c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

OPINI

24 Juni 2020

18:13 WIB

Berat Langkah Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

Kebutuhan alat pelindung diri (APD) yang meningkat drastis karena pandemi covid-19 membuat pemerintah dan produsen mau tidak mau harus memanfaatkan “kesempatan” ini

Editor: Nugroho Pratomo

Berat Langkah Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
Berat Langkah Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
Petugas Pemadam Kebakaran mengenakan kaca mata sebelum menyemprotkan cairan disinfektan di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Rabu (17/6/2020). Penyemprotan cairan disinfektan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di kawasan Monas yang akan dibuka kembali pada 20 Juni 2020. ANTARAFOTO/Wahyu Putro A

Oleh Kevin Sihotang, S.E.*

Ada nama industri tekstil dan pakaian di antara lima industri yang diprioritaskan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam strategi Making Indonesia 4.0, bersama-sama dengan industri makanan dan minuman (F&B), industri otomotif, industri elektronik, dan industri kimia.

Sebelumnya, familiar kah Anda dengan istilah Revolusi 4.0? Saat ini, negara-negara di dunia tengah memasuki era baru dalam perindustrian yang disebut Industri 4.0. Istilah tersebut memiliki arti bahwa dunia industri kini tengah mengalami revolusi untuk keempat kalinya.

Revolusi pertama terjadi ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh mesin uap. Revolusi kedua ditandai ketika tenaga listrik sudah mulai digunakan dan mulai diterapkannya sistem produksi massal. Revolusi ketiga terjadi saat industri memanfaatkan mesin otomasi, seperti komputer dan robot.

Sementara itu, untuk revolusi keempat kali ini, industri mulai banyak memakai IoT (internet of things), teknologi AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan, serta penggunaan cloud computing atau komputasi awan.

Dalam menghadapi revolusi industri ini, Kemenperin membuat suatu strategi yang dinamakan Making Indonesia 4.0. Di dalam rancangan strategi tersebut, ada lima sektor yang diprioritaskan  pengembangannya, seperti yang telah disebutkan di atas. Salah satunya industri Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

“Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri tekstil dan pakaian merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang sedang diprioritaskan pengembangannya terutama dalam kesiapan memasuki era industri 4.0,” kata Menperin, November tahun lalu, yang dikutip dari Antara.

Pentingnya Industri TPT

Pada November tahun lalu, Menteri Perindustrian, Agung Gumiwang Kartasasmita, mengungkapkan bahwa industri tekstil dan pakaian jadi merupakan sektor manufaktur yang menunjukkan pertumbuhan tertinggi pada triwulan III-2019, yakni sebesar 15,08%. Angka ini melampaui pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,02% pada periode yang sama.

Sebelumnya, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi industri pakaian jadi mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 15,29%.

Di samping itu, Industri TPT mampu menjadi penghasil devisa yang cukup besar. Hal ini tercermin dari proyeksi nilai ekspor sepanjang tahun 2019 yang mencapai US$ 12,9 miliar.

Selain itu, industri ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 3,73 juta orang. Pada tahun 2019, kontribusi sektor ini terhadap PDB mencapai 5,4%.

Kemenperin juga meyakini bahwa Industri TPT nasional semakin kompetitif di kancah global karena memiliki daya saing tinggi. Hal ini didorong oleh struktur industri TPT yang sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir.

Industri TPT yang berbasis padat karya dan memiliki orientasi ekspor membuat Kemenperin bertekad untuk secara proaktif memacu ekspor produk TPT nasional. Beberapa langkah strategis dijalankan, seperti mendorong perluasan akses pasar serta merestrukturisasi mesin dan peralatan.

Selain itu, Kemenperin berusaha memudahkan ketersediaan bahan baku dan pasokan energi. Sebagai tidak lanjutnya, pemerintah tengah menyelesaikan aturan perlindungan (safeguard) yang penerapannya akan mengenakan bea masuk pada produk tekstil yang berasal dari luar negeri.

Lonjakan Impor dan Aturan Safeguard

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi industri TPT tanah air adalah serbuan impor.

Beberapa tantangan perihal impor, antara lain harga produk tekstil Indonesia yang tidak kompetitif dibandingkan produk impor serta pertumbuhan impor kain yang tidak diimbangi ekspor garmen. Karenanya, hal ini turut merusak industri kain, benang dan serat, serta pertumbuhan konsumsi domestik yang diambil oleh impor.

Data BPS yang diolah Kemenperin menunjukkan bahwa pada periode 2017—2019, angka impor produk garmen mencapai US$ 2,38 miliar. Di samping itu, pada periode yang sama terjadi peningkatan volume impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya dengan tren sebesar 25,2%.

Pada 2017, volume impor produk ini mencapai 21.907 ton, lalu pada 2018 naik 31% menjadi 28.706 ton, dan pada 2019 naik kembali sebesar 19,7% menjadi sebesar 34.357 ton. Negara pengimpornya meliputi China, Turki, Korea Selatan, dan Jepang.

Lebih lanjut, peningkatan impor juga terjadi pada produk busana muslim. Kerudung dan syal, misalnya, mengalami lonjakan impor sejak 2016—2018, yakni dari 7.000 ton menjadi 12.000 ton.

Di sisi lain, tak bisa dimungkiri, harga produk-produk impor memang lebih murah dibandingkan produk lokal. Oleh sebab itu, untuk melindungi industri TPT dalam negeri, Kemenperin menyerukan aturan safeguard yang merupakan semacam tarif bea masuk terhadap impor TPT.

“Kemenperin akan memberikan perlindungan melalui penerapan safeguard bagi industri garmen. Safeguard ini kami usulkan karena terjadi peningkatan impor di sektor ini dalam tiga tahun terakhir,” jelas Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Gati Wibawaningsih, lewat keterangannya di Jakarta sebagaimana dilansir Antara.

“Tingginya angka impor di sektor ini merupakan hal yang harus disikapi secara serius oleh Kemenperin. Impor yang tinggi ini dapat menutup potensi pasar dalam negeri karena produk-produk impor tersebut harganya relatif murah,” ungkap Gati.

Aturan safeguard ini menjadi sangat penting mengingat industri TPT punya potensi untuk mendorong perekonomian negara.

“Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengajukan kebijakan safeguad. Dengan begitu, setelah covid-19 berakhir dan kondisi kembali normal, safeguard sudah bisa dijalankan,” terang Gati.

Adapun dasar hukum penerapan safeguard adalah Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.

Permasalahan Masih Ada

Desember tahun lalu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menggelar pertemuan dengan pengusaha industri TPT yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) di Jakarta.

Pertemuan itu dilakukan untuk menyerap aspirasi industri tekstil dan produk tekstil, terkait pengembangan dan pemecahan masalah yang dihadapi industri tersebut. Dari pertemuan tersebut, didapatkan beberapa kesimpulan persoalan inti yang tengah dihadapi industri TPT, yakni tingginya harga bahan baku industri hilir, harga energi yang mahal, dan sistem proteksi pasar yang kurang berpihak pada pelaku usaha dalam negeri, baik investor asing maupun domestik.

Lebih lanjut, dalam pertemuan itu juga, Bahlil Lahadalia berjanji akan mencarikan solusi agar harga tekstil domestik tidak jauh beda dengan negara lain yang mengekspor barangnya ke Indonesia.

Pemerintah pun memperkirakan akan dibutuhkan anggaran sebesar Rp175 triliun untuk revitalisasi industri tekstil dari hulu ke hilir dalam waktu tujuh tahun. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan devisa menjadi US$ 49 miliar per tahun pada 2030, dengan net devisa sebesar US$ 30 miliar per tahun.

Sementara itu, hal lain yang harus menjadi perhatian adalah perlunya dukungan industri sektor permesinan dalam negeri. Namun demikian, salah satu kendalanya adalah mayoritas mesin-mesin industri tekstil yang ada di Indonesia sudah tua.

Karenanya, Kemenperin saat ini juga ingin mendorong industri-industri mesin di dalam negeri untuk terus mendukung produktivitas industri TPT. Tidak hanya dengan mengimpor mesin dari luar negeri, namun juga membuat permesinan secara domestik.

Dunia Dihantam Corona

Ketika Industri TPT Indonesia sedang berjuang memperbaiki dan meningkatkan produksinya, nahasnya wabah corona menghantam dunia. Tak dapat dihindari, industri ini pun menjadi yang paling terdampak.

Akibatnya, pada April 2020 lalu, sekitar 80% perusahaan TPT di Indonesia melakukan pengurangan karyawan. Selain itu, berdasarkan data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), ada 2.159.832 tenaga kerja yang dirumahkan.

Meskipun ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantui para karyawan, di sisi lain PHK juga semakin memberatkan perusahaan karena adanya berbagai peraturan mengenai ketenagakerjaan yang harus dipatuhi.

Ironisnya, kasus ini tak cuma terjadi di Indonesia. Semua industri tekstil dan garmen di dunia mengalami penderitaan yang sama. Contohnya, Bangladesh yang merupakan produsen TPT terbesar kedua setelah China.

Sekitar 84% pendapatan ekspor Bangladesh didapat dari industri TPT. Akibat pandemi, sejak awal April lalu sekitar satu juta pekerja industri garmen di Bangladesh diberhentikan.

Padahal, sejak akhir Mei lalu, industri TPT di sana telah berusaha bangkit kembali dengan memanfaatkan bantuan dari pemerintahnya sebesar US$ 8 miliar. Selain itu, mereka juga mendapatkan bantuan dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 732 juta dan European Union sebesar USD 126 juta. Namun demikian, krisis tetap tak bisa dihindari.

Selain Bangladesh, China sebagai pemimpin industri tekstil dan garmen di dunia pun tak luput dari penderitaan ini. Hal ini menyusul banyaknya pesanan yang dibatalkan. Selain itu, pandemi corona telah mengganggu dan mengubah siklus pengembangan, produksi, dan penjualan produksi tekstil. Para pelaku usaha pun memprediksi pesanan dari Amerika Serikat dan Eropa akan menurun drastis hingga Agustus—September tahun ini.

Namun demikian, industri TPT di China sebetulnya sudah mengalami penurunan pesanan beberapa tahun ke belakang. Hal ini karena konsumen yang sebagian besar berasal dari AS dan Eropa lebih memilih memakai jasa industri TPT di Bangladesh dan Vietnam karena biaya produksi yang lebih murah terutama ongkos untuk tenaga kerjanya.

Tahun lalu, data dari China Customs Administration seperti dilansir oleh SCMP, mengungkapkan bahawa nilai ekspor TPT turun 1,85% dari tahun sebelumnya hingga US$ 271 miliar. Kemudian, dua bulan pertama tahun ini pengiriman menurun sebesar 20%, yakni senilai US$ 29 miliar.

Di samping Bangladesh dan China, data dari Vietnam’s Customs Agency mengungkapkan bahwa tingkat ekspor dan impor menurun drastis pada kuartal pertama 2020. Dalam hal ini, asosiasi tekstil di Vietnam melaporkan hingga Juni 2020, estimasi kerugian industri TPT mencapai US$ 508 juta. 

Selain itu, nilai ekspor garmen awal tahun ini mencapai nilai US$ 7,03 miliar. Nilai ini menurun 1,4% berdasarkan perbandingan year-on-year dengan tahun 2019, dan lebih rendah 34% dibandingkan ekspektasi pertumbuhan sebelum adanya wabah corona yang mencapai 50%.

Bertahan dengan Jadi Produsen APD

Kebutuhan alat pelindung diri (APD) yang meningkat drastis karena pandemi covid-19 membuat pemerintah dan produsen mau tidak mau harus memanfaatkan “kesempatan” ini. Bisa dibilang, hal ini merupakan kesempatan satu-satunya bagi industri TPT untuk bertahan di tengah pandemi ini.

Sejak Maret lalu, Kemenperin meminta Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) agar para anggotanya dapat memproduksi masker dan APD.

“Hal ini dapat menjadi solusi untuk mempertahankan kinerja industri tekstil di tengah menurunnya pasar dalam negeri,” kata Menperin, Agus Gumiwang Kartasasmita, dalam keterangan resmi akhir Maret lalu seperti dilansir Antara (27/3).

“Dengan kondisi seperti saat ini, kemungkinan demand dapat bertambah hingga 100%, bahkan 500%,” ujarnya.

Hingga Juni, terungkap bahwa produksi APD lokal sudah oversupply. Dalam hal ini, Kemenperin mencatat peningkatan signifikan terjadi pada produksi coverall/protective suite dan surgical mask di dalam negeri.

Mengacu pada catatan Kemenperin dan Kemenkes, diperkirakan terdapat kelebihan produksi APD yang meliputi 1,96 miliar masker bedah, 377,7 juta potong masker kain, 13,2 juta pakaian bedah, serta 356,6 juta unit pakaian pelindung medis hingga Desember 2020.

Kelebihan pasokan APD di dalam negeri  ini memunculkan dua hal baik. Pertama, kebutuhan APD lokal terpenuhi, jadi kita sudah tidak perlu risau memikirkan ketersediaan APD. Kedua, ini membuka kesempatan baru untuk industri TPT dengan terbukanya keran ekspor.

Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, mengatakan bahwa pihak Kemendag tengah mengevaluasi larangan dan pembatasan (lartas) ekspor untuk APD buatan dalam negeri agar dapat dimudahkan ekspornya apabila kebutuhan nasional sudah terpenuhi.

Mendag juga menjelaskan bahwa sudah ada Jepang dan Korea Selatan yang telah memiliki perjanjian ekspor APD dengan Indonesia. Lalu, ada juga beberapa negara lain, yang meski belum memiliki perjanjian resmi dengan Indonesia, telah meminta Indonesia untuk mengekspor APD ke negaranya.

Menperin menjelaskan bahwa APD Indonesia telah memenuhi persyaratan medis sesuai standar WHO. Bahkan, beberapa produk dalam negeri telah lulus uji ISO 16604, yakni standar level tertinggi WHO.

Baju APD yang diproduksi oleh industri dalam negeri dengan standar internasional ini dibuat di pabrik PT Sritex, PT SUM, PT Leading Garment, serta PT APF dan Busana Apparel. Semua perusahaan itu telah lolos uji standar ISO 16604 Class 2 dan bahkan lebih tinggi.

Tak bisa dimungkiri, tidak semua perusahaan TPT mampu memproduksi APD. Bahkan, sebenarnya nilai jual produksi APD ini mungkin belum bisa menutupi kerugian yang sudah dialami perusahaan.

Akan tetapi, bila melihat sisi baiknya, masih ada perusahaan dengan ribuan pekerja yang sanggup bertahan karena memproduksi APD di tengah sepinya pembeli untuk produk pakaian.

Selain itu, hal ini juga menjadi udara segar di tengah sulitnya keadaan. Terlebih, banyak peneliti yang memprediksi bahwa daya beli masyarakat masih akan sulit untuk pulih seperti sebelum pandemi dalam waktu dekat.

Diprediksi, industri TPT akan mulai bangkit pada 2021. Namun, untuk saat ini, bila industri TPT tanah air dapat mengekspor APD dengan kualitas terbaik dan memenuhi kebutuhan APD dunia, hal ini juga bisa dijadikan kesempatan untuk menaikkan nama industri TPT kita di mata dunia.

*) Peneliti Muda Visi Teliti Saksama

Referensi :

ANTARA. 2019. Bahlil kumpulkan pengusaha tekstil, cari solusi dongkrak daya saing. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1204875/bahlil-kumpulkan-pengusaha-tekstil-cari-solusi-dongkrak-daya-saing

ANTARA 2019. Kemenperin: Pemulihan tekstil perlu didukung industri mesin. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1139523/kemenperin-pemulihan-tekstil-perlu-didukung-industri-mesin

ANTARA. 2019. Menperin sebut industri tekstil dan pakaian tumbuh paling tinggi. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1150444/menperin-sebut-industri-tekstil-dan-pakaian-tumbuh-paling-tinggi

ANTARA. 2020. Impor garmen melonjak, kemenperin serukan safeguard industri garmen. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1549424/impor-garmen-melonjak-kemenperin-serukan-safeguard-industri-garmen

ANTARA. 2020. Kemenperin siapkan IKM jadi pemohon safeguard produk garmen. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1486684/kemenperin-siapkan-ikm-jadi-pemohon-safeguard-produk-garmen

ANTARA. 2020. KPPI selidiki safeguard impor karpet dan penutup lantai tekstil. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1548012/kppi-selidiki-safeguard-impor-karpet-dan-penutup-lantai-tekstil

ANTARA. 2020. Menperin sebut industri tekstil jadi sektor strategis. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1251780/menperin-sebut-industri-tekstil-jadi-sektor-strategis

East Asia Forum. 2020. Vietnam’s textile and garment industry hit hard by covid-19. Diakses dari https://www.eastasiaforum.org/2020/05/19/vietnams-textile-and-garment-industry-hit-hard-by-covid-19/


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar