c

Selamat

Sabtu, 4 Mei 2024

OPINI

11 Desember 2019

18:41 WIB

Menoleh Jejak Majalah Anak

Majalah anak tak lagi jadi bacaan yang ditunggu. Ada yang terus berjuang meski oplah kian berkurang, ada juga yang harus menyerah jadi sebatas sejarah.

Editor: Novelia

Menoleh Jejak Majalah Anak
Menoleh Jejak Majalah Anak
Ilustrasi majalah anak-anak. Antara/dok

Oleh Novelia, M.Si*

“Ini…”

Kamis, 27 Agustus 1998. Sepulang sekolah, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun memberikan tiga lembar uang kertas berwarna hijau dengan gambar orang utan kepada kakaknya. Uang itu merupakan hasil ia menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajannya selama seminggu. Sang kakak yang juga masih memakai seragam berwarna sama mengeluarkan jumlah uang yang sama dari kantongnya. Digabungkannya uang tersebut dengan uang yang baru diberikan sang adik sehingga jumlahnya menjadi genap Rp3.000,-

“Biasa, Bang.”

Uang tersebut kemudian diserahkan kepada seorang penjaga kios koran yang sedari tadi menunggu percakapan mereka. Sebagai ganti uang yang diberikan, penjaga kios itu memberikan sebuah majalah kepada sang kakak seraya mengucapkan terima kasih. Di sampul depan majalah tersebut, tergambar seekor kelinci berkulit biru muda dan berambut hijau, mengenakan kaos berwarna merah bertuliskan huruf b kecil.

Kelinci Biru Legendaris
Sosok itu adalah Bobo, karakter populer dari majalah anak dengan nama yang sama. Bacaan ini pertama kali diterbitkan di Indonesia pada 14 April 1973 sebagai versi lokal dari majalah berjudul sama yang telah terlebih dahulu eksis di Belanda. Hak cipta majalah ini dibeli dari Sanoma Uitgevers B. V. untuk mengadopsi cerita dan ilustrasi majalah di Negeri Kincir Angin tersebut. Meski awalnya hanya membeli hak cipta, perlahan Bobo Indonesia mulai menggali nilai-nilai dalam negeri hingga akhirnya menjadi total buatan lokal.

Di Belanda, Bobo terbit setiap dua pekan sekali, sementara di Indonesia setiap pekan pada Kamis. Pada awal kehadirannya, harga majalah ini hanya berkisar Rp20 hingga Rp45. Terdiri atas 16 halaman kertas koran, Bobo menjadi majalah anak berwarna yang pertama di Indonesia.

Bobo seolah benar-benar memiliki pertalian erat dengan anak-anak generasi ‘80-an hingga awal 2000-an, tahun-tahun yang digadang-gadang sebagai puncak kejayaannya. Kala itu, rasanya tidak ada anak usia sekolah dasar yang tidak mengenal sosok kakak Si Coreng ini. Membaca Bobo menjadi hal yang lumrah dan ditunggu-tunggu setiap pekannya. Beberapa anak bahkan rela menabung untuk membelinya sendiri. Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat kualitasnya yang cukup baik dan terhitung lengkap bagi perkembangan anak (Rofiqoh, 2017).

Di awal kemunculannya, slogan Bobo sebenarnya adalah “Majalah untuk Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar”. Namun, kemudian majalah ini mulai berkonsentrasi memuat konten yang fokus menargetkan anak usia sekolah dasar saja. Tidak ingin kehilangan pasar yang lebih muda, akhirnya diproduksi pula sisipan berjudul “Yoyo” di setiap terbitan Bobo. Sisipan ini pada akhirnya bertransformasi menjadi Majalah Bocil (bocah cilik) yang tetap mengadopsi tokoh Bobo.

Lalu, karena tidak ingin karakter Bobo terganggu, Majalah Bocil pun berubah menjadi Mombi yang bertokoh utama beruang cilik. Namun, belakangan terbit juga majalah lain bertajuk Bobo Junior dengan Bobo yang dikisahkan lebih muda.

Akhirnya, dengan memantapkan diri menargetkan usia pembaca sekolah dasar, Bobo dapat dikatakan sukses memenuhi kebutuhan setiap tingkatannya. Untuk tingkatan atau kelas-kelas awal sekolah dasar, Bobo menyajikan berbagai cerita bergambar yang mudah dimengerti dengan harapan meningkatkan semangat literasi sedari dini. Dengan kemampuan membaca yang masih terbatas, tentunya melihat gambar-gambar berwarna akan jadi daya tarik bagi anak-anak dengan usia lebih muda.

Pembaca rutin Bobo tentunya sampai kini masih hafal betul tokoh Emak, Bapak, Coreng, Upik, Cimut yang merupakan keluarga inti si kelinci biru. Beberapa tokoh lain, seperti Paman Gembul dan Bibi Titi Teliti, juga pasti sudah tak asing karena kerap hadir di cergam keluarga Bobo. Tidak cuma keluarganya sendiri, Bobo juga menyajikan cerita bergambar tentang kisah Oki dan Nirmala dalam “Cerita di Negeri Dongeng” atau tentang fabel pada kisah “Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang” yang selalu ditemani Rong Rong, kucing belang sahabatnya.

Sementara itu, untuk kakak-kakak kelasnya, tersedia juga berbagai rubrik mengenai informasi pengetahuan atau kisah-kisah motivasi dari figur publik tertentu, tentunya masih dengan bahasa yang mudah dimengerti. Yang lebih bermanfaat, biasanya Bobo juga menyisipkan sejumlah latihan soal (serta kunci jawaban untuk mengecek benar atau salahnya) untuk membantu anak belajar, mulai dari kelas 1 hingga 6 SD. Kelengkapan ini mengamini slogan yang akhirnya mereka gunakan hingga kini, yakni “Teman Bermain dan Belajar”.

Bukan Yang Pertama
Masih eksis hingga kini, meski tidak terlalu cemerlang kepopulerannya, Bobo yang dinilai melegenda nyatanya bukanlah bacaan anak pertama di Indonesia. Pada 1896 tepatnya, terbit sebuah karya sastra anak berjudul Indische Kinderboeken (Buku Anak-Anak Hindia). Buku ini kemudian menjadi bacaan anak tertua di nusantara. Berganti abad, pada 1920, karangan berjudul “Pemandangan dalam Doenia Anak” karya penulis Mohammad Kasim menjadi pemenang sayembara mengarang bacaan anak yang diadakan Balai Pustaka.

Dengan bergulirnya tahun demi tahun, keberadaan berbagai bisnis media massa mulai berjalan stabil. Media cetak menjalani dinamikanya. Mulai dari koran, tabloid, dan tak terkecuali majalah, bacaan-bacaan yang diperuntukkan untuk anak pun turut merambah medium baca yang satu ini. Penerbit Balai Pustaka memelopori kehadiran majalah anak, yakni dengan majalah Kunang-Kunang yang mulai mengudara pada 1949. Dengan ukuran yang tak terlalu besar, Kunang-Kunang tampil sederhana, namun tetap klasik dengan gambar sampul buatan tangan dan berbahan kertas koran (Budi, 2017).

Selanjutnya, pada 1956, majalah lainnya, Si Kuntjung, mulai terbit untuk pertama kali (Rofiqoh, 2017). Majalah yang eksis pada era ’50-an hingga ’70-an ini mengudara sekali setiap bulannya. Si Kuntjung berisi 16 halaman yang meliputi berbagai cerita pendek, seperti “Berburu Ikan Paus” karya Ris Thorik atau “Si Mulus Opelet Tua” karya Soekanto S. A. Si Kuntjung pada akhirnya menjadi pembuka gaung majalah anak. Dua tahun berselang setelah Si Kuntjung terbit, pada 1958, PT Inpress mengudarakan majalah Putera Puteri untuk pertama kali.

Barulah pada 1973, Bobo dilahirkan oleh Kompas Gramedia. Beberapa nama lain pun akhirnya turut meramaikan dunia majalah anak kala itu. Beberapa di antaranya adalah Ananda, Gatotkaca, Buncil, Aku Anak Salah, hingga Kawanku–yang kemudian berubah segmentasi target menjadi remaja. Selain berbentuk majalah, bacaan anak juga hadir dalam bentuk tabloid. Dua di antaranya adalah Hoopla, Bianglala, dan Fantasi.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, media-media cetak, termasuk juga majalah anak, mulai tergeser. Remaja dan anak-anak lebih lengket dengan berbagai gawai dibandingkan bacaan cetak yang harus dibuka lembar demi lembarnya. Meja dan rak-rak yang dipenuhi pajangan majalah dan tabloid yang biasa dijual di pinggir jalan mulai hilang satu per satu. Meski masih ada beberapa yang terpajang di bagian tertentu toko buku, antusiasme pembeli majalah anak tak lagi sesemerbak di era-era sebelumnya.

Menyadari target pembaca telah mulai berpaling, beberapa perusahaan pengelola bacaan kemudian mulai melebarkan sayap dengan membuka versi digital atas konten mereka. Beberapa terus berjuang meski oplah terus berkurang, namun beberapa juga harus menyerah menjadi sebatas sejarah.

Menambah Kosakata pada Masa Perkembangan
Meski kian meredup, masih perlu diingat bahwa majalah anak sempat menorehkan semangat literasi yang menyala-nyala bagi anak-anak yang jadi target pembacanya. Tidak sekadar menyenangkan, konsumsi medium ini juga memberikan dampak baik pada masa perkembangan anak. Setidaknya, hal tersebut berhasil dibuktikan oleh Badriatul Awaliyah dalam penelitiannya (2015).

Dengan objek siswa-siswa sederajat sekolah dasar, Awaliyah melakukan studi eksperimen terhadap dampak kegiatan belajar dengan menggunakan medium majalah anak. Anak-anak yang diberikan pengajaran dengan medium majalah anak kemudian dibandingkan dengan kelompok yang diajar hanya bermodalkan dongeng di buku ajar biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang menerima pengajaran dengan media majalah anak lebih mudah menemukan kosakata baru sehingga menambah perbendaharaan kata yang dimiliki, dibandingkan anak-anak yang hanya diajar dengan dongeng di buku ajar.

Hasil studi ini juga berkaitan dengan pernyataan Santana Septiawan dalam bukunya yang berjudul Jurnalisme Kontemporer (2005). Menurut Santana, majalah mampu diciptakan proses belajar yang lebih kreatif dan inovatif. Begitu juga dengan majalah anak. Majalah anak mencantumkan kisah beragam yang lebih menarik untuk dibaca karena berwarna-warni dan penuh gambar. Medium ini dapat membantu anak sebagai peserta didik mengetahui, memperkaya kata, serta memahami makna kosakata tersebut.

Meski memiliki efek positif yang tidak dapat dimungkiri dapat membantu orang tua dalam pengasuhan, majalah anak kini tidak lagi jadi buruan utama. Gempuran teknologi membuat anak-anak terbiasa dengan berbagai bacaan dalam versi digital. Para orang tua pun cenderung lebih suka menyodorkan berbagai perangkat elektronik untuk menghibur anak mereka, entah apa aktivitasnya.

Sebenarnya, perkembangan teknologi digital juga dapat memberikan efek positif bagi anak-anak. Toh, beberapa bacaan anak juga mulai dibuat bentuk digitalnya oleh para penerbit. Anak-anak masih bisa membaca berbagai konten menarik lewat layar ponsel. Sosok yang tetap memegang peran penting dalam menentukan arah dampak adalah keluarga, orang tua, atau lingkungan terdekat anak-anak. Pertanyaannya, masihkah anak-anak mau membaca majalah, di medium apa pun?

*) Peneliti Visi Teliti Saksama

 

Referensi:

Awaliyah, B. (2015). Pengaruh Penggunaan Majalah Anak Terhadap Pembendaharaan Kata Siswa. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Budi, A. (2017, Januari 20). Majalah Anak-anak, Masa Lalu yang Selalu Dirindu. Retrieved from GNFI: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/20/majalah-anak-anak-masa-lalu-yang-selalu-dirindu

Rofiqoh, N. (2017). Identitas Anak Indonesia di Majalah: Analisis Wacana Konstruksi Identitas Anak Indonesia di Majalah Bobo. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Santana, S. (2005). Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar