04 Juli 2018
19:07 WIB
Oleh: Mohammad Widyar Rahman, M.Si
Indonesia selalu menjadi langganan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) setiap tahunnya. Luasnya wilayah hutan Indonesia mencapai sekitar 95 juta hektar atau sekitar 50,6% dari luas wilayah Indonesia (BPS, 2017). Hutan pada dasarnya memiliki fungsi baik ekosistem dalam mendukung siklus hidrologi sebagai pencegah banjir dan tanah longsor maupun dari sisi fungsi ekonomi, peran hutan terkait dengan produksi hasil hutan untuk konsumsi masyarakat, industri dan kebutuhan ekspor.
Dari sisi iklim, faktanya secara umum kondisi Indonesia termasuk dalam iklim tropis karena diselimuti rata-rata suhu udara yang panas dengan perbedaan secara ruang tidak signifikan. Sebagai Benua Maritim, maka iklim di Indonesia dicirikan dengan suhu udara dan kelembaban udara yang tinggi (Aldrian et. al., 2011). Secara geografis, Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino/La Nina yang bersumber dari wilayah timur Indonesia (Ekuator Pasifik Tengah/Nino34) dan Dipole Mode yang bersumber dari wilayah barat Indonesia (Samudera Hindia–timur Afrika). Ada juga fenomena regional yang memengaruhi seperti sirkulasi monsun Asia-Australia dan Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan serta kondisi Suhu Permukaan Laut (SPL) sekitar wilayah Indonesia. Kondisi topografi wilayah Indonesia yang bergunung, berlembah serta banyak pantai merupakan fenomena lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu (BNPB, 2013).
Sesuai dengan letak geografis tersebut, Indonesia memiliki variasi musiman. Variasi musiman tersebut dapat terlihat jelas berdasarkan curah hujannya. Indonesia dikenal memiliki musim hujan dan kemarau. Pada umumnya, saat matahari ada di belahan bumi selatan (periode Oktober-Maret), Indonesia diguyur curah hujan lebih banyak dibandingkan ketika matahari berada di atas belahan bumi utara (periode April-September). Pada beberapa wilayah Indonesia, periode Oktober-Maret mengalami musim hujan dan periode April-September mengalami musim kemarau (Aldrian, et. al., 2011).
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Total deforestasi di Indonesia pada periode 2014-2015 mencapai 1,09 juta hektar. Deforestasi terluas di Pulau Sumatra, yaitu 519,0 ribu hektar atau 47,5% dari total deforestasi, kemudian Pulau Kalimantan sebesar 34,3%. Salah satu penyebab tingginya deforestasi pada 2015 karena kebakaran hutan seluas 250,9 ribu hektar (BPS, 2017). Indikasi kebakaran hutan dan lahan terpantau sebagai titik panas pada citra satelit Terra/Aqua. Sejak tahun 2016, jumlah titik panas mengalami tren penurunan hingga saat ini. Pada periode 2016-2018, titik panas tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2016 sebanyak 2089 titik panas (menlhk.go.id).
Secara umum, menurut Darajati (2017), penyebab kebakaran hutan dan lahan dapat dibagi menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung meliputi aspek biofisik dan teknologi, yaitu teknik pembukaan lahan yang kurang tepat, buruknya infrastruktur pengelolaan air, serta lemahnya pemantauan kebakaran dan lambatnya respon terhadap api. Sementara, penyebab tidak langsung meliputi masalah sosial, politik dan ekonomi serta lemahnya penegakan hukum, konflik lahan, kapasitas masyarakat dan perburuan rente ekonomi.
Dampak yang terjadi akibat kebakaran hutan menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan pada Juni hingga Oktober 2015 saja memakan kerugian hingga Rp221 triliun atau setara 1.5 kali Produk Domestik Bruto Nasional (republika.co.id). Selain itu, dampak kebakaran hutan dan lahan yang utama terjadinya kabut asap yang mengganggu kesehatan dan sistem transportasi baik darat, laut dan udara. Kebakaran hutan menghasilkan emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer. Emisi yang terlepas akibat karhutla tahun 2015 mencapai 1.74 Gt CO2 ekuivalen. Dalam kejadian kebakaran tersebut, emisi yang terjadi telah mencapai 60% dari total emisi yang diperkirakan akan terjadi sampai dengan tahun 2030, yaitu 2,88 Gt CO2 sesuai dengan scenario Bussiness-as-Usual (BAU) dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) (Darajati, 2017).

Arah Kebijakan dan Strategi Pencegahan
Kebijakan pengendalian kebakaran hutan saat ini diarahkan pada upaya pencegahan terjadinya titik panas. Peran pemantauan satelit dan pengawasan timbulnya titik panas oleh masyarakat sangat penting terhadap efektivitas pengendalian titik panas yang terjadi. Adapun arah kebijakan pencegahan kejadian kebakaran hutan dan lahan menurut Darajati (2017) menganut prinsip permanen, lintas sektor, terpadu, komprehensif, cepat dan responsif, dan tepat sasaran. Berdasarkan lima prinsip tersebut, penjabaran strategi untuk tujuan yang lebih spesifik sebagai berikut:
Arah kebijakan dan strategi tersebut memerlukan keterlibatan para pihak berkepentingan guna meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Dengan tren penurunan jumlah titik panas yang terpantau setiap tahunnya menunjukkan indikasi positif terhadap peningkatan kualitas lingkungan.
*) Peneliti Junior Visi Teliti Saksama
Referensi:
Aldrian E, Karmini M, Budiman. (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2013). Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
[BPS] Badan Pusat Statistik. (2017). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2017. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Darajati, W (Ed.). (2017). Grand Design: Pencegahan kebakaran hutan, kebun dan lahan 2017 – 2019. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/matrik_tahunan?satelit=LPN-MODIS&thn=2018 (diakses tanggal 3 Juli 2018).