30 November 2023
20:08 WIB
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Drama penegakan etik teranyar digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Eks Ketua MK kali pertama, Jimly Ashidiqqie memimpin Majelis Kehormatan MK (MKMK), dengan terlapor sembilan atau seluruh hakim di lembaga itu.
Perkara yang jadi ihwal MKMK terbentuk, tentang adanya dugaan pelanggaran etik oleh seluruh hakim konstitusi saat menangani uji materiil UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pemilu. Terutama, mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang menurut UU Pemilu yakni minimal 40 tahun.
Putusan MK kala itu memang menolak batas usia lebih muda dari ketentuan UU Pemilu. Namun, putusan MK, meski ada pendapat berbeda, menambahkan ketentuan baru, yakni bakal capres-cawapres pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Putusan itu berimplikasi lolosnya Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres. Putra sulung Presiden Joko Widodo ini dipinang bakal capres Prabowo Subianto yang diusung gabungan partai politik di Koalisi Indonesia Maju. Meski, usia Gibran saat itu di bawah 40 tahun.
Publik bereaksi. Karena ada figur Ketua MK Anwar Usman yang juga paman dari Gibran. Publik menilai ada benturan kepentingan Ketua MK yang memimpin sidang uji materi ini.
Singkat waktu, MKMK akhirnya memutuskan, Anwar Usman terbukti melanggar etik MK. Dia juga harus menerima putusan, yakni diberhentikan sebagai Ketua MK. Posisi Anwar Usman kemudian digantikan hakim konstitusi Suhartoyo.
Seusai sidang putusan, Ketua MKMK mengusulkan perlunya pembentukan Majelis Etik Nasional (MEN). Jimly meyakini kehadiran MEN dapat menjadi alternatif penjatuhan sanksi etik.
Dia juga menyampaikan pertimbangan menggagas MEN. Mulai dari penegakkan etik menyebar di berbagai lembaga dengan format berbeda-beda. Jimly menilai MEN bisa membina penegakkan etik secara nasional di seluruh badan dan lembaga negara.
"Sekarang lembaga etik ada ratusan ada di organisasi profesi, lembaga negara, semua ada penegak etiknya tapi sendiri-sendiri, variasi beda-beda, enggak ada pembinaannya. Saya usulkan ada prinsip rule of law diimbangi rule of ethic," kata Jimly.
Jimly memandang skandal MK yang melengserkan Ketua MK mestinya menjadi bahan evaluasi untuk memperkuat peradilan etik. Jimly mengaku, MEN ini juga telah mendapat lampu hijau dari Menkumham Yasonna Laoly.
"Ini kan momentum, akhlak bangsa lagi rusak-rusaknya. Tadi saya ketemu Menkumham, ini momen wujudkan ide bentuk mahkamah etik nasional," imbuh Jimly.
Dia menjelaskan, hukum semestinya ditopang dengan etik yang memadai. Jika ada kekurangan pada salah satunya bakal menciptakan ketidakseimbangan tatanan masyarakat.
Jimly juga menegaskan hukum dan etika harus saling menopang sehingga salah satu tujuan MEN adalah untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Sepengamatan dia hukuman pidana itu hanya menghukum pelaku. Menurut dia, dari pelaku yang masuk penjara, yang tobat hanya 30%. Kemudian, 30% dendam dan 40% semakin brutal.
"Kalau etika tujuan bukan menghukum, tetapi mendidik sambil kembalikan kepercayaan publik," ucap dia.
MEN Jadi Solusi
Pengamat Hukum Tata Negara, Agus Riewanto sepakat dengan usulan Jimly akan kehadiran MEN. Menurut dia, MEN bisa menjadi salah satu solusi untuk penegakkan etika yang transparan, terbuka dan standar. Publik bisa mengawasi secara langsung.
Dia menilai selama ini setiap instansi dan jabatan memiliki kode etiknya tersendiri, penanganannya pun tidak seragam. MEN ini diharapkan bisa memastikan penerapan fungsi etik sesuai code of conduct masing-masing profesi.
Selain itu, MEN ini bisa mempersingkat waktu dalam hal eksekusi terhadap putusan peradilan etik. Sebab, selama ini peradilan yudisial perlu proses yang panjang. Serta, memakan waktu panjang serta tidak ada kepastian hukum.
"Model penegakan kode etik berdasarkan putusan majelis kode etik itu jauh lebih mudah. Jadi saya sepakat," ujar Agus saat dihubungi Validnews, Senin (27/11).
Agus menjelaskan, dalam pelaksanaannya lembaga pengawas lainnya perlu dilebur menjadi satu lembaga, yaitu lembaga peradilan etik. Lembaga ini diyakini mampu memberikan pengawasan dan sanksi bagi seluruh profesi.
Menurut dia, konsep ini tidak terlalu asing diterapkan di Indoensia, lantaran DKPP sudah menggunakan konsep yang mirip. Maka pada pelaksanaannya nanti tinggal mengikuti pola yang ada.
"Sekarang kan masing-masing punya kode etik, nanti dijadikan satu lembaga saja yang mengurus. Itu jauh lebih mudah dan sederhana, ada peradilan etik yang akan mengadili semua perilaku profesi-profesi di Indonesia," paparnya.
Dosen Hukum Tata Negara di UNS Surakarta ini mengungkapkan, urgensi hadirnya MEN ini dikarenakan lembaga pengawas etik yang ada saat ini kurang memiliki taring. Apalagi, banyak lembaga yang bersifat adhoc, yang membuat kewenangannya terbatas.
Itupun sejauh pengamatan Agus belum terbuka dari sisi hukum acara, hukum formilnya, prosedurnya tidak jelas.
Pada sisi lain, karena hadirnya MEN ini cukup mendesak, Agus meminta agar DPR membuat UU baru atau merevisi UU eksisting.
Senada, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), M Nur Ramadhan berpandangan pembentukan MEN ini memerlukan UU tersendiri. Karena, pembentukan lembaga baru perlu melalui undang-undang dan juga peraturan turunannya.
Hal ini agar menjadi pedoman bagi pejabat negara melaksanakan tugasnya. Walaupun, masing-masing memiliki karakteristik etik yang berbeda antar jabatan.
Masing-masing karakteristik etik di lembaga itu, menjadi problem tersendiri. Ada perbedaan parameter yang digunakan di masing-masing lembaga, memang itu yang tidak menjadi standar dalam penilaian etika.
"Jadi mengenai MEN secara tersentral untuk penyelenggara negara ada bagusnya. Semua persoalan etik jadi terpusat ke satu lembaga," urai Ramadhan kepada Validnews, Selasa (28/11).

Tantangan MEN
Namun, ada tantangan lain. Hingga kini, belum lazim jika persoalan etik diselesaikan dengan mekanisme persidangan terbuka. Selain itu, karena sulitnya menyamakan penilaian etik dari masing-masing lembaga penyelenggara negara dan kode etik profesinya.
Menurut Ramadhan, karakteristik penyelenggara negara di masing-masing jabatan itu berbeda. Contohnya jabatan hakim memiliki standar etik yang berbeda dengan standar etik ketua KPU.
Dia khawatir jika pengawasan etik ini tidak dilaksanakan dengan baik oleh MEN, akan timbul permasalahan lain pada kemudian hari. Akan tetapi, apabila dilihat sebagai satu keseluruhan pejabat negara, menurutnya usulan MEN ini bisa dipertimbangkan.
Usulan hadirnya MEN ini tidak terlepas dari masih banyaknya masalah dalam hal penindakan pelanggaran etik selama ini. Misalnya di penyelenggaraan pemilu, banyak persoalan etik yang ditangani DKPP tidak disanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Ada yang harusnya dipecat tapi DKPP mengambil jalan tengah tidak dipecat. Nah ini kemudian ada penilaian etik yang tidak tepat di sana, itu yang jadi masalah," cetusnya.
Lain halnya dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang memiliki kewenangan terbatas. Imbasnya, mereka sulit menegakkan etik yang seharusnya dilakukan oleh dewas KPK karena memang Dewas KPK ini dibentuk tidak untuk memaksimalkan pembentukan etik.
"Itulah potret dari ketidakefektifan pengawasan etik di tingkat ataupun di masing-masing lembaga itu," tegas Ramadhan.
Dia menambahkan, belakangan ini juga banyak terjadi pelanggaran etik yang dipertontonkan. Hal itu makin membuktikan adanya masalah dalam penegakan etik di masing-masing lembaga yang tidak terintegrasi.
Maka jika dilihat dari urgensinya, Ramadhan memandang logis jika MEN diperlukan. Pasalnya ada kebutuhan soal penegakan etik di masing-masing lembaga penyelenggara negara.
Dia menduga usulan MEN ini bisa sebagai satu-satunya cara yang saat ini bisa diambil untuk menegakkan etik dan membenahi permasalahan yang sudah terjadi belakangan ini.
"Walaupun, persoalan penegakan etik ini tidak hanya bermuara pada siapa yang menanagai etiknya, tapi mulai dari proses rekrutmen. Kalau mau benahi benar, harus dari hulunya, mulai dari proses rekrutmennya, kriterianya dan sebagainya," terang dia.
Persoalan etik yang ada saat ini pun berkaitan dengan melempemnya masing-masing pengawas internal. Banyak lembaga pengawas etik yang tidak memiliki kewenangan yang mengikat, hal-hal yang bisa dilakukan menjadi percuma.
Dia mencontohkan Dewas KPK dan Komisi Yudisial (KY) yang bertugas mengawasi etik dan kini jadi persoalan. Banyak rekomendasi dan juga hasil pengawasan etiknya KY tidak ditindaklanjuti oleh MA.
"Itu kan jelas menjadi persoalan dalam permasalahan penegakan etik pejabat publik. Maka mungkin saja hadirnya MEN ini urgent," tutur Ramadhan.
Tetangan Dari ASN
Asisten Komisi ASN Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik dan Kode Perilaku ASN dan Netralitas ASN, Iip Ilham Firman mengamini, memang banyak kendala dalam penegakkan etik ini, khususnya kepada para ASN.
Mayoritas masalah yang ditemui yaitu, banyak pimpinan instansi yang terkesan melindungi anak buahnya yang melakukan pelanggaran. Selain untuk menjaga nama baik instansi, biasanya pelaku pelanggaran dekat dengan pimpinan instansi.
Secara regulasi, KASN pun wewenangnya sangat terbatas, hanya bisa mengawasi dan merekomendasikan pelanggaran yang ada. Namun, keputusan pemberian sanksi ada pada instansi terkait tempat pelaku pelanggaran bertugas.
"Maka penegakkan etiknya bisa tumpul, ada banyak celah yang terjadi. Banyak pimpinan instansi yang tidak menindak pelaku pelanggaran etik tersebut," ungkap Iip kepada Validnews, Rabu (29/11).
Dia mengakui, memang di suatu instansi terdapat pengawas internal seperti inspektorat dan sebagainya. Namun, komando pemberian sanksi tetap ada di pimpinan, imbasnya kebanyakan pengawas internal tersebut tidak berdaya.
Untuk itu, diperlukan lembaga independen eksternal yang diberikan wewenang penuh untuk mengawasi sekaligus mengadili dalam konteks pelanggaran etik. Menurutnya, lembaga independen eksternal ini bisa lebih efektif memberikan kontrol tajam.
”Masalahnya sekarang internalnya tidak berdaya," selorohnya.
Iip mengungkapkan sejauh ini yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran etik ASN adalah terkait netralitas ASN. Apalagi, Selasa (28/11) lalu sudah memasuki masa kampanye Pilpres dan Pileg untuk Pemilu 2024.
Sampai pada bulan September 2023, KASN menerima laporan pelanggaran etik ASN, khususnya terkait netralitas sebanyak 119 laporan. 63 di antaranya sudah terbukti melakukan pelanggaran dan dijatuhi sanksi, 39 lainnya sudah ditindaklanjuti dengan penjatuhan sanksi.
Sanksi yang diberikan pun beragam. Ada sanksi sedang dan berat. Dalam tingkatan sedang, sanksinya berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun dan penurunan pangkat satu tahun.
Kemudian jika sanksi berat yaitu berupa penurunan jabatan ke yang lebih rendah selama satu tahun atau demosi, pembebasan dari jabatan selama satu tahun, sampai pemberhentian dengan tidak hormat.
"Kalau kasus yang berat itu misalnya sudah sampai melakukan politisasi secara masif dan terstruktur," ucap Iip.
Di ranah pengawasan, Direktur Pengawasan dan Pengendalian Badan Kepegawaian Negara (BKN), Nur Hasan mengakui wewenangnya belum tajam. Selama ini BKN hanya mendorong instansi pemerintah untuk melakukan penegakan disiplin maupun etik dalam hal dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh ASN.
Proses pemberian sanksi etik ASN sendiri dilakukan sesuai dengan ketentuan PP 42 Tahun 2004. Tahapannya, pemeriksaan oleh Majelis Kode Etik, lalu menyampaikan hasil pemeriksaan ke pejabat yang berwenang.
Selanjutnya pejabat yang berwenang sebagai bahan dalam menjatuhkan sanksi. Konsistensi atas hal ini yang kerap menjadi masalah. Pun, tak ada kekuatan memaksa untuk pihak terkait menjalaninya.
"Seharusnya setiap instansi dan atasan melakukan pengawasan dan pembinaan secara konsisten, karena itu menjadi tugas dan tanggung jawab dari setiap atasan langsung masing-masing instansi," pungkas Nur Hasan kepada Validnews, Rabu (29/11).