c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

NASIONAL

10 September 2021

14:51 WIB

UU ITE Perlu Direvisi Secara Komprehensif

Pemerintah usulkan revisi terbatas. Publik nilai pasal lain juga bermasalah

Penulis: Wandha Nur Hidayat

Editor: Leo Wisnu Susapto

UU ITE Perlu Direvisi Secara Komprehensif
UU ITE Perlu Direvisi Secara Komprehensif
Ilustrasi kriminalitas dalam dunia teknologi. Ist

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Noor Halimah Anjani mengatakan, perlu ada revisi komprehensif pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebab, memuat banyak pasal multitafsir yang sering digunakan untuk kriminalisasi warga.

"Tanpa revisi, alih-alih melindungi masyarakat dalam ruang digital, UU ITE dengan pasal-pasal multitafsirnya justru lebih sering digunakan untuk melakukan kriminalisasi," ungkap Noor dalam siaran pers yang diterima, Jumat (10/9).

Dia menjelaskan pasal-pasal multitafsir itu selama ini kerap menimbulkan masalah dan memakan korban masyarakat yang seharusnya dilindungi. Selain memengaruhi pelaksanaan UU ITE, revisi pun dinilai akan berdampak pada peraturan turunannya.

Saat ini pemerintah memutuskan merevisi UU ITE hanya pada empat pasal terkait perbuatan yang dilarang, yaitu Pasal 27 ayat 1-4; Pasal 28 ayat 1-2; Pasal 29; dan Pasal 36. Serta berencana menambah satu pasal pada ketentuan pidana yaitu Pasal 45C.

Tetapi, lanjut dia, sebenarnya masih terdapat pasal multitafsir lainnya. 

Pasal 40 UU ITE mengenai muatan informasi elektronik yang dilarang dan konsekuensi pemutusan akses pada informasi elektronik tersebut.

Aturan turunan yang akan tersentuh revisi UU ITE, misalnya, ialah Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Ini terkait pemutusan akses pada konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

Menurut Noor, frasa 'meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum' adalah frasa yang multitafsir. Kemudian dalam penerapannya juga akan memberatkan para pelaku usaha, karena mereka harus bisa memantau seluruh konten di platformnya.

"Mereka harus mampu memantau seluruh konten informasi pada platform mereka masing-masing dengan ancaman pemutusan akses oleh pemerintah bila gagal," papar Noor.

Dia berpendapat revisi UU ITE juga memiliki urgensi karena undang-undang ini direvisi pada 2016. Padahal perkembangan teknologi dan informasi telah memunculkan sejumlah masalah dan ancaman baru selama empat tahun terakhir ini.

Revisi UU ITE dinilai dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menambah aspek-aspek penting sesuai kondisi ruang digital saat ini. Termasuk dalam memberi kepastian hukum yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi digital nasional.

Fokus revisi UU ITE saat ini hanya mencakup enam masalah, yakni ujaran kebencian, kebohongan, perjudian daring, kesusilaan, fitnah, dan pencemaran nama baik. Seharusnya, revisi diperluas lagi menyangkut transformasi digital dan pertumbuhan ekonomi digital.

"Tidak diperlukan mencabut UU ITE secara keseluruhan, sesuaikan saja pembahasan dengan perkembangan teknologi dan komunikasi saat ini," kata dia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar