20 September 2017
18:40 WIB
Oleh Andi Achdian SS, M.Si*
Pendahuluan
Dalam waktu yang cukup lama, studi tentang sejarah masyarakat Indonesia telah berada dalam sebuah konstruksi yang menempatkannya sebagai masyarakat agraris par excelence. Sejak Sartono Kartodirdjo menulis tentang pemberontakan petani Banten (1975) dan Onghokham menulis tentang perubahan sosial di Madiun (1975), warga agraris menjadi bagian tak terpisah dalam analisis terkait perkembangan masyarakat Indonesia. Pandangan seperti ini tidak terbatas pada kajian sejarah semata. Ia juga mempengaruhi bentuk kebijakan yang lahir terkait perencanaan pembangunan dan kebijakan tata ruang di Indonesia sejak terbentuknya negara republik yang merdeka. Pandangan-pandangan tersebut sudah tidak dapat bertahan lagi dan layak untuk direvisi memasuki awal abad ke-21 ini,.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utamanya. Pertama adalah perubahan demografi masyarakat Indonesia. Sebuah berita yang terbit di harian Kompas pada 25 Maret 2015 menyampaikan bahwa dalam waktu satu dekade ke depan, 57 persen penduduk Indonesia akan menjadi penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Gambaran tersebut nampak menjadi lebih jelas dalam perhitungan Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan proyeksi perkembangan penduduk perkotaan pada 2020 yang mencapai 56,7 persen dari total penduduk Indonesia.
Kedua adalah perkembangan apa yang disebut ilmuwan politik sebagai ‘politik kota’ dalam kehidupan politik Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, sebuah mode atau cara baru berpolitik yang sama sekali berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya telah menjadi kenyataan yang tak dapat diabaikan dalam pengalaman kontemporer Indonesia. Kota dan keberhasilan menangani kota menjadi jaminan karir bagi para politisi masa kini. Kita pun menyaksikan bagaimana para pemimpin di kota-kota besar Indonesia menjadi sosok yang semakin memiliki peluang besar mempengaruhi perkembangan koridor politik Indonesia.
Seluruh kecenderungan itu menampilkan sebuah semangat zaman memasuki abad ke-21 ketika ‘politik kota’ kembali tampil dalam panggung sejarah menggantikan posisi ‘negara bangsa’ yang mewarnai gambaran sejarah abad ke-20. Penduduk dunia menjadi semakin homogen dalam selera, gaya hidup dan isu-isu sosial, politik, budaya dan ekonomi yang menjadi perhatian mereka. Kota adalah basis utama perkembangan itu. Dengan kemajuan teknologi media, penduduk di kota-kota besar seperti Madrid, London, Tokyo, Manila dan Jakarta, dimungkinkan menjadi pendukung fanatik klub sepak bola yang sama di liga-liga penting dunia. Kalangan muda di Jakarta mengkonsumsi makanan, mode pakaian, hiburan dan rekreasi serta gadget yang sama dengan anak-anak muda di belahan dunia lainnya (Jones, Macdonald & McIntyre et.al., 2008)
Kilas Balik Kota dan Politik Kota
Keseluruhan fenomena politik kota bagaimanapun bukan hal baru dalam catatan sejarah Indonesia. Kenyataan itu justru membuka perhatian dalam studi sejarah tentang arti penting kota dan politik kota yang lahir pada awal abad ke-20 di Hindia-Belanda atau Indonesia saat itu. Pertumbuhan kota-kota di Hindia Belanda berjalan seiring kebijakan ekonomi kolonial yamg bergeser menempatkan liberalisasi ekonomi sebagai cara mengelola koloni. Wilayah di Hindia Belanda pun semakin terbuka untuk perkembangan gerak modal swasta dari negeri induk. Pabrik-pabrik, kantor-kantor perusahaan, biro jasa, agen surat kabar, layanan administrasi pemerintahan dan sarana fasilitas publik seperti rumah sakit, pendidikan, dan transportasi umum berkembang seiring arus modal yang masuk ke koloni.
Dalam lingkungan perkotaan itu pula lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar menyerap sekelompok kecil pribumi lulusan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sebelum mereka melanjutkan pendidikan mereka ke universitas-universitas di Belanda pada 1910an dan 1920an. Setelah lulus, mereka menjalani profesi sebagai pengacara, dokter, jurnalis dan profesi lainnya di dalam pemerintahan atau pun sektor swasta. Bagaimanapun jumlah mereka tetap terbatas.
Karena latar belakang pendidikan dan lapangan kerja yang tersedia bagi mereka, lapisan elit ini pada akhirnya menjadi penghuni tetap wilayah perkotaan meninggalkan desa-desa tempat mereka dilahirkan dan menghabiskan masa kanak-kanaknya. Apabila kita menggunakan angka sensus tahun 1930 tentang angka melek huruf yang hanya mencapai 7,4 persen penduduk Indonesia usia dewasa dan 0,32 persen yang mampu membaca dalam bahasa Belanda. Dalam proses ini satu lapisan elite modern baru terbentuk di Hindia Belanda dan memimpin arah dan orientasi politik nasionalisme Indonesia pada saat itu (Ricklefs, 1993: 160) [1]
Di samping mereka yang menjadi penghuni tetap, wilayah perkotaan menjadi tempat bagi para pekerja musiman mencari pekerjaan dan pendapatan. Perkembangan jaringan kereta api yang menghubungkan kota-kota besar dengan kota-kota kecil dan wilayah pedalaman tempat produksi tanaman keras membawa puluhan ribu penumpang pekerja musiman yang datang menjadi penghuni sementara di kota-kota besar. Popularitas transportasi kereta api di kalangan rakyat pada saat itu menimbulkan kesan di antara pejabat Belanda bahwa “pemuka-pemuka pribumi jauh lebih hokvaster daripada rakyat kecil...Rakyat kecil...jauh lebih sering berpindah tempat tinggal daripada yang biasa dipikirkan orang” (Mrazek, 2006: 18). Kehadiran mereka menjadi landasan pertumbuhan cepat kota-kota besar di Hindia Belanda saat itu.
Faktor terpenting dari perkembangan itu adalah perkotaan berkembang menjadi pusat gravitasi politik baru di yang mengusung ide-ide politik modern seperti kemajuan, modernitas, demokrasi, sosialisme, nasionalisme dan beragam wacana lainnya yang merupakan ‘penerjemahan’ konsep-konsep politik di barat. Seluruh wacana itu tidak pernah muncul sebelumnya dalam pergolakan politik antar dinasti dalam era pra-kolonial, atau dalam perlawanan yang dipimpin para pemimpin rakyat yang berasal dari kalangan agamawan atau pusat-pusat kerajaan tradisional di Nusantara terhadap kekuasaan asing yang diwakili pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-18 dan 19 (Shiraishi, 1990: hal. 339-342. Bdk, Onghokham, 1975; Kartodirdjo, 1973). Di mata para pejabat Eropa dan warga kota umumnya, gejolak keresahan perkotaan memasuki dekade 1920an adalah ancaman yang jauh lebih berbahaya dalam mengguncang ‘ketertiban dan keamanan’ dibanding gejolak di perdesaan (Inglesson: 16). Apabila sebelumnya para pejabat kolonial senantiasa berupaya mencegah radikalisme yang tumbuh di lingkungan perdesaan, perkembangan yang terjadi di kota-kota besar selama tiga dekade awal abad ke-20 di Hindia Belanda menegaskan adanya suasana baru kehidupan politik di Hindia Belanda saat itu.
Penutup
Perkembangan yang terjadi di kota-kota kolonial pada saat itu menampilkan pula sebuah fenomena menarik tentang bagaimana politik kota muncul di koloni Hindia-Belanda. Dalam kaitan ini perkembangan periode kontemporer di Indonesia memberi inspriasi dalam melihat pengalaman masa lalu dalam sejarah Indonesia. Seiring dengan perkembangan pesat kota-kota di koloni, kaum nasionalis Indonesia memberikan responnya terhadap beragam masalah yang dihadapi masyarakat pribumi yang menjadi mayoritas warga, tetapi tidak memiliki hak-hak dasar sebagai warga kota yang sama dibanding warga Eropa dan Indo-Eropa yang menempati lapis atas piramida sosial masyarakat perkotaan.
Apabila sebelumnya gejala politik sejarah Indonesia modern sepenuhnya dianalisis dalam bingkai wataknya yang agraris, perkembangna kontemporer di Indonesia sekarang telah membuka mata terhadap timbunan sejarah masa lalu yang belum terbuka. Kaum nasionalis Indoensia saat itu adalah partisipan aktif dalam merumuskan bagaimana seharusnya kota berkembang? Mereka juga menyuarakan tentang bagaimana seharusnya pembangunan pemukiman penduduk pribumi direncanakan, sanitasi dan tata kelola kesehatan publik, termasuk dalam keamanan pribadi warga kota. Dilihat dari sudut pandang ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan politik Indonesia sekarang terkait perebutan ruang, pembagunan pemukiman, dan hak warga kota untuk tinggal nyaman dalam masyarakat beradab, sesungguhnya telah menjadi bagian tak terpisah dari wacana politik kaum nasionalis Indonesia. Meninjau kembali sejarah masa lalu dari sudut pandang ini dengan demikian akan memperkaya pemahaman kita terhadap bagaimana seharusnya orang-orang Indonesia menanggapi perkembangan yang terjadi di lingkungan tempat mereka tinggal sekarang.
*) Penulis adalah anggota pengurus pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan editor pelaksana Jurnal Sejarah. Peneliti sejarah Institute Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise) dan mahasiswa doktoral Program Pascasarjana Departemen Sejarah FIB UI. Penulis dapat dihubungi melalui email: angdhiri@gmail.com
[1]Tema tentang kaitan antara pendidikan ala barat dan perkembangan nasionalisme Indonesia telah menjadi perhatian para peneliti awal tentang kebangkitan nasional Indonesia seperti Akira Nagazumi tentang Boedi Oetomo (Nagazumi, 1972) dan Robert van Niel tentang pembentukan lapisan baru elit modern Indonesia hasil pendidikan Barat. Terkait dengan angka literasi, lihat M.C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia since c. 1300 (London: Macmillan, edisi kedua, 1993), hal. 160.