18 Juni 2019
17:01 WIB
Oleh Novelia, M.Si*
Sebuah keluarga kecil yang terdiri atas sepasang suami istri dan anaknya yang masih berusia balita menghabiskan sore akhir pekannya di taman dekat rumah. Menemani istrinya menyuapi sang buah hati, sang suami mengajak berkejaran dengan anaknya yang mengayuh sepeda roda tiga berukuran mini. Namun, belum habis suapan ketiga dikunyah, anak lelaki itu menghentikan laju dan turun dari sepedanya, kemudian berjalan menjauh.
“Pusss … Meong, Sayang ..., ” ucapnya sambil berjongkok membelai kucing di tepi taman yang tampak tenang dalam tidurnya. Kedua orang tua yang tadinya sempat bingung akhirnya tersenyum lega. Si ayah pun perlahan menghampiri sang buah hati dan memeluk dan mencium pipinya.
Tak dimungkiri, hubungan antara manusia dan binatang merupakan hal istimewa yang terjalin secara natural. Hubungan tersebut bahkan sudah dapat terbentuk sejak individu masih berumur sangat dini, seperti balita dalam cerita di atas. Kasih sayang manusia kepada berbagai binatang pun banyak tergambar dari berbagai bentuk kepedulian ketika makhluk tersebut menjadi korban berbagai fenomena di alam. Sebut saja banyaknya petisi hasil inisiasi para aktivis lingkungan hidup yang menggemakan kepunahan atau penderitaan binatang-binatang, disertai imbauan untuk melestarikan kehidupan mereka.
Hubungan tersebut begitu erat karena manusia berpihak kepada hak-hak binatang dengan menyoroti bahwa penderitaan tersebut merupakan buah dari keserakahan manusia, misalnya kasus binatang laut yang mati karena diduga memakan sampah plastik yang dibuang manusia. Lainnya, ada pula kasus berbagai satwa liar yang terusik karena hutan tempat hidupnya “dibajak” untuk kebutuhan bisnis manusia. Binatang menjadi prioritas.
Rasa cinta kepada binatang seolah mengalahkan pertalian sang penyeru imbauan dengan manusia lainnya, makhluk yang justru sejenis dengan dirinya sendiri. Lalu, apa yang membuat hubungan manusia dan binatang seerat ini?
Membangun Empati dengan Peliharaan
Kasih sayang manusia terhadap binatang sedikit banyak terkait dengan upaya para orang tua untuk mengenalkan perilaku pro-sosial kepada anak-anaknya. Empati dan jiwa altruis (kebaikan tanpa pamrih) merupakan materi yang hampir selalu jadi prioritas orang tua untuk ditanamkan kepada anak-anaknya. Seorang anak umumnya didambakan agar terbiasa dengan perilaku tersebut untuk membantu kehidupan sosialnya ketika bertumbuh. Anak diajarkan untuk peduli dan membangun hubungan baik dengan lingkungan sekitarnya, mulai dari keluarga, teman-teman, hingga binatang peliharaan.
Melalui studinya, Carolyn Zahn-Waxler (1984) dan rekan-rekan penelitinya mengelompokkan beberapa kegiatan pembelajaran yang mampu mendukung terbentuknya perilaku empatik dan jiwa kemanusiaan kepada anak, misalnya pemberian contoh yang membuat anak mengerti penggambaran perasaan dan penderitaan. Dapat juga dilakukan praktik kegiatan pro-sosial di depan anak dengan tujuan peniruan. Begitu juga dapat dilakukan penjelasan eksplisit mengenai perasaan dan keadaan korban dalam suatu fenomena serta beberapa kegiatan lain yang dapat dilihat pada infografik di bawah ini.
Hubungan dengan binatang merupakan cara yang cukup sering dipilih untuk memfasilitasi konsep altruisme dan mendemonstrasikannya pada anak. Umumnya, anak-anak akan direkomendasikan memiliki binatang peliharaan ketika sudah mencapai usia 5–6 tahun. Mengapa? Pada usia tersebutlah individu dianggap sudah mulai dapat belajar mengenai tanggung jawab, baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya.
Menurut Carolyn, dkk. (1984), ada variasi dalam pola hubungan keluarga dengan peliharaannya, terutama cara orang tua membangun hubungan antara sang anak dan binatang tersebut. Beberapa orang tua akan memberikan pujian atau penghargaan apabila sang anak melakukan hal yang menggambarkan kasih sayang terhadap peliharaannya. Misalnya saja, ketika sang anak memanjakan dengan mengelus atau secara rutin menyediakan kebutuhan makan minumnya, tentu sang anak akan mendapatkan pujian.
Ketika sang anak melakukan penyiksaan, orang tua akan memberitahu bahwa hal tersebut mengganggu dan menyakiti peliharaannya, serta mengajak anak untuk merefleksikan jika kesakitan itu ia rasakan sendiri. Cara menjelaskan keadaan binatang pun beragam, ada yang membuat sang anak percaya bahwa peliharaannya juga memiliki perasaan. Ada juga yang menanamkan bahwa binatang juga sangat menerima perilaku berlandaskan afeksi atau sesederhana berbagi perspektif bahwa hewan juga membutuhkan rasa nyaman seperti manusia. Semua itu dilakukan agar sang anak dapat memiliki hubungan lebih hangat dengan peliharaannya.
Kucing dan Anjing yang Istimewa
Di antara berbagai jenis binatang yang dapat dijadikan peliharaan manusia, kucing dan anjing adalah yang paling memiliki kekhasan tersendiri. Bagaimana tidak, pasalnya, dibandingkan spesies lainnya, kedua jenis hewan ini memiliki kemampuan istimewa dalam bersosialisasi secara intim dengan makhluk hidup lain di luar spesiesnya, tidak terkecuali manusia. Anjing dan kucing juga memiliki keunggulan dalam kapasitasnya membangkitkan ekspresi afeksi yang kuat dari manusia (Zahn-Waxler, 1984). Dengan keistimewaan interaksi tersebut, tidak mengherankan apabila manusia secara langsung maupun tidak menganggap keduanya dapat dengan mudah mengerti dan membantu manusia dalam memenuhi kebutuhannya secara fisik.
Namun, meski tanpa tujuan membantu kehidupan manusia secara fisik, banyak individu yang masih tetap memelihara satu dari dua, atau bahkan kedua jenis binatang ini. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kebutuhan psikologis dan emosional manusia. Bagaimanapun, anjing dan kucing masih menjadi pilihan untuk menemani hari-hari manusia.
Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan emosional, tak jarang hewan peliharaan dapat menjadi alat terapi untuk mengurangi stres. Bercengkerama dan berinteraksi dengan binatang, dengan cara yang dianggap paling ideal menurut majikannya, menjadi pelepas kelelahan yang ampuh bagi beberapa orang. Disadari atau tidak, binatang-binatang yang menyambut hangat mereka memberikan kenyamanan pendampingan serta kebahagiaan menikmati waktu bersama (Katcher & Beck, 1983).
Pertalian Rasa Sedari Dini
Dengan kenyamanan yang ditawarkan anjing dan kucing atau berbagai binatang peliharaan lainnya, tidakkah muncul pertanyaan bagaimana ikatan antara binatang dan manusia terasa sangat erat? Apakah ada riwayat yang membuat keakraban tersebut semakin intim dari waktu ke waktu? Jawabannya ya, ada.
Sejak kecil, bahkan sebelum mengerti pelajaran baca tulis dan mengenal dunia sekolah, seorang anak telah ditanamkan untuk melihat bahwa binatang merupakan elemen penting dalam kehidupan. Hal tersebut tergambar dari kehadiran kelompok ini di mana pun, baik dalam kehidupan nyata maupun imajinasi mereka yang telah terkonstruksi. Di berbagai cerita anak, misalnya, hampir seluruh kisah akan memiliki karakter binatang, bahkan meskipun bukan jenis fabel. Begitu juga dengan berbagai boneka dan mainan anak yang banyak mengambil bentuk binatang, baik yang murni maupun yang telah dimodifikasi menjadi jagoan dalam film atau serial anak tertentu.
Selain dalam berbagai kisah dan mainan, anak-anak juga mengenal berbagai binatang dari berbagai sarana edukasi anak, misalnya patung atau replika di berbagai pusat pendidikan dasar atau buku ensiklopedia binatang. Pengetahuan sangat cepat diserap oleh anak-anak. Bukan cerita langka, misalnya, ketika sang anak lebih hafal berbagai nama dinosaurus dibandingkan ayah yang membelikannya buku ensiklopedia.
Kehadiran penggambaran binatang melalui berbagai medium pembelajaran anak sedari dini pada akhirnya membuat sang anak terbiasa dengan keberadaan makhluk hidup ini. Binatang menjadi sosok teman yang selalu hadir dalam dunia anak. Jadi, tak mengherankan apabila seorang anak merasa bahagia saat diberi kesempatan untuk memiliki peliharaan. Sebagai contoh, dalam studinya, Zahn-Waxler, dkk. (1984) mengisahkan seorang anak baru saja dimarahi sang orang tua karena melakukan hal nakal. Selanjutnya, anak tersebut menghampiri binatang peliharaannya untuk menenangkan diri. Oleh anak tersebut, peliharaannya dijadikan tempat mencari kenyamanan ketika suasana hatinya tidak terlalu baik.
Dari beberapa studi yang ada, ekspektasi seseorang akan perilaku seorang anak sangat mungkin bergantung kepada cara orang tuanya memberikan contoh. Namun, ketika berkenaan dengan binatang peliharaan, beberapa anomali dapat terjadi. Setidaknya, itulah yang ditunjukkan salah satu hasil observasi dalam penelitian yang sama.
Ketika sang anjing peliharaan menggonggong terlalu keras dan melakukan hal yang kurang baik di rumah, si orang tua membentak dan menyuruh anjing tersebut ke luar rumah. Di luar perkiraan, bukannya meniru kemarahan orang tuanya, anak perempuan keluarga tersebut yang masih kecil malahan melindungi dan membela anjing peliharaannya. Relasi yang cukup erat, bukan?
Rentang hidup binatang yang umumnya lebih singkat dari masa bertumbuh manusia pada akhirnya juga menjadi alasan keeratan hubungan keduanya. Memelihara binatang sejak masa kanak-kanak, individu kemungkinan besar akan mengalami kehilangan atas peliharaannya, entah karena hilang atau mati. Kehilangan dalam usia pendewasaan tersebut akan menjadi pengalaman berharga bagi seorang manusia, menjadikannya lebih bijak dalam menilai hidup. Secara tidak langsung, kejadian tersebut juga akan memacu sang individu untuk lebih bertanggung jawab atas peliharaannya dan tentunya semakin meningkatkan kasih sayang mereka kepada binatang.
Hubungan manusia dan binatang memang unik. Kasih sayang antara keduanya terlahir begitu saja tanpa keharusan berinteraksi sebelumnya. Afeksi yang tidak terencana serta merta terjadi ketika keduanya bertemu. Kalau benar ada cinta pada pandangan pertama, mungkin hubungan antara manusia dan binatanglah yang paling sering terjadi.
*) Peneliti Muda Visi Teliti Saksama
Referensi
Katcher, A. H., & Beck, A. (1983). New Perspectives on Our Lives With Companion Animals. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Zahn-Waxler, C. (1984). The Origins of Emphaty and Altruism. In M. W. Fox, & L. Mickey, Advance in Animal Welfare Science (pp. 21-41). Washington, DC: The Humane Society of The United States.