02 September 2025
19:27 WIB
Warga Sasar Pemda-DPRD Tolak Kebijakan Pemerintah Pusat
Warga daerah menjadikan pemda-DPRD sasaran kekesalan akan kebijakan pemerintah pusat.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, duduk bersama ribuan massa aksi di depan Kantor DPRD Sulteng, Senin (1/9/2025). (RRI/Ro Adpim).
JAKARTA - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Edbert Gani menilai pemerintah daerah dan DPRD kerap menjadi sasaran pelampiasan kekesalan warga setempat akan kebijakan pemerintah pusat.
Pernyataan ini merespons sejumlah aksi massa yang berujung pada perusakan aset-aset pemda pada pekan terahir Agustus 2025.
Edbert Gani melanjutkan, masyarakat di daerah lebih cenderung melakukan evaluasi terhadap pemerintah secara umum atau nasional kepada mereka yang paling dekat dengan mereka.
Warga di daerah, sambung dia, butuh objek pelampiasan kekesalan mereka akan kebijakan pemerintah pusat. Kemarahan masyarakat di daerah kepada pemerintah pusat lebih besar ketimbang isu-isu yang benar-benar berdampak langsung di daerah-daerah.
“Tapi, karena DPR dan pemda lebih dekat dengan warga di daerah, maka saluran kemarahan warga adalah institusi di daerah seolah cerminan negara secara keseluruhan,” kata peneliti CSIS ini dalam paparan bertajuk Wake Up Call dari Jalanan: Ujian Demokrasi dan Ekonomi Kita’ di Kantor CSIS, Jakarta, Selasa (2/9).
Edbert Gani memberi contoh kebijakan pemerintah pusat yang mengurangi transfer ke daerah (TKD) yang signifikan hingga membuat daerah mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif pajak.
“Sebenarnya di daerah terjadi juga semacam kepanikan karena ada perubahan kebijakan transfer yang begitu cepat, tanpa adanya waktu bagi pemda untuk beradaptasi dengan perubahan dari kebijakan nasional. Itu sebenarnya yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia,” tutur dia.
Sebagai catatan, pemerintah pusat memotong TKD sekitar Rp50 triliun pada 2025. Pemangkasan TKD juga berlanjut tahun depan hingga 24,7% menjadi Rp650 triliun dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2026.
Agar meredam kemarahan publik, kata dia, pemda mesti menemui langsung masyarakat. Transparan kepada publik mengenai situasi-situasi yang terjadi.
“Salam konteks tersebut, saya rasa ini bisa jadi momentum untuk mengevaluasi juga kebijakan pusat pada akhirnya,” tambahnya.
Gani mengatakan pemda punya modal yang kuat untuk menjelaskan ke publik karena dipilih langsung saat pilkada.
Sementara itu, Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan keputusan pemerintah pusat yang mengurangi TKD menjadi salah satu penyebab menurunnya kepercayaan masyarakat yang memicu demonstrasi di banyak daerah.
“Akibatnya dengan kapasitas fiskal yang terbatas di daerah, mau tidak mau pilihannya misalnya pemerintah daerah menaikan PBB dan itu menjadi beban tambahan bagi masyarakat,” lanjut dia.