c

Selamat

Sabtu, 18 Mei 2024

OPINI

09 September 2019

17:33 WIB

Swastanisasi Pelayanan Publik, Mengapa Tidak?

Perlu dipertimbangkan adalah perlunya dilakukan amandemen atas konstitusi, agar apa yang terjadi di masyarakat saat ini, memiliki landasan hukum yang kuat

Editor: Rikando Somba

Swastanisasi Pelayanan Publik, Mengapa Tidak?
Swastanisasi Pelayanan Publik, Mengapa Tidak?
Ilustrasi warga mengambil air di sebuah kolam di Desa Parakanlima, Lebak, Banten, Senin (2/9/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Oleh: Nugroho Pratomo*

Sebagai salah satu tugas pemerintah, penyediaan pelayanan akses fasilitas publik bagi masyarakat, menjadi salah satu hal yang penting. Terlebih jika fasilitas publik tersebut terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti air. Pelayanan terhadap penyediaan fasilitas publik pada dasarnya juga tidak semata terkait dengan kebutuhan dasar. Misalnya, masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan sehari-sehari, seperti belanja, rekreasi dan olahraga. Hal inilah yang diharapkan mampu dipenuhi oleh pemerintah, baik pusat dan daerah.

Sayangnya, upaya pemenuhan berbagai fasilitas publik tersebut seringkali tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan berbagai alasan keterbatasan, pada akhirnya pemenuhan kebutuhan atas fasilitas publik tersebut dipenuhi oleh pihak swasta.

Meski dalam konstitusi Indonesia (UUD 45), masih secara eksplisit disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, namun kegagalan negara untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut pada akhirnya seringkali menimbulkan dilematis.

Pada satu sisi, konstitusi mengamanatkan demikian. Namun ketika pemerintah selaku penyelenggara negara masih gagal menjalankan tugasnya tersebut, permintaan untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut harus tetap berlangsung. Jadi, mau tidak mau, keterlibatan swasta menjadi salah satu alternatif yang harus ditempuh.

Adanya keterlibatan pihak swasta, baik secara langsung dalam bentuk bisnis utamanya maupun yang disalurkan dalam bentuk CSR, menimbulkan untung maupun rugi. Pembukaan peran swasta dalam pemenuhan berbagai kebutuhan fasilitas publik diharapkan dapat meningkat kualitas pelayanan atas fasilitas publik tersebut. Namun pada saat yang bersamaan, adanya keterlibatan pihak swasta juga dikhawatirkan akan menimbulkan terkait soal harga yang tinggi atas penggunaan atau pemenuhan fasilitas publik tersebut.  

Air
Bagi semua mahluk hidup, air merupakan kebutuhan dasar yang sangat diperlukan. Terlebih dalam kehidupan manusia, pemenuhan akses terhadap kebutuhan air khususnya air minum yang bersih dan sehat, telah menjadi salah satu ukuran dalam melihat pembangunan manusia di sebuah negara. Karenanya pula tidak mengherankan apabila juga dicanangkan hari air sedunia yang diperingati setiap tanggal 22 Maret.

Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia memang telah melakukan sejumlah upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan air minum ini. Termasuk diantaranya adalah bekerja sama dengan pihak swasta asing. Di daerah seperti Jakarta, PDAM bekerja sama dengan swasta asing. Namun hal tersebut tidak memberikan perubahan pelayanan. Pihak PDAM masih memonopoli pembangunan infrastruktur. Sementara, pihak swasta asing hanya bermain di dalam hal pengelolaan.

Di daerah lain, seperti di Batam, pelayanan air diberikan oleh swasta. Pelayanan yang diberikan justru lebih baik. Hal ini sekaligus merupakan kenyataan yang membuktikan bahwa keterlibatan swasta pada hal-hal yang terkait fasilitas publik atau kebutuhan dasar sektor air minum tersebut, justru memperlihatkan dampak yang positif. Pelayanan air minum di Batam, misalnya, harus diakui merupakan salah satu layanan penyediaan air bersih/ minum yang cukup baik di Indonesia. Sementara di banyak daerah di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dimana layanan atas air bersih/minum dikelola oleh pemda, layanan yang diterima oleh masyarakat seringkali justru dirasakan masih dari memuaskan.

Besarnya biaya pembangunan infrastruktur jaringan pipa air minum yang dikelola oleh perusahaan air minum milik pemda DKI yang bekerja sama dengan pihak asing, ternyata juga belum dapat meningkatkan kualitas layanan.

Akibatnya, banyak penduduk Jakarta yang memanfaatkan air tanah atau harus menggunakan air minum dalam kemasan untuk memenuhi kebutuhan air minum sehari-hari. Celakanya, penggunaan air minum dalam kemasan ini juga semakin meluas di masyarakat di seluruh Indonesia. Hal ini sekaligus pula menjadi bukti nyata bahwa pelayanan untuk pemenuhan akses terhadap air minum/ bersih di Indonesia masih belum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

 

 

Sampah & limbah

Bentuk pelayanan fasilitas publik lain yang masih seringkali menghadapi permasalahan adalah pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga. Masih terkait dengan penggunaan air tanah yang kini banyak dimanfaatkan oleh sebagian besar masyrakat perkotaan untuk pemenuhan kebutuhan airnya, buruknya pengelolaan sampah dan limbah, pada akhirnya juga akan berpengaruh pada kondisi air tanah.

Seperti juga air minum, pelayanan kebersihan selama ini juga merupakan salah satu pelayanan yang diberikan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia. Persoalan pengelolaan sampah utamanya memang seringkali dihadapi oleh pemerintah kota-kota besar seperti Jakarta. Pengelolaan sampah khususnya oleh Pemda DKI selama ini memang masih mengandalkan pada metode landfiil. Sebagai tempat pembuangan akhir sampah (TPA) DKI selama ini terletak di daerah Bantargebang, Kota Bekasi.

TPA Bantargebang dioperasikan sejak tahun 1989 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat Nomor 593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 Januari 1986 jo. Nomor 593.82/ SK.116.P/AGK/DA/26-1987. Berdasarkan SK ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diberikan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan TPA Bantargebang untuk menampung dan mengolah sampah kota Jakarta dengan menggunakan sistem sanitary land ll selama jangka waktu 15 tahun. Sampai saat ini TPA Bantargebang di Kota Bekasi adalah lokasi pengolahan sampah yang dihasilkan oleh penduduk DKI Jakarta. Hal ini didasarkan pada kontrak kerja sama antara pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan pihak ketiga (swasta) yang melibatkan pihak Pemerintah Kota Bekasi (Mulyadin, Iqbal, & Ariawan, 2018).

 

 

 

Pengelolaan sampah DKI tersebut ternyata juga memiliki permasalahan. Keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan sampah di DKI sempat dipegang oleh PT Godang Tua Jaya. Sebuah perusahaan kontraktor dan penyewaan alat berat. Namun pada tahun 2016, Pemprov DKI memutuskan kerjasama tersebut. Selain dengan PT Godang Tua Jaya, Pemprov DKI juga memutuskan kerjasama dengan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) selaku pengelola Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Sebelumnya telah dilayangkan surat peringatan (SP) 3

Dalam studi (Mulyadin, Iqbal, & Ariawan, 2018) dijelaskan bahwa pada tahun 2013, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan akan membangun 4 tempat pengolahan sampah terpadu atau intermediate treatment facility (ITF). Keempat ITF tersebut rencananya akan dibangun di Sunter, Cakung- Cilincing, Marunda, dan Duri Kosambi. Tujuannya untuk mengurangi volume sampah di TPA Bantargebang.

Namun faktanya hingga sekarang pembangunan ITF tidak kunjung terealisasikan. Belum terealisasinya pembangunan ITF tersebut disebabkan oleh dicabutnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) oleh Mahkamah Agung dengan dasar pertimbangan bahwa Perpres tersebut tidak sejalan dengan Undang- Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang mengamanatkan pengelolaan sampah secara desentralisasi atau optimalisasi fungsi tempat pengelolaan sampah - reuse, reduce, dan recycle (TPS- 3R) bukan secara sentralistik (terpusat di TPA). Selain itu, beberapa faktor lain seperti minimnya ketersediaan lahan untuk ITF, teknologi, amdal, serta kejelasan investor juga menjadi penyebab dicabutnya Perpres Nomor 18 Tahun 2016 tersebut.

Kondisi tersebut mengakibatkan pengelolaan sampah khususnya di DKI Jakarta menjadi permasalahan yang belum kunjung terselesaikan. Salah satu dampak permasalahan tersebut adalah ancaman banjir di kala musim hujan.  

Baca: Dinas Lingkungan Hidup DKI Siaga Sampah Musim Hujan

Selain sampah, persoalan lain yang harus diselesaikan adalah penanganan air limbah. Meski telah banyak dikenal berbagai teknologi dalam pengelolaan air limbah ini, keberadaan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) terpusat, dinilai masih sangat tinggi. Terutama yang terhubung pada rumah-rumah warga untuk pengelolaan limbah domestik.

Baca: Jakarta Butuh Triliunan Bangun IPAL

Namun biaya yang tinggi tersebut bukannya tidak dapat dilakukan. Kota Bogor, misalnya, telah dikembangkan IPAL komunal. Keberadaan IPAL komunal tersebut pada satu sisi, merupakan salah satu mekanisme untuk pengelolaan limbah rumah tangga yang cukup baik. Meski demikian, dalam pengembangannya juga masih harus terus diperbaiki.

Hasil studi menunjukkan bahwa pada beberapa IPAL yang diambil sampel pada tahun 2017 masih menunjukkan bahwa beberapa parameter efluen dari IPAL komunal yang telah beroperasi di Kota Bogor teridentifikasi melebihi baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No.P.68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Misalnya Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biochemical Oxiygen Demand (BOD) yang melewati batas. COD adalah jumlah oksigen total yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, dan lebih banyak digunakan sebagai parameter untuk mengetahui banyaknya bahan organik dalam suatu system. Sementara, BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan mikoorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam air (Susanthi, Purwanto, & Suprihatin, 2018).  

Pasar
Sebagai salah satu sarana agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, keberadaan pasar menjadi salah satu fasilitas yang penting. Lebih dari itu, keberadaan pasar dalam sebuah kehidupan sosial manusia, adalah hal yang sudah melekat. Karenanya pula, keberadaan pasar juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan manusia itu sendiri. Pasar sesungguhnya lebih dari sekadar tempat bertemunya pedagang dan pembeli. Pasar adalah sebuah ruang interaksi sosial manusia, dimana berbagai kepentingan bertemu. Hal ini pulalah yang menjadikan pasar sebagai penting untuk disediakan oleh pemerintah.

Fungsi lebih dari keberadaan pasar tersebut setidaknya dapat terlihat dari berbagai fasilitas yang terdapat di pasar-pasar tersebut. Fasilitas yang terdapat di pasar tradisional pada masa lalu adalah tempat penyampaian berbagai pengumuman penting. Selain itu, berbagai bentuk sarana hiburan lain juga terdapat di pasar-pasar. Termasuk salah satunya adalah keberadaan pemutaran film. Karenanya, ketika pasar hanya buka pada hari-hari tertentu, kehadirannya tentu menjadi sangat dinantikan oleh masyarakat setempat.       

Masyarakat Indonesia khususnya di kota-kota besar seringkali diperlihatkan adanya 2 bentuk pasar, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Penamaan kedua jenis pasar ini pada dasarnya mengacu pada kondisi fisik atas pasar itu sendiri. Masih banyaknya kondisi pasar-pasar tradisional yang buruk, menyebabkan banyak kalangan masyarakat khususnya dari kelompok kelas menengah menjadi enggan berbelanja. Mereka kemudian beralih berbelanja di pasar swalayan atau yang juga disebut dengan supermarket.

Terkait kondisi tersebut, pemerintah khususnya melalui kementerian Perdagangan memang telah mengeluarkan program revitalisasi pasar tradisional. Hal ini bertujuan agar masyarakat luas kembali tertarik untuk berbelanja di pasar-pasar tradisional. Program ini sekaligus pula menjadi salah satu upaya peningkatan perekonomian rakyat.

Meski demikian, hal yang perlu diingat adalah untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan upaya yang lebih besar. Terlebih saat ini semakin banyak fasilitas belanja online yang memanjakan para konsumen. Karenanya, diperlukan pula perbaikan daya tarik yang tidak sekadar menawarkan kegiatan jual beli. Revitalisasi pasar tradisional ini juga harus kembali menawarkan apa yang dulu ditawarkan sebuah pasar sebagai sebuah fasilitas interaksi publik.  

Ruang interaksi publik
Ruang interaksi publik di berbagai daerah khususnya di kota-kota besar sangat terbatas. Hal ini dikarenakan lahan yang juga semakin terbatas. Ruang interaksi publik dapat dilihat pada berbagai bentuknya, seperti taman-taman kota, RPTRA dan fasilitas-fasilitas olahraga milik publik.

Baca: Pemprov Perluas Makna Ruang Terbuka Hijau

Semakin banyaknya ruang interaksi publik yang dibangun dan dikembangkan oleh swasta, pada satu sisi memang diharapkan memberikan dampak terhadap kondisi lingkungan yang semakin baik. Pemda Jakarta pada saat pemerintahan Ahok, banyak meminta berbagai perusahaan untuk menjadi sponsor atas perbaikan sejumlah ruang interaksi publik, khususnya taman-taman kota melalui program CSR. Sementara, Pemkot Surabaya justru semakin rajin mengembangkan dan mengelola berbagai taman kota dengan menggunakan APBD.

Kedua model skema pembiayaan tersebut memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan dana CSR secara umum memberikan ruang kepada pihak swasta untuk dapat terlibat langsung dan sekaligus bertanggung jawab atas berbagai ruang interaksi publik. Sementara, model yang diterapkan oleh Kota Surabaya menunjukkan besarnya perhatian pemerintah kota terhadap berbagai aspek sosial masyarakat. Sebab melalui berbagai sarana ruang interaksi publik yang dibangun dengan didanai oleh APBD, maka artinya pemerintah secara tidak langsung juga membangun kehidupan sosial masyarakat yang lebih sehat. Terlebih di tengah generasi milenial yang semakin akrab dengan gawai (gadget), dimana penggunaan berlebihan atas alat abad 21 itu cenderung menjadikan orang lebih bersikap individualis. 

Peran swasta
Berangkat dari berbagai hal yang disampaikan tersebut, peran pihak swasta tampaknya bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Keterlibatan swasta yang notabene merupakan entitas bisnis, pada satu sisi dapat dipahami apabila keberadaan mereka pada berbagai bentuk pelayanan publik dikhawatirkan akan “meningkatkan harga” atas produk-produk yang dihasilkan. Jadi, tidak semua kalangan masyarakat mampu memperoleh akses terhadapnya.

Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa penyediaan oleh pihak swasta tidak jarang justru menghasilkan produk yang kualitasnya jauh lebih baik. Perubahan cara berproduksi seiring dengan perkembangan teknologi memang telah menghasilkan biaya produksi yang semakin murah, efektif dan efisien. Jadi, tidak mengherankan apabila pemenuhan berbagai layanan publik tersebut semakin banyak dilakukan oleh swasta.

Satu hal yang mungkin perlu dipertimbangkan adalah perlunya dilakukan amandemen atas konstitusi. Apa yang terjadi di masyarakat saat ini, memiliki landasan hukum yang kuat. Sementara pemerintah terus bertindak sebagai regulator yang secara lebih cermat mengatur dan mengawasi pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara.

*Peneliti Visi Teliti Saksama     

Referensi
Mulyadin, R. M., Iqbal, M., & Ariawan, K. (2018, November). Konflik Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta dan Upaya Mengatasinya. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 15(2), 179-191.

Susanthi, D., Purwanto, M. Y., & Suprihatin. (2018, Juli). Evaluasi Pengolahan Air Limba Domestik dengan IPAL Komunal di Kota Bogor. Jurnal Teknologi Lingkungan, 19(2), 229-238.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar