29 September 2025
14:58 WIB
Warga Adukan Penataan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo Ke DPR
Kehadiran satuan tugas penertiban dan penataan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo disebut menimbulkan ketakutan warga hingga terjadi dugaan kekerasan terhadap anak-anak.
Editor: Rikando Somba
Taman Nasional Tesso Nilo, taman nasional yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Dok Kemenpar
JAKARTA- Komisi XIII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum dengan forum masyarakat, mahasiswa, dan perwakilan desa dari Riau pada Senin (29/9). Warga Riau mengadukan dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penataan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan. Warga mengklaim, kehadiran satuan tugas penertiban kawasan hutan menimbulkan ketakutan warga hingga terjadi dugaan kekerasan terhadap anak-anak.
Juru bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan di Riau Abdul Azis mengatakan, ada oknum pemerintah yang lalai melaksanakan penataan batas sehingga ribuan desa diklaim masuk kawasan hutan tanpa kepastian hukum. Ini berihwal dari dari SK 173/1986 tentang penunjukan kawasan hutan di Riau.
"Sejak 1986 hingga kini kawasan hutan hanya ditunjuk tetapi tidak pernah dikukuhkan sesuai Pasal 14 Undang-Undang Kehutanan. Akibatnya masyarakat dituding sebagai perambah atau penduduk ilegal di tanah yang sudah dihuni jauh sebelum TNTN ditetapkan," ujar Abdul Azis dalam rapat dengan Komisi XIII DPR di Jakarta.
Katanya, penunjukan kawasan hutan TNTN pada tahun 2004 dan 2009 seluas lebih dari 80 ribu hektare tidak didahului penetapan batas. Kawasan itu bahkan pernah dikelola perusahaan sejak 1970-an.
"Kalau ditelusuri, justru ada 153 ribu hektare hutan yang diberikan izin tebang ke 13 perusahaan dengan nilai kayu mencapai lebih dari Rp7 triliun. Namun, masyarakat kecil yang justru ditekan," katanya.

Menolak Relokasi
Perwakilan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan Wandri Simbolon menyampaikan kebijakan TNTN berdampak langsung terhadap tujuh desa dengan sekitar 50 ribu jiwa.
Adanya pembatasan aktivitas warga dengan pemasangan portal, larangan menanam, hingga pemutusan akses ekonomi memperburuk kondisi masyarakat.
"Kami menolak relokasi karena akan menghilangkan rumah, sekolah, dan rumah ibadah yang sudah ada puluhan tahun. Bahkan pernah ada kasus anak SD dicekik aparat satgas dengan alasan bercanda. Itu cara yang tidak manusiawi," ucap Wandri dikutip dari Antara.
Kerugian akibat kebijakan itu ditaksir mencapai Rp708 miliar, terutama dari pinjaman KUR, leasing, dan pajak yang gagal dibayar warga.
Baca juga: Satgas PKH Percepat Pemulihan Taman Nasional Tesso Nillo
Keluhan juga disampaikan Forum Desa Korban Tata Kelola Hutan di Indragiri Hulu. Ketua forum, Irwantoni, menjelaskan desanya yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tiba-tiba ditetapkan sebagai kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) berdasarkan SK 903/2016. Akibat status itu, sertifikat tanah masyarakat tidak lagi berlaku dan lahan yang dikuasai warga dipatok ulang oleh satgas.
"Padahal lahan itu satu-satunya sumber penghidupan warga. Jika tidak ada perubahan kebijakan, masyarakat kami akan bernasib sama seperti desa-desa di Tesso Nilo," kata Irwantoni.
Sebaliknya, Komisi XIII menekankan pentingnya peran Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melakukan penyelidikan dan memberi rekomendasi atas dugaan pelanggaran. Komisi XIII DPR menegaskan keadilan masyarakat terdampak tata kelola hutan harus dijunjung tinggi sebagai amanat konstitusi.
Rapat yang dihadiri perwakilan masyarakat, mahasiswa, serta lembaga negara HAM itu membahas perkembangan kasus dan membawa hasil pembahasan ke agenda selanjutnya.
Baca juga: Anak-anak Di Tesso Nilo Akan Ditampung Di Sekolah Lain
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira mengatakan rapat tersebut merupakan tindak lanjut dari surat pengaduan sejumlah organisasi masyarakat yang sudah cukup lama disampaikan ke DPR. Katanya, negara tidak hanya wajib mendengarkan aspirasi, tetapi juga menjamin keamanan masyarakat yang memperjuangkan haknya.
"Persoalan yang dihadapi masyarakat menyangkut penyitaan lahan, pemutusan akses jalan dan listrik, larangan transaksi hasil sawit, hingga larangan penerimaan murid baru di sekolah kawasan TNTN. Semua itu terkait hak atas tanah, hak hidup di lingkungan sehat, serta hak penghidupan yang layak, yang merupakan bagian integral HAM yang dijamin konstitusi," kata Andreas.