c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

OPINI

23 Mei 2023

15:30 WIB

Adaptasi Desa Tenganan Menyintas Pandemi

Mengendalikan pandemi dan eksesnya, Desa Tenganan di Bali membaurkan norma dan kepercayaan lokal dengan kebijakan pemerintah.

Editor: Rikando Somba

Adaptasi Desa Tenganan Menyintas Pandemi
Adaptasi Desa Tenganan Menyintas Pandemi
Salah seorang pengrajin Lontar di Desa Tenganan. Dok/Lukas Rumoko W

Covid-19 yang muncul pertamakali dari Wuhan, China, menjalar begitu cepat ke seluruh dunia. Penyebarannya sampai bahkan hampir ke seluruh penjuru desa di dunia. Tidak terkecuali di Bali, sebagai salah satu episentrum industri pariwisata dunia.

Desa Adat Tenganan yang dihuni oleh komunitas warga adat asli yang diistilahkan sebagai Bali Mula, juga tidak kebal dari wabah mematikan itu.  Pada awalnya, tidak terbersit pun dalam pikiran warga bahwa virus corona itu mampu menerjang Desa Adat Tenganan.  

Kepanikan warga adat Tenganan mencuat. Lemahnya sosialisasi di awal-awal kemunculan wabah ini, ditambah dengan berita di berbagai media yang menunjukkan banyaknya korban meninggal, membuat warga semakin   tegang. Terlebih ketika ada isu seorang warga Tenganan yang baru pulang dari luar naik kapal diisukan terkena. 

Suasana menjadi kian pelik. Jalan dan gang sekitar rumah  terduga pun lengang bak tak bertuan. Tidak satu orang pun warga berani mendekat. Saling curiga antar warga pun mencuat sampai aparat desa kemudian mengisolasi terduga secara mandiri. Pada akhirnya, setelah pemeriksaan medis, terduga sesungguhnya sakit bukan karena covid.

Goncangan psikis warga Adat Tenganan tersebut kian krusial saat 10 warga terpapar covid-19. Kesemuanya tidak ada yang berujung meregang nyawa.  Namun, goncangan ini juga meruyak ke industri pariwisata yang terus tumbuh di Desa Adat Tenganan. Desa yang karena keunikan budaya, serta tata pemerintahan adat menjadi sasaran kunjungan ribuan wisatawan per bulan, kini mendadak sepi. Sampai pernah tidak ada wisatawan yang berkunjung sama sekali. 

Dampaknya bisa ditebak. Sekitar 10 pengrajin daun lontar yang biasanya mendapatkan pendapaan rata-rata 3 juta rupiah akhirnya gulung tikar. Demikian juga sekitar 35 artshops yang menjajakan berbagai bahan kerajinan seperti Kain Tenun kas Pengrisingan pun terpaksa tutup. Pendapatan desa adat dari wisatawan yang puluhan juta pun raib terterpa angin. Puluhan warga yang bekerja di sektor wisata, kembali  bekerja di pertanian dan kerajinan.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi 2022 Masih Terkonsentrasi Di Jawa dan Sumatra

Artshop yang tutup semenjak ada COVID-19. Dok/Lukas Rumoko W 

Dengan sigap dan responsif, pemerintah desa administrasi dan pemerintah desa adat berkolaborasi mengisolasi dan memberikan bantuan medis yang cukup memadai. Dorongan kebijakan dari pemerintah provinsi untuk pembuatan peraturan di tingkat desa dalam pengendalian covid atau yang disebut Pararem Gering Agung dijalankan Desa Adat di Bali. Total ada 1.493 Desa Adat di sembilan Kabupaten/Kota. Kebijakan ini dijalankan sejak bulan Juni 2020 (Sari et al., 2022).

Desa Adat Tenganan merupakan salah satu desa adat kuno. Desa ini merupakan desa khas yang secara sejarah tidak terpengaruh kebudayaan dan agama hindu yang dibawa oleh Kerajaan Majapahit. Warga Desa Adat ini tidak mengenal kasta seperti desa pakraman lain di Bali. Warga Desa ini memuja Dewa Indra, yang merupakan Dewa Perang.

Keunikan desa ini telah membawa ilmuwan Belanda Victor Emanuel Korn (1933, 1960) dalam Suyadnya (2021) pada kesimpulan dengan menyebut Tenganan sebagai “de dorps republiek’, yang berarti desa yang mengatur pemerintahannya secara mandiri. Dan, Liefrinck (1927) dalam Suyadnya (2021) memperkuatnya dan bahkan menyebutnya sebagai Desa Republik, yang tatakelola pemerintahannya mendasarkan pada otoritas dan kekuasaan yang ada sebelum pengaruh Hindu masuk dari Jawa.

Desa Adat Tenganan Pegringsingan terdiri dari tiga banjar adat, yaitu: Banjar adat Kauh, Banjar adat Tengah, dan Banjar Kangin atau Banjar Pande (Rupa, 2007).

Baca juga: WHO Sebut Akhir Pandemi Covid-19 Sudah Di Depan Mata

Hibriditas Pengendalian Covid-19

Covid-19 yang menyebar cepat  memerlukan tindakan dan gerak cepat. Pemerintah provinsi dan kabupaten sampai desa bekerjasama. Namun, berbeda dengan wilayah lain, dalam pengambilan kebijkan, pemerintah merangkul Majelis Desa Adat.  Lahirlah kemudian, hibriditas kebijakan pengendalian covid-19 dengan mengintegrasikan norma dan kepercayaan lokal dengan norma kebijakan pemerintah.

Kebijakan pengendalian  ini menggunakan konsep dualitas (Rwa Bhineda) berupa  unsur  sosio-religius  sekala (kasat   mata)  dan  niskala   (tidak  kasat  mata).   Sekala merupakan  kondisi sosial ekonomi dan fisik yang terlihat, sedangkan   niskala merupakan  wilayah spiritual yang memiliki kekuatan metafisis. Upaya sekala, menurut Artajaya (2020) dilakukan oleh pemerintah daerah melalui   pembentukan  Satuan Tugas Gotong Royong pada keseluruhan desa adat di Bali, sebagaimana telah  disepakati   sebelumnya,  sesuai  Keputusan   Gubernur  Bali  bersama   Majelis  Desa  Adat (MDA) Provinsi Bali. 

Sedangkan,  upaya  niskala   dilakukan melalui permohonan keselamatan kepada Tuhan atau Ida Sanghyang Widhi Wasa (nunas ica) dan semua warga diimbau agar tinggal di rumah masing-masing, sesuai anjuran Pemerintah, yakni belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah, dengan membatasi bepergian ke luar rumah (Ngeneng-Ngening).

Di tingkat komunitas, kebijakan  pemerintah yang  mewajibkan memakai masker, menjaga jarak, membatasi kerumunan dan lainnya,  diadaptasikan dalam peraturan lokal (Pararem Gering Agung). Pendekatan hibnriditas tata pengaturan dan pengendalian covid-19 ini relatif ampuh, sehingga korbannya tidak banyak. Kepatuhan warga juga semakin kuat karena ada peran lembaga adat yang inten dalam pencegahan dan pengendalian dengan membentuk Satuan Tugas di tingkat desa untuk pendisplian warga.’Tiap hari tim satgas selalu mengontrol warga dan menerapkan kedisiplinan warga,’’ kata responden dari kepala Desa Dinas Tenganan.   

Hibriditas pengendalian juga terjadi pada level institusional dengan meleburnya program dari pemerintahan Desa Dinas dengan pemerintahan Desa  Adat. Misalnya dalam struktur Satuan Tugas Pengendalian Covid-19, bergabung aparat Desa Dinas dan Desa Adat. Dualisme dan dikotomi hanya dalam aspek teknis administratif, tetapi secara substansi program kerja seiring dan sejalan. 

Baca juga: Warga Harap KTT G20 Dongkrak Perekonomian Bali

Ekonomi Bumi

Soal situasi yang sulit di awal penyebaran covid-19, diungkapkan seorang pengrajin lontar.  Dia mengaku, selama 2 hingga 4 bulan mengalami stres luar biasa. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. ‘’Bagaimana tidak, dari biasanya  banyak turis datang dan dapat pendapatan yang lumayan, begitu pandemi sama sekali tidak ada pemasukan’’, keluh pengrajin lontar tersebut. 


Hasil produksi Nanas dan madu kemasan yang siap dijual. Dok/Lukas Rumoko W 


Di tengah-tengah rasa gundah dan stress, kemudian pengrajin lontar tersebut menenangkan diri di hutan adat. Dari sinilah dia baru sadar bahwa desanya memiliki sumberdaya alam melimpah. Munculah ide untuk mencari keberuntungan dengan mengambil air nira dari pohon aren yang banyak tumbuh, baik di Hutan Adat maupun lahan perkebunan warga.   

Masalahnya,  selama ini dia bukan lah petani dan pemanjat pohon aren. Dia hanya seorang seniman pengrajin daun lontar. Tidak mudah baginya untuk memulai menjalankan idenya tersebut. Dia harus belajar memanjat pohon arenSetelah bisa, pekerjaan membuat nira pun dijalaninya. Hampir tiap hari memanjat pohon aren dengan  hasil cukup lumayan.

Warga lain, seorang tokoh adat,  menyatakan tiap 15 hari dia dapat pendapatan tidak kurang dari Rp.700.000. Seorang Tokoh adat, bahkan menyatakan dari hasil kebun seluas 0.5 ha setiap  15 hari bisa menghasilan 1 juta rupiah dari air nira. Tetapi tergantung dari musim,  kalau musim penghujan bisa turun menjadi 50-70% hasilnya.  

Melimpahnya sumberdaya alam, bukan menjadi kutukan (resource curse). Sebaliknya  justru menjadi anugerah bagi warga adat Tenganan. “Covid-19 memang berengaruh terhadap penghasilan dari anyaman, tetapi dari madu justru ada peningkatan permintaan. Sebab madu dianggap salah satu obat corona oleh warga Bali dan penduduk lokal. Jadi ekonomi bumi lah yang membuat saya dan keluarga mampu bertahan hidup,’’ungkap petani yang merangkap peternak lebah.   

Baca juga: Tahap Awal, Gubernur Bali Targetkan 45 Ribu Hektare Pertanian Organik

Sarang lebah madu buatan dari seorang peternak lebah di Desa Adat Tenganan. Dok/Lukas Rumoko W 

 

Hal ini bisa dimengerti. Luas Desa Tenganan meliputi 917 ha. Dari luasan ini,  hutan adat (338 ha), lahan agroforestry dengan luas lebih dari 150 ha dan sawah dengan luas 255 ha. Ragam  komoditas tumbuh subur  dan menjadi basis kantong-kantong resiliensi lokal. Misalnya, dari sawah, penjualan beras bisa 250 juta dari sawah seluas 225 ha setiap kali panen.  

Di sana, ada sekitar 400 penggarap sawah dan 200 petani penggarap lahan agroforestry. Para penggarap ini sebagian besar bukan warga asli adat tetapi warga desa sekitar Tenganan, seperti  Desa Nyuh Tabel, Macang, Bebandelan, Bubuk, Pesadahan.

Tata kepengaturan sumberdaya alam komunal menjadikan distribusi manfaat menjadi aksesibel bagi semua warga. Dari wawancara dengan  tokoh adat, diketahui ada tiga sistem penguasaan lahan di Desa Adat Tenganan. Ketiganya adalah pribadi, atau individu, kemudian komunal dikuasai desa adat dan komunal dikuasai kelompok warga yang umumnya memiliki hubungan kerabat. Untuk bukti kepemilikan individu berupa pipil atau tercatat di Desa Adat. Walau individu atau pribadi, tetapi tidak sepenuhnya dimiliki karena Desa Adat memiliki kewenangan untuk intervensi dalam pengaturan dan pemanfaatan termasuk pemindahtanganan.  

Hutan adat dan lahan agroforestry yang ada di tenganan juga memiliki fungsi sosial dan kantong pengaman kehidupan warga. Durian (Durio zibethinus) adalah  salah satu tumbuhan (dari 4 jenis tumbuhan yaitu pangi, kemiri, dan tehep) yang berfungsi sosal. Warga siapa saja boleh memungut durian jatuh, namun tidak boleh dipetik di atas pohon.  

Alam atau lanskap yang bagus tersebut memiliki potensi besar untuk pengembangan ‘’ekonomi bumi’’ secara berkelanjutan, baik untuk jasa lingkungan (ekowisata/carbon trade), maupun pengembangan  padi organik, dan komoditas agroforestry, seperti nira, buah kolang kaling yang belum termanfaatkan,  juga mangga dan nanas yang melimpah.

Tidalah berlebihan bila sumberdaya alam Tenganan dapat memberi makan berlebih pada masyarakat adat yang jumlahnya sekitar 300 kepala keluarga, dengan lebih dari 600 jiwa. Warga Adat Asli Tenganan ini memiliki semacam hak privilege terhadap sumberdaya alam yang melimpah. Komunitas ini umumnya tinggal di Banjar Barat dan Tengah. 

Komunitas ini, terlindungi oleh hak-hak privilege mereka seperti akses sumberdaya alam yang luas dengan dukungan peraturan lokal (Awig-Awig), identitas budaya dan idelogi kultural dan genetic puritanism. Sehingga ketika ada krisis seperti covid, mereka masih bisa mengandalkan penguasaan lahan agroforestry dan sawah yang luas dan bantuan beras dari Lembaga Adat.  Bahkan warga desa lain pun dapat manfaatnya secara ekonomi dan sosial. 

Akhirnya, mereka pun semakin tersadarkan bahwa pariwisata adalah sektor yang paling rentan. Mereka pun seolah tersadarkan kembali bahwa ekonomi bumi lebih kuat dan ampuh dibandingkan pariwisata.

 

Daftar Pustaka

Artajaya, G. S. (2020). The Covid-19 Pandemic Perspective of Religious Literature Studies in Bali. Widyadari: Jurnal Pendidikan. Vol. 21, No. 2, hlm. 652−664.

Korn, Victor Emanuel. 1933. De Dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan. Santpoort: Uitgeverij C. A. Mees.

Korn, Victor Emanuel. 1984. “The Village Republic of Tenganan Pegeringsingan.” Dalam J. L. Swellengrebel (ed.), Bali, Studies in Life, Thought and Ritual, 301–68. The Hague and Bandung: W. van Hoove Ltd.

Liefrinck, Frederik Albert. 1889. “Bijdragen tot de kennis van het eiland Bali.”Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 33: 233–472.

Liefrinck, Frederik Albert. 1927. Bali en Lombok. Amsterdam: J. H. de Bussy.

Rupa, I.W. , and Maria, S. 2007.  Desa Tenganan Pegrisingan Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.Seri Monografi Komunitas. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni  dan Film Direktorat Kepercayaan Terhadap  Tuhan Yang Maha Esa Tahun 2007.

Sari, N.P.M., Pinatih, D.A.A.I., Juniarta, I.K., and Supriliyani, N.W., 2022. Dualitas Sekala-Niskala dalam Pararem Gering Agung: Memahami Penanganan Covid-19 Berbasis Adat dari Perspektif Kebijakan Publik di Bali. Jurnal Kajian Bali. Volume 12, Nomor 01, April 2022

Suyadnya, I.W. 2021. Interaksi Kekuasaan Adat dan Negara dalam Perspektif Masyarakat Bali Kuno Tenganan Pegringsingan. Jurnal Kajian Bali. Volume 11, Nomor 02, Oktober 2021


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar