauh dari para pesaingnya.
Fenomena ini bukan cuma dialami Bukalapak. Beberapa tahun terakhir, industri e-commerce Indonesia mengalami bubble burst, alias gelembung ekonomi yang meledak. Beberapa e-commerce lain juga gulung tikar, seperti JD.id yang tutup Maret 2023 dan Elevenia yang berhenti beroperasi sejak Desember 2022. Bahkan Tanihub, yang fokus di produk pertanian, juga menutup layanan e-commerce-nya pada Maret 2022.
Fenomena bubble burst ini terjadi akibat pertumbuhan industri yang terlalu cepat, baik saat sektor terkait sedang mengalami booming di awal kemunculannya maupun dalam kondisi khusus, seperti pandemi Covid-19 pada 2020–2021.
Ketika pembatasan sosial diberlakukan, belanja online melonjak drastis, mendorong perusahaan e-commerce untuk bersaing menarik pelanggan melalui strategi “bakar uang” dan ekspansi besar-besaran, termasuk perekrutan tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun, ketika situasi kembali normal dan persaingan semakin ketat, banyak perusahaan yang kesulitan mempertahankan model bisnisnya, hingga akhirnya tak mampu bertahan.
Tren kunjungan e-commerce menunjukkan bagaimana industri ini berkembang. Pada 2019, total kunjungan ke situs jual-beli di Indonesia mencapai 3,53 miliar, lalu melonjak menjadi 4,55 miliar di 2020 karena pandemi. Tahun 2021 masih tumbuh ke 4,86 miliar, tetapi mulai turun ke 4,82 miliar pada 2022 karena orang-orang kembali belanja di toko fisik. Namun, tahun 2023 kembali mencatat lonjakan ke 5,67 miliar, menunjukkan bahwa e-commerce tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat.

Apa Hubungannya Bubble Burst Dengan Bukalapak?
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Bukalapak bisa dibilang salah satu pemain besar di dunia e-commerce Indonesia, bersaing ketat dengan Tokopedia dan Shopee. Data dari iPrice Indonesia mencatat, pada 2018 jumlah kunjungan tahunan Bukalapak mencapai 1,4 miliar. Angka ini menempatkannya sebagai e-commerce dengan trafik terbesar kedua setelah Tokopedia saat itu.
Masuk ke masa pandemi 2020–2021, tren belanja online meningkat pesat. Bukalapak pun meresponsnya dengan strategi ekspansi agresif.
Mereka semakin gencar menerapkan strategi bakar uang—memberikan berbagai promo, diskon, dan subsidi untuk menarik pengguna—yang didukung oleh suntikan dana dari investor. Selain itu, jumlah karyawan juga diperbanyak. Pada 2020, Bukalapak memiliki 1.810 karyawan, lalu melonjak jadi 2.236 pada 2021.
Namun, strategi ini ternyata tak berjalan sesuai harapan. Sejak 2019, jumlah pengunjung Bukalapak justru mengalami penurunan drastis. Pasca 2018, terjadi tren negatif yang dialami Bukalapak. Jumlah pengunjung tahunan yang terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2019 hingga 2024, jumlah pengguna Bukalapak menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Pada tahun 2019, platform ini memiliki 823,5 juta pengguna. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, jumlah ini terus menurun.
Baca Juga : Pendanaan Seret, Ekonom Khawatir Tech Winter Terjadi Lagi Di 2025
Pada tahun 2020, pengguna Bukalapak turun menjadi 463 juta, diikuti oleh penurunan lebih lanjut ke 375,2 juta pada tahun 2021. Tren ini berlanjut pada tahun 2022, dengan jumlah pengguna tercatat sebesar 255,6 juta. Pada tahun 2023, angka tersebut menyusut menjadi 168,2 juta, dan akhirnya mencapai titik terendah pada tahun 2024 dengan hanya 53 juta pengguna.
Di sinilah dampak bubble burst mulai terasa. Investor yang selama ini rajin menyuntikkan modal mulai menarik diri karena bisnis Bukalapak terus merugi. Perusahaan yang selama ini bertahan dengan dana investor pun terpaksa mengurangi promo dan diskon sedikit demi sedikit. Akibatnya, daya tarik platform menurun, pelanggan beralih ke kompetitor, dan situasi makin sulit.
Sebagai langkah bertahan dan efisiensi, Bukalapak mulai melakukan perampingan karyawan (layoff). Pada 2022, jumlah karyawan turun menjadi 1.815 orang, lalu menyusut lagi menjadi 1.538 di 2023. Dan, pada 2024 hanya tersisa 1.219 orang. Sayangnya, langkah ini tak cukup untuk menyelamatkan Bukalapak dari tekanan finansial. Akhirnya, perusahaan mengambil keputusan besar: menutup lini bisnis e-commerce mereka.
Keputusan ini sebenarnya cukup masuk akal. Dalam persaingan e-commerce yang semakin ketat, hanya segelintir perusahaan besar yang mampu bertahan. Sementara itu, investor juga semakin selektif dalam menyalurkan dananya. Jika terus bertahan dalam kondisi rugi berkepanjangan, Bukalapak justru bisa semakin terpuruk. Maka, daripada terus menanggung beban yang semakin berat, menutup bisnis e-commerce bisa jadi pilihan terbaik yang tersisa.

Apa Yang Menyebabkan Pamor Bukalapak Turun?
Mengulang hal sebelumnya, Bukalapak pernah berjaya sebagai salah satu e-commerce terbesar di Indonesia. Bahkan, pada 2018, startup berkelas unicorn ini menduduki peringkat kedua layanan e-commerce dengan jumlah kunjungan terbanyak setelah Tokopedia.
Namun, kejayaan itu ternyata tak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, jumlah pengunjung Bukalapak terus merosot, pendapatan ikut tergerus, dan pada akhirnya, perusahaan ini harus menutup layanan e-commerce-nya pada Januari 2025.
Lalu, apa yang sebenarnya membuat Bukalapak ditinggalkan konsumennya? Jika melihat berbagai diskusi di platform interaktif seperti Quora, ada beberapa alasan utama yang sering disebutkan.
Pertama, promo yang kurang menggiurkan. Jika dibandingkan dengan kompetitor seperti Shopee dan Tokopedia, promo di Bukalapak dianggap kurang menarik. Para pesaingnya terus memberikan diskon besar-besaran, cashback, serta gratis ongkir hampir tanpa batas. Sementara itu, promo di Bukalapak cenderung lebih sedikit dan kurang agresif, sehingga tak cukup menarik perhatian pelanggan.
Kedua, biaya ongkir lebih mahal. Salah satu keluhan utama pengguna adalah ongkos kirim di Bukalapak yang sering kali lebih mahal dibandingkan harga resmi dari kurir. Ini menjadi masalah besar, terutama bagi pelanggan yang sensitif terhadap harga dan terbiasa mendapatkan subsidi ongkir di platform lain.
Baca juga: Pembiayaan Modal Ventura 2024 Terus Tertekan, OJK Imbau Potensi Tech Winter 2025
Ketiga, minimnya iklan dan promosi. Dalam dunia bisnis digital, eksistensi di media sangatlah penting. Sayangnya, Bukalapak terkesan kurang aktif dalam beriklan dibandingkan pesaingnya. Tokopedia dan Shopee, misalnya, gencar melakukan promosi di berbagai platform, mulai dari televisi, media sosial, hingga papan reklame di ruang publik. Sementara itu, Bukalapak lebih jarang terlihat, membuatnya semakin tenggelam di tengah persaingan yang semakin ketat.
Keempat, tampilan aplikasi yang kurang menarik. User experience (UI/UX) yang nyaman adalah faktor penting dalam e-commerce. Sayangnya, banyak pengguna mengeluhkan bahwa tampilan dan navigasi Bukalapak terasa kurang intuitif dan tak user-friendly. Hal ini membuat pengalaman berbelanja di platform ini terasa lebih ribet dibandingkan dengan kompetitor yang memiliki desain lebih modern dan mudah digunakan.
Kesalahan-kesalahan ini membuat Bukalapak kehilangan daya saingnya secara perlahan. Konsumen yang dulu setia akhirnya mulai berpindah ke platform lain yang menawarkan pengalaman belanja lebih menarik dan menguntungkan.
Pada akhirnya, dalam dunia e-commerce yang penuh persaingan, sekadar punya nama besar di masa lalu tak cukup. Kecepatan beradaptasi dengan tren pasar dan kebutuhan pelanggan menjadi kunci utama untuk tetap bertahan. Bukalapak mungkin sudah berusaha, tetapi sayangnya, langkah-langkahnya tak cukup cepat dan agresif untuk menghadapi kerasnya persaingan di industri ini.

Dampak Bakar Uang
Perkembangan teknologi digital di Indonesia telah membuka peluang besar bagi investasi dan bisnis, terutama di sektor usaha rintisan. Dengan segala kemudahan, efisiensi, dan kenyamanan yang ditawarkan, era digital mendorong pertumbuhan bisnis berbasis teknologi, termasuk e-commerce. Tak heran, Indonesia kini masuk dalam jajaran negara dengan ekosistem startup terbesar di dunia. Menurut data Startup Ranking per November 2024, jumlah usaha rintisan di Indonesia telah mencapai 2.653, menjadikannya peringkat keenam secara global.
Namun, tingginya jumlah startup ini juga berarti persaingan semakin ketat, terutama di sektor e-commerce. Untuk menarik perhatian pelanggan dan membangun loyalitas, banyak startup menerapkan strategi bakar uang—menggelontorkan dana besar untuk diskon, cashback, dan gratis ongkir demi meningkatkan transaksi serta menarik pengguna baru.
Strategi bakar uang memang sering membuat arus kas perusahaan mengalami defisit, tetapi bukan berarti tanpa manfaat. Salah satu keuntungan yang bisa didapat adalah data pengguna. Dengan membakar uang, startup dapat mengumpulkan data perilaku konsumen, preferensi belanja, hingga pola transaksi, yang nantinya bisa menjadi aset berharga untuk menarik investor atau mengembangkan layanan yang lebih personal. Itulah mengapa banyak usaha rintisan tetap menjalankan strategi ini meskipun harus merugi dalam jangka pendek.
Namun, strategi ini juga membawa dampak ekonomi yang cukup besar. Di satu sisi, strategi bakar uang menciptakan banyak peluang kerja, terutama di bidang logistik, pemasaran digital, dan layanan pelanggan. Karena bisnis ini sangat bergantung pada suntikan dana investor, kestabilan pekerjaan menjadi tak terjamin. Jika dana investasi mulai seret, perusahaan bisa terpaksa melakukan PHK massal, seperti yang terjadi pada beberapa startup besar belakangan ini.
Kedua, persaingan tak seimbang dengan UMKM. Diskon besar dan subsidi ongkir yang diberikan e-commerce membuat harga barang di platform digital jauh lebih murah dibandingkan toko offline atau UMKM yang belum go digital. Akibatnya, usaha kecil yang tak bisa ikut dalam perang harga jadi kesulitan bersaing dan bisa terancam gulung tikar.
Ketiga, membentuk pasar yang dikuasai segelintir pemain. Dalam jangka panjang, strategi bakar uang bisa membuat pasar e-commerce menjadi oligopoli, di mana hanya segelintir perusahaan besar yang mendominasi. Shopee dan Tokopedia, misalnya, memiliki modal besar untuk terus memberikan promo dan subsidi ongkir, sehingga sulit bagi pemain baru atau kecil untuk bersaing. Setelah pesaing-pesaing kecil tersingkir, perusahaan besar ini bisa dengan mudah mengontrol pasar, menetapkan kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri, dan mempersempit peluang bagi pendatang baru.
Hati-Hati Praktik Fraud
Di tengah kondisi bubble burst yang terjadi di industri e-commerce Indonesia, praktik kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh perusahaan e-commerce atau startup secara luas berpotensi besar muncul. Seperti yang terjadi baru-baru ini, perusahaan startup di bidang teknologi pertanian, eFishery, melakukan praktik penggelembungan pendapatan dan laba.
Mengutip Bloomberg, dalam laporan investigasi FTI Consulting setebal 52 halaman yang diedarkan di antara investor dan ditinjau oleh Bloomberg News, manajemen melakukan penggelembungan pendapatan. Besarnya hamper mencapai 600 juta dollar AS atau Rp9,7 triliun selama periode Januari-September 2024. Dengan kata lain, selama periode itu, lebih dari 75% angka pendapatan yang dilaporkan ternyata palsu.
Kemudian, dalam periode Januari-September 2024, eFishery menyajikan laba sebesar 16 juta dollar AS, tetapi hasil penyelidikan menemukan Perusahaan sebenarnya menghasilkan kerugian 35,4 juta dolar AS.
Baca Juga: Sisa Dana IPO Rp9,3 T, Bukalapak Buka Suara
Mengapa fraud tersebut terjadi? Startup seperti eFishery sering bergantung pada pendanaan dari investor ventura. Untuk mendapatkan pendanaan lanjutan, mereka perlu menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan kinerja keuangan yang positif. Dengan menggelembungkan pendapatan dan laba, perusahaan bisa menciptakan ilusi keberhasilan agar investor tetap percaya dan terus menyuntikkan modal.
Fraud yang dilakukan oleh eFishery, bila ditelaah lebih jauh, dapat menjadi badai bola salju yang besar bagi perkembangan startup di Indonesia. Kasus penggelembungan pendapatan oleh eFishery dapat membuat investor global lebih skeptis terhadap usaha rintisan di Indonesia. Mereka mungkin akan lebih berhati-hati dalam berinvestasi, sehingga pendanaan bagi startup Indonesia menjadi lebih sulit. Hal ini berisiko menghambat pertumbuhan ekosistem startup di Indonesia, karena banyak startup bergantung pada investasi asing untuk berkembang.
Dari kisah tutupnya lini usaha jual-beli produk fisik Bukalapak, ada satu pelajaran penting, yakni e-commerce bukan sekadar soal bakar uang, tapi juga soal strategi jangka panjang dan adaptasi yang cepat. Tak cukup hanya mengandalkan promo dan subsidi, tetapi juga inovasi, efisiensi, dan membangun loyalitas pelanggan yang kuat.
Ke depan, siapa yang bisa bertahan dalam industri ini?
Mereka yang tidak hanya mengejar valuasi tinggi, tapi juga memastikan bisnisnya benar-benar menghasilkan keuntungan, menjadi pemain penting. Namun, yang pasti, perang e-commerce di Indonesia masih jauh dari kata selesai.
Referensi:
Antara. (2021). OVO ungkap strategi "bakar uang" berdampak bagi konsumen dan UMKM. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/2426577/ovo-ungkap-strategi-bakar-uang-berdampak-bagi-konsumen-dan-umkm pada 27 Januari 2025.
Bloomberg. (2025). Kronologi Dugaan Memoles Kinerja Keuangan eFishery. Diakses dari https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/61241/kronologi-dugaan-memoles-kinerja-keuangan-efishery pada 27 Januari 2025.
Bloomberg. (2025). Markup Pendapatan eFishery Diduga Mencapai Rp9,76 Triliun. Diakses dari https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/61054/markup-pendapatan-efishery-diduga-mencapai-rp9-76-triliun pada 27 Januari 2025.
Demand Sage. (2024). Startup Statistics 2025 (Numbers & Success Rate). Diakses dari https://www.demandsage.com/startup-statistics/ pada 28 Januari 2025.
Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. (2023). The Landscape of B2C E-Commerce Marketplaces in Indonesia. Bangkok: Economic and Social Commission for Asia and the Pacific.
Goodstats. (2023). E-Commerce Paling Banyak Dikunjungi Sepanjang 2023. Diakses dari https://goodstats.id/infographic/e-commerce-paling-banyak-dikunjungi-sepanjang-2023-aVFg5 pada 28 Januari 2025.
iPrice Indonesia. (2020). Highlight Belanja Online Indonesia 2019. Jakarta: iPrice Indonesia.
iPrice Indonesia. (2022). Peta E‑Commerce Indonesia. Diakses dari https://iprice.co.id/insights/mapofecommerce/ pada 28 Januari 2025.
Kementerian Perdagangan RI. (2024). Perdagangan Digital (E-Commerce) Indonesia Periode 2023. Jakarta: Kementerian Perdagangan RI.
Kredivo. (2023). Laporan Perilaku Konsumen e-Commerce Indonesia 2023: Pemulihan Ekonomi dan Tren Belanja Pasca Pandemi. Jakarta: Kredivo.
Negara, S. D., & Soesilowati, E. S. (2021). E-Commerce in Indonesia: Impressive Growth but Facing Serious Challenges. ISEAS-Yusof Ishak Institute, 102(2021), 1-14.
Quora. (2025). Mengapa Bukalapak jadi sepi dan kalah dari Shopee dan Tokopedia? Diakses dari https://id.quora.com/Mengapa-Bukalapak-jadi-sepi-dan-kalah-dari-Shopee-dan-Tokopedia pada 27 Januari 2025.
Rachmad, Y. E. (2022). The Influence And Impact of The Money Burning Strategy on The Future of Startups. Proceedings of the 1st Adpebi International Conference on Management, Education, Social Science, Economics and Technology (AICMEST), 1-5.