20 Desember 2024
08:09 WIB
Yusril, Rencana Ampuni Koruptor Bagian Dari Amnesti dan Abolisi
Yusril sebut ampuni koruptor bagian dari ratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) yang telat dilakukan pemerintah sebelumnya.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra berikan keterangan kepada wartawan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Selasa (10/12/2024). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat.
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan ampuni koruptor jika mengembalikan uang yang dikorupsi, merupakan bagian rencana amnesti dan abolisi pada 44 ribu lebih narapidana.
Rencana tersebut, kata dia, merupakan salah satu dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery), sejalan dengan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia.
"Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan konvensi tersebut, namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya," ujar Yusril dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis (19/12).
Dia menyebutkan penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi merupakan upaya pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif, dan pemulihan kerugian negara.
Baca: Prabowo Beri Kesempatan Koruptor Tobat
Sebelumnya, Presiden Prabowo mengemukakan, orang yang diduga melalukan korupsi, orang yang dalam proses hukum karena disangka melakukan korupsi, dan orang yang telah divonis karena terbukti melakukan korupsi dapat dimaafkan jika mereka dengan sadar mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya.
Menurut Yusril, pernyataan Presiden itu menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang akan diberlakukan awal tahun 2026.
Dengan demikian, sambung dia, penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
"Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya," kata Yusril.
Dia menilai apabila para pelaku hanya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sementara, lanjut dia, jika uang hasil korupsi mereka kembalikan dan pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menyejahterakan rakyat.
Yusril mencontohkan, pelaku korupsi di dunia usaha misalnya, bisa meneruskan usahanya dengan cara yang benar dan tidak mengulangi praktik korupsi.
Dengan begitu, Yusril menyebutkan usaha pelaku tersebut tidak tutup atau bangkrut, negara tetap dapat pajak, tenaga kerja tidak menganggur, pabrik tidak jadi besi tua, dan sebagainya.
Maka dari itu, dia berpendapat penegakan hukum dalam menangani korupsi harus dikaitkan dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan bertujuan hanya untuk memenjarakan pelakunya.
Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, kata dia, memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun, termasuk tindak pidana korupsi, dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Sesuai amanat konstitusi, sebelum memberikan amnesti dan abolisi, Presiden akan meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Sebagai pembantu presiden, para menteri siap memberikan penjelasan ke DPR jika nanti Presiden telah mengirim surat meminta pertimbangan," ucap Yusril menegaskan.
Dia mengungkapkan Kementerian Koordinator Kumham Imipas sejak sebulan lalu telah mengoordinasikan rencana pemberian amnesti dan abolisi, termasuk terhadap beberapa kasus korupsi.
Langkah tersebut, menurut Yusril, merupakan bagian dari rencana pemberian amnesti kepada total 44 ribu narapidana, yang sebagian besar merupakan narapidana kasus narkoba, sedangkan khusus untuk narapidana kasus korupsi terdapat beberapa syarat yang sedang dibahas.
Dia menyampaikan beberapa hal yang sedang dikoordinasikan antara lain terkait dengan perhitungan besaran pengembalian kerugian negara yang diduga atau telah terbukti dikorupsi, termasuk pengaturan teknis pelaksanaan dalam pemberian amnesti dan abolisi tersebut.
"Ini perlu koordinasi yang sungguh-sungguh," tutur Yusril.