c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

OPINI

29 Januari 2019

19:30 WIB

MAIN CUAN DI KONDANGAN

Kini bicara resepsi pernikahan tak bisa lepas dari cuan, dari mulai masalah anggaran hingga jumlah angpau yang didapatkan.

Editor: Novelia

MAIN CUAN DI KONDANGAN
MAIN CUAN DI KONDANGAN
Ilustrasi kotak amplop pernikahan. wildlands.info

Oleh: Novelia, M.Si*

“Kalau enggak mau dibayari orangtua, kita harus sudah mulai nabung dari sekarang.”

Anjuran tersebut terlontar dari mulut seorang laki-laki saat sedang membicarakan rencana pernikahan dengan kekasihnya.

Menabung? Ya, menabung. Rasanya hal ini sudah jadi ritual wajib para calon pengantin sebelum menggelar resepsi. Pasalnya rupiah yang butuh dirogoh dari kocek untuk membiayai pesta-pesta ini tidaklah sedikit. Hal ini setidaknya tergambar dari publikasi “Laporan Tren Pernikahan” yang dirilis oleh Bridestory pada tahun 2017, dan disusun berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 5.000 mempelai di Indonesia. Pada tahun tersebut saja untuk mengundang kurang dari 50 tamu, diperkirakan calon pengantin perlu menganggarkan antara Rp25–40 juta (Bridestory, 2017). Nilai ini baru kebutuhan dasar, yaitu tempat resepsi, dekorasi, jasa boga, rias pengantin, undangan, dan suvenir. Belum lagi kebutuhan bila menginginkan foto pre-wedding di luar negeri, bulan madu, hingga perhiasan.

Tak pelak, anggaran jadi hal yang penting dalam rencana pernikahan. Makanya, dalam pemilihan vendor untuk membantu menyelenggarakan pesta ini, harga menjadi faktor utama yang menentukan, seperti tertera pada infografis di bawah ini. Permasalahannya, meski sebagian besar calon pengantin telah menyusun matang anggaran secara saksama, tidak semuanya dapat menyerasikan angka tersebut dengan pengeluaran yang pada akhirnya digelontorkan. Setidaknya ada 42,9% responden dari survei yang sama yang pengeluarannya melebihi anggaran pernikahan (Bridestory 2017).

 

Terus meningkatnya nilai rupiah yang harus direlakan untuk sebuah resepsi pernikahan, membuat masyarakat, terutama kaum milenial kini, mulai berpikir untuk merayakan peresmian ikatan suci tersebut melalui acara yang lebih sederhana saja. Apalagi data menunjukkan bahwa mayoritas pengantin (56,1%) menggunakan tabungannya sendiri untuk menggelar pesta pernikahan, bukan lagi diurus oleh orangtuanya.

Karena membiayai pesta secara mandiri, sedikit demi sedikit tradisi perayaan pernikahan yang mewah mulai berubah menjadi lebih sederhana dan privat, setidaknya dengan melakukan penekanan kuantitas undangan. Selain untuk meminimalkan anggaran, alasan keintiman dengan orang-orang terdekat juga menjadi jawaban orang-orang yang memilih model perayaan ini. Tren pernikahan privat sendiri diakui oleh Juzzon Yusuf (dalam Aldila, 2017), pemilik bisnis Juzzon Production Wedding Planning and Organizing. “Saya melihat calon pengantin sekarang mulai banyak yang lebih menyukai private party. Apalagi sekarang kebanyakan mereka pakai budget sendiri, bukan orangtua,” ungkap Juzzon Yusuf.

 

Disambung kembali oleh Juzzon, bagaimanapun, konsep grand wedding atau perayaan pernikahan secara mewah masih tetap mendominasi. Apalagi bagi mereka yang masih mendapat sumbangan atau bahkan sepenuhnya dibiayai oleh orangtua. Momentum pernikahan tak jarang menjadi ajang untuk menunjukkan keberhasilan orangtua dalam mendidik dan membesarkan anaknya hingga menjadi ‘orang’. Karena itu, bukan hal asing bila kita menemui banyaknya campur tangan orangtua menjelang pesta pernikahan sang anak.

BACA JUGA:

Salah satu yang kerap jadi pertimbangan antara orangtua dan anak dalam persiapan pernikahan adalah undangan. Karena pernikahan sang anak merupakan ajang pesta orangtuanya juga, tentu saja orangtua memiliki jatah kuota undangannya sendiri. Dalam hal ini, bahkan tidak jarang jumlahnya malahan melebihi undangan kedua mempelai sendiri.

Untungnya, perkembangan dunia digital dan internet menjadi angin segar yang bisa membantu para calon manten dalam menghemat anggaran. Kini undangan bisa diproduksi dalam bentuk digital dan cukup disebarkan melalui berbagai aplikasi pesan atau situs tertentu. Dari survei Bridestory (2017) setidaknya 78,5% responden pengantin telah mengirimkan undangan digital di luar undangan cetak. Ini jadi bukti kalau peralihan tradisi pengiriman undangan ke sistem yang lebih modern sudah mulai diterima masyarakat. Tren undangan digital pun semakin laku mengingat masih hangatnya isu peduli lingkungan. Lewat isu ini kampanye paperless pun marak diperbincangkan dan kian jadi tren.

Yang Mendanai Yang Diganti
Tidak cuma perihal undangan, tumpang tindih kepentingan para orangtua dengan kedua mempelai juga terjadi pada dalam urusan amplop, atau angpau, resepsi. Kerap perdebatan terjadi terkait pihak mana yang memiliki hak atas sejumlah uang dalam angpau yang diberikan para undangan.

Dikatakan Nawal Rizqa Dona (dalam Intan 2017), Wedding and Talent Organizer dari Bella Donna the Organizer, beberapa adat memiliki pandangan yang berbeda tentang hal ini. Namun, angpau cenderung akan diserahkan pada pihak yang membiayai pesta. Dalam pernikahan Jawa maupun Sunda, umumnya pesta diadakan oleh pihak keluarga mempelai perempuan, sehingga hasilnya pun kemudian akan diserahkan kepada keluarga tersebut sebagai penyelenggara.

Pernah melihat ada kotak angpau yang dipisahkan menjadi kotak orangtua dan kotak mempelai di pernikahan yang Kamu datangi? Nah, ini tradisi yang biasanya dilakukan orang Betawi. Guna dari pemisahan kotak ini adalah untuk membedakan angpau dari undangan mempelai dan orangtua. Jadi, pembagian uang dapat dipilah berdasarkan asal tamu undangan. Bila angpau berasal dari tamu yang diundang mempelai, ia akan diberikan pada mempelai. Sebaliknya bila tamu tersebut merupakan undangan orangtua, uang tersebut merupakan jatah orangtua.

Namun, dengan era yang semakin berkembang, aturan pembagian amplop berdasarkan adat ini tak lagi pasti. Terlebih karena pesta pernikahan kini tak selalu dibiayai keluarga. Bagaimanapun urusan perangpauan ini memang masih tetap menjadi salah satu kebingungan tersendiri bagi mereka yang ingin menikah. Makanya, kesepakatan antara tiap pihak harus dicapai saat rencana disusun.

Angpau dan Urunan Nikahan
Dari ribetnya urusan pembagian angpau setelah resepsi, muncullah satu pertanyaan lagi: sebenarnya dari mana datangnya tradisi pemberian amplop ini? Pasalnya tradisi pemberian ini seperti sudah sangat kental terjadi di negara kita.

Nah, usut punya usut, ternyata sebelum tradisi angpau ini nge-hits pada tiap kondangan, di beberapa daerah di Indonesia lebih dahulu terdapat tradisi urunan. Namun yang diurun bukanlah dalam bentuk amplop, melainkan hal-hal lain. Urunan, atau saling sumbang, merupakan kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun sebagai akibat dari adat gotong royong yang masih terjaga dalam masyarakat kita.

Salah satu kebiasaan urunan pernikahan tergambar pada tradisi kumpul sanak, yang secara bahasa berarti kegiatan berkumpul saudara sekampung, kerabat, maupun handai taulan. Dijelaskan dalam buku yang berjudul Tradisi Kumpul Sanak di Sekernan, Muaro Jambi (Arman, 2018) yang diterbitkan BPNB Kepulauan Riau, tradisi yang dulunya bernama kumpul kuro ini dilakukan dengan memberikan sumbangan pada mereka yang akan menikahkan anaknya. Dana terkumpul akan digunakan untuk membeli lauk pauk pesta.

Tradisi urunan kumpul sanak bermula sejak 1937, bermula saat seorang warga ingin menikahkan anaknya, tetapi tidak memiliki uang. Menyadari hal ini, kepala desa dan beberapa warga lain yang peduli kemudian berinisiatif membantu. Mereka mengumpulkan bahan makanan, biasanya berupa padi yang baru panen, serta sejumlah uang untuk meringankan biaya pesta.

Kalau di Jambi ada kumpul sanak, orang Jawa punya sinoman. Mirip dengan tradisi kumpul sanak, dalam tradisi ini pun setiap kali pernikahan akan digelar, masyarakat atau tetangga sekitaran membantu dengan melakukan pemberian berbagai bahan konsumsi, biasanya berupa rokok dan berbagai bahan makanan seperti minyak goreng, daging, telur, hingga mihun (Times Indonesia, 2018).

Pemberian dalam adat jawa ini menganut asas balas-berbalas. Artinya, bila suatu saat sang pemberi sumbangan menggelar pesta pernikahan, ia juga yang kemudian akan menerima bantuan dari masyarakat dan tetangga sekitarnya. Bahkan, tak sedikit pula yang memiliki juru catat untuk mengingat siapa saja yang melakukan pemberian. Para pemberi sumbangan tersebut kemudian akan mendapat balasan berupa ‘berkat’ atau bingkisan makanan saat mereka pulang.

 

Semakin modern gaya hidup, tradisi urunan dalam menggelar acara pernikahan perlahan berubah menjadi budaya angpau. Pemberi sumbangan tak lagi perlu membawa makanan atau barang-barang lainnya yang berat, tetapi cukup memasukkan uang dalam amplop pada kotak yang disediakan di sebelah buku tamu. Meski dalam bentuk lebih sederhana dan praktis, nyatanya tradisi ‘ngamplop’ tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu membantu penyelenggara membiayai pestanya.

Akhirnya buat beberapa orang, barangkali resepsi pernikahan tak gubahnya transaksi bisnis. Harga penyelenggaraan terus meroket. Belum lagi adanya hasrat setiap orang untuk menyajikan acara yang terbaik, dengan alasan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Rupiah pun tak tanggung-tanggung digelontorkan untuk meraih decak kagum para tamu, berutang bahkan tak jarang dilakoni. Kotak angpau akhirnya jadi saksi bisu pengharapan tertutupnya sejumlah materi yang sebelumnya diikhlaskan untuk membiayai kemewahan. Kemudian, setelah urusan resepsi selesai, timbul lagi pertanyaan, “Sudah nyicil KPR belum?”

*) Peneliti Muda Visi Teliti Saksama

 

 

Referensi:

Bridestory. (2017). Laporan Tren Pernikahan Indonesia. Bridestory.

Dedi Arman. (2018, September 7). Kumpul Sanak, Tradisi Gotong Royong Membantu Biaya Perkawinan di Muaro Jambi. Retrieved Januari 29, 2019, from https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/kumpul-sanak-tradisi-gotong-royong-membantu-biaya-perkawinan/

Intan. (2017, Juli 10). Memahami Beragam Tradisi dibalik Angpau Pernikahan. Retrieved Januari 29, 2019, from http://thewedding.id/planning-2/tradisi-angpau-pernikahan-42533

Nindya Aldila. (2017, Maret 2). Bisnis Lifestyle: Tren Private Party pada Pernikahan Mulai Digemari. Retrieved Januari 29, 2019, fromhttps://lifestyle.bisnis.com/read/20170302/220/633163/tren-private-party-pada-pernikahan-mulai-digemari

Times Indonesia. (2018, Januari 5). Sinoman, Tradisi Unik Hajatan di Lereng Gunung Bromo. Retrieved Januari 29, 2019, fromhttps://www.timesindonesia.co.id/read/164202/20171222/211154/online-learning-mungkinkah-diterapkan-di-indonesia/


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar